Menuju konten utama

Christine Hakim, Keteguhan Komitmen

“Buat saya, menjaga batik adalah menjaga identitas,” kata tokoh yang diperankan Christine Hakim dalam film Sekar. Kata-kata itu bergema jauh, bahkan di luar layar.

Christine Hakim, Keteguhan Komitmen
Ilustrasi Film Sekar. FOTO/Fourcolours Films

tirto.id - Namanya Herlina Christine Natalia Hakim.

Di antara banyak bintang layar lebar Indonesia, aktris kelahiran Jambi, 25 Desember 1956, itulah yang paling banyak mendapat penghargaan prestisius. Di awal kiprahnya, Christine dianugerahi Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik untuk perannya dalam Cinta Pertama (Teguh Karya, 1973). Sebagian orang boleh percaya pada “hukum keberuntungan pemula”, tetapi Christine Hakim membuktikan sebaliknya. Selama 45 tahun berkarier di dunia film, ia telah delapan kali memenangi Piala Citra.

Lahir dari keluarga muslim taat namun diberi nama Christine Natalia; punya darah Aceh-Minang tapi lahir di Jambi dan besar di Yogyakarta, membuat Christine muda kerap mempertanyakan identitasnya. Namun seiring matangnya kepribadian, pemeran utama film Tjoet Nja’ Dhien (1988) karya Eros Djarot itu menemukan jawab: Indonesia.

Christine mengenakan keindonesiaannya dengan bangga. Setiap menghadiri festival-festival film internasional, Christine mengenakan batik yang merupakan salah satu penanda paling umum identitas kebangsaan kita—alih-alih, katakanlah, gaun mewah sebagaimana umumnya bintang film.

“Ciri khas yang mudah untuk menandai kehadiran saya, ya, dengan batik,” kata Christine, tak lama setelah UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi pada 2 Oktober 2009 silam.

Pada 2002, pemeran karakter Wayan dalam film Eat Pray Love (2010) itu menjadi orang Indonesia pertama yang duduk di bangku juri festival film Cannes. Kesempatan berharga itu digunakannya untuk mengenalkan batik sebagai budaya Indonesia kepada tokoh-tokoh film dunia, di antaranya aktris Hollywood Sharon Stone serta pemeran Aung San Suu Kyi dalam film The Lady (2011), Michelle Yeoh.

“Sharon Stone sampai bilang saya pedagang batik. Saya senang waktu dia pakai batik buat ikat kepala dan itu dibahas di majalah-majalah di Amerika dan Eropa,” katanya kepada Tempo.co. Batik yang dibagi-bagikan itu didapat Christine di Solo, Yogyakarta, Cirebon, dan Garut. Ia sendiri mengenakan batik karya perancang ternama Iwan Tirta.

“Bagi saya, batik adalah produk dan roh Indonesia,” kata Christine.

Infografik Advertorial Batik Negeriku

Lakon Kehidupan

Bagi Christine Hakim, film dan seni peran adalah kehidupan. Seseorang yang mendalami seni peran, dengan kata lain, adalah seseorang yang tengah mendalami kehidupan. “Seberapa banyak yang bisa kamu serap dari kehidupan ini dengan rasa atau pikiran kamu, itulah yang akan menjadi daya dan bobot keaktoran kamu,” kata Christine, saat diwawancarai aktor muda Reza Rahadian.

Yang menarik, pandangan serupa juga disampaikan tokoh Ibu yang diperankan Christine Hakim dalam film pendek Sekar (Kamila Andini, 2018). Film yang diproduseri Happy Salma dan Ifa Isfansyah ini mengisahkan hubungan sang ibu, seorang pembatik, dan Sekar, anak perempuannya. Lebih dari sekadar kain, batik menjadi metafora yang mewakili dunia personal mereka.

Batik adalah perjalanan hidup, tekad, pilihan. Tapi sesungguhnya, saat berbicara tentang batik, kita bicara soal cinta,” ujar tokoh Ibu.

Sekar, yang namanya diambil dari motif batik Sekar Jagad, adalah seorang tunanetra. Ia memang tak melihat, tetapi ia sanggup memandang dan memahami pusparagam kehidupan lewat persentuhannya dengan batik. Dengan cara itu jugalah ia menemukan cintanya.

Batik adalah benda budaya yang nyaris ada dalam setiap momen penting masyarakat kita. Ketika seorang bayi lahir, misalnya, tubuhnya diselimuti kain batik. Demikian pula kala seseorang menikah, atau meninggal dunia, kain batik kerap jadi pengiring. Maka, wajar belaka apabila batik dipandang secara romantik. Bahkan, UNESCO mengakui bahwa batik mengandung simbol-simbol dan filosofi kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam Sekar, yang tercipta berkat kerjasama Bakti Budaya Djarum Foundation, Titimangsa Foundation, dan Fourcolours Films, kita bisa melihat bagaimana kecintaan Christine dan Djarum Foundation kepada batik, juga keteguhan komitmen mereka terhadap nilai-nilai kebudayaan Indonesia secara umum.

“Buat saya, menjaga batik adalah menjaga identitas,” kata tokoh yang diperankan Christine Hakim. Kata-kata itu bergema jauh, begitu jauh, bahkan di luar layar.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis