Menuju konten utama

Ceramah Agama dan Polemik Kesehatan di Masyarakat

Ada video ustaz-ustaz membicarakan kesehatan organ reproduksi perempuan yang mengundang kontroversi.

Ceramah Agama dan Polemik Kesehatan di Masyarakat
Ilustrasi memberikan ceramah agama. Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - Ketika ilmu kedokteran telah berkembang di Indonesia dan akses-akses ke pengobatan dan tenaga medis kian terbuka dari waktu ke waktu di berbagai daerah, sebagian orang tetap lebih memilih meyakini pendekatan nonmedis sebagai solusi masalah kesehatannya. Mulai dari nasihat keluarga dan kolega untuk menjalani pengobatan tradisional atau alternatif hingga menjajal pendekatan religius atau spiritual untuk menyembuhkan penyakit.

Ada yang beranggapan tak ada salahnya siapa pun menjalani cara berobat seperti apa pun. Kekuatan sugesti dipandang sebagai sokongan untuk mencapai kesembuhan. Di lain sisi, ada pula yang berasumsi bahwa pengobatan alternatif bertabrakan dengan pengobatan medis yang berbasis pada penelitian-penelitian.

Ketika hal ini terjadi, yang kerap mengecap kerugian adalah mereka yang terbatas akses pengetahuannya, utamanya yang kurang melek kesehatan dan berpegang pada pendapat para opinion leader semisal pemuka agama.

Di media digital belakangan ini, jamak ditemukan berita terkait seorang ustaz yang membuat pernyataan kontroversial dalam tayangan televisi. Adalah Ustaz Febri Sugianto yang mengisi acara Islam Itu Indah di TransTV yang menjadi bulan-bulanan sebagian warganet lantaran mengatakan ada kaitan antara penggunaan pembalut serta sepatu hak tinggi dengan infertilitas perempuan. Dalam petikan video Islam Itu Indah episode “Banyak Anak Banyak Rezeki” yang tayang 6 Agustus lalu, ditemukan bagian Ustaz Febri.

“Di wanita, kesalahan yang terbesar, makanya sulit punya anak, berbicara tentang pembalut… yang menyebabkan wanita itu sulit punya anak salah satunya sering menggunakan pembalut. Nah, pembalut yang ada di sekitar kita atau di sekitar Ibu-ibu beli, biasanya bisa mengembalikan bakteri-bakteri jahat ke dalam rahim. Makanya, orang yang sering pakai pembalut biasanya sering keputihan… Jadi, kembali ke zaman dulu lagi, kalau mau cepat punya anak, kalau dulu ibu-ibu biasa pakai popok, tuh. Jadi, selesai, cuci, kering, besok pakai lagi. Nah, kalau kita aktivitas bagaimana? Boleh menggunakan pembalut, tapi di siang hari, malamnya jangan.” Demikian Febri.

Ustaz Febri juga mengatakan, faktor lain yang menghambat perempuan memiliki anak adalah penggunaan sepatu hak tinggi. “Jadi, hak tinggi itu adalah titik reproduksi. Kita bicara tentang kesehatan, maka titik reproduksi itu ada di tumit. Maka Rasulullah SAW menganjurkan kepada kita kalau berwudu itu dibersihkan tumitnya… makanya kalau mau banyak anak, Bu, haknya di depan,” ucap Ustaz Febri seraya berseloroh.

Baca juga:

Tidak cuma perkataan Ustaz Febri saja yang menyita perhatian publik. Sebuah video lain yang menampilkan Ustaz Zulkifli Muhammad Ali juga membuat heboh media sosial. Ustaz ini mengatakan bahwa orang yang menjalani operasi caesar dipengaruhi oleh jin atau setan.

“Saya dapat meyakinkan kepada semua orang-orang yang terlibat caesar bahwa orang ini mengalami gangguan jin di tubuhnya, gangguan setan di perutnya, di bagian rahimnya. Orang-orang yang dicaesar mesti dirukiah berulang-ulang perutnya, nanti dampaknya pasti akan ada. Tidak sedikit orang-orang yang sebelumnya caesar, ternyata setelah dia mendalami ilmu rukiah dan dia menerapi dirinya, Allah lepaskan dia dari caesar berikutnya…Orang-orang yang kena caesar, bahkan istri saya sendiri mengatakan, ‘Da, ada bisikan yang sangat kuat di telinga ini.’ Hanya dia yang mampu dengar, dia cerita ke saya dan itu memberi kekuatan besar (kepada istri saya) untuk minta dicaesar…Orang-orang yang kena caesar boleh saya katakan, positif di dalam perutnya, di pembuluh-pembuluh darahnya, di rahimnya, sudah ada gangguan makhluk gaib itu. Usir mereka dengan ayat-ayat al-Quran yang dibacakan pada air, dibacakan pada zam-zam, dibacakan pada zaitun, dibacakan pada madu, dan sebagainya, minum. Atau cukup dengan perut itu, bacakan,” demikian petikan ceramah Ustaz Zulkifli.

Banyak yang meragukan validitas pernyataan kedua ustaz. Terlebih untuk konteks penggunaan pembalut yang notabene merupakan konsumsi rutin mayoritas perempuan di negeri ini. Namun bagi sekelompok orang, pendapat kedua ustaz bisa saja diterima dan patut dijajal. Tak pelak, perkara munculnya kedua video ini menimbulkan pertanyaan: mengapa pada saat akses terhadap informasi dan pengobatan medis terbuka, orang-orang masih sulit melepaskan preferensi penyembuhan secara spiritual atau alternatif?

Faktor pertama yang dapat memicu orang-orang untuk melakukan pengobatan alternatif ialah tingkat kepercayaan terhadap pihak-pihak yang menyarankannya. Katakanlah keluarga, teman dekat, atau pemuka agama. Sumber-sumber informasi ini lantas membentuk pengetahuan orang-orang tentang kesehatan dan bukan tidak mungkin diteruskan ke generasi-generasi penerusnya. Kentalnya budaya kekerabatan dan dekatnya kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai tradisional membuat praktik pengobatan medis dikesampingkan sebagian masyarakat.

Faktor berikutnya dipaparkan oleh dr. Yassin Yanuar Mohammad, SPOg dalam wawancara dengan Tirto. “Pengalaman pribadi, pengetahuan yang dimiliki, latar belakang sosial ekonomi yang bervariasi, pendidikan, dan keyakinan menjadi alasan-alasan orang enggan memilih pendekatan medis,” katanya.

Sebagaimana ditemukan dalam video Ustaz Febri dan Ustaz Zulkifli, keduanya membawa pengalaman dari istri-istri mereka sebagai penguat argumen. Dengan mendengar "cerita sukses" seperti itulah orang sangat mungkin terbujuk untuk menjajal pengobatan alternatif atau memakai pendekatan agama.

Sayangnya, tak semua sugesti untuk menjalani pengobatan alternatif tersebut mujarab menyembuhkan penyakit pasien. Beberapa malah dianggap menyesatkan. dr. Yassin sendiri mengatakan bahwa tidak sedikit pasien yang datang kepadanya memiliki keyakinan atau pemahaman bertolak belakang dengan pendekatan medis.

“Sayangnya, banyak penyakit yang tertunda terobati karena sang pasien mungkin lebih memilih pengobatan yang tidak memiliki bukti ilmiah sama sekali, padahal penyakit tersebut sudah ada obatnya atau memiliki peluang bagus untuk sembuh bila diobati secara benar,” ujar dr. Yassin.

Laki-laki yang berpraktik di RS Pondok Indah ini juga memaparkan bahwa standar di dunia medis telah melewati suatu proses panjang untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya, meskipun masih banyak rahasia yang belum terungkap tentang berbagai tubuh manusia.

Untuk menyosialisasikan keamanan dan efektivitas pengobatan medis tentunya membawa tantangan tersendiri jika diterapkan di konteks kelompok masyarakat yang masih mengandalkan solusi kesehatan alternatif. dr. Yassin kemudian menjelaskan strategi yang bisa dilakukan pakar medis atau orang-orang yang lebih memiliki literasi kesehatan saat berhadapan dengan situasi tersebut.

“Yang perlu dilakukan adalah memberikan penjelasan yang lengkap mengenai indikasi, manfaat, efek samping, risiko suatu tindakan atau pengobatan. Tindakan dan pengobatan medis telah melewati serangkaian penelitian ilmiah secara terukur, dengan metode yang ketat, dan terus diperbarui tanpa berhenti. Semua tindakan dan pengobatan medis dilakukan demi keselamatan pasien. Meskipun begitu, tindakan dan pengobatan memiliki risiko dan efek samping, maka itu pasien perlu paham langkah-langkah yang diperlukan bila terjadi risiko suatu pengobatan atau tindakan,” jelas Yassin.

Kendati beberapa argumen dengan pendekatan agama atau keyakinan tradisional lain dianggap tak sejalan dengan pendekatan ilmiah, apakah selamanya kedua hal ini tidak bisa saling dukung?

infografik anggapan kehamilan

Studi dari Singh dan Ajinkya (2012) menunjukkan, keyakinan agama atau spiritual justru bisa membantu proses penyembuhan penyakit seseorang. Pendekatan klinis yang dilakukan para dokter perlu dikolaborasikan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien sehingga pengobatan medis modern pun bisa menjadi lebih holistik.

Penelitian terdahulu dari Lucchetti et al. (2011) yang dikutip Singh dan Ajinkya misalnya, memperlihatkan bahwa pasien-pasien berpenyakit mental dapat mengalami penurunan gejala depresi dan dapat memiliki kualitas hidup lebih baik lantaran kebutuhan spiritualnya juga dipenuhi. Sementara, Rasic et al. (2011) berargumen bahwa menjalani ritual religius mampu mereduksi keinginan bunuh diri pasien-pasien berpenyakit mental.

Bukan rahasia bila orang yang mengalami penyakit berat kerap mengalami putus asa atau depresi sehingga terkadang pengobatan medis saja tidak cukup untuk menyokong kesembuhannya. Maka, alih-alih meninggalkan sama sekali pendekatan agama, orang yang bersikukuh dengan kedokteran modern dapat mempertimbangkan lagi pemenuhan aspek spiritualnya.

Satu hal yang perlu diingat, tentu saja, bahwa pendekatan spiritual berstatus untuk membarengi pengobatan medis, bukan untuk menggantikannya.

Baca juga artikel terkait CERAMAH AGAMA atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani