Menuju konten utama

Carvalho dan Utang yang Telah Terbayar

Bersama Cristiano Ronaldo, Ricardo Carvalho adalah bagian dari ampas kegagalan Portugal di final Piala Eropa 2004. Bersama CR7 pula, bek veteran itu turut mengangkat trofi juara untuk pertama kalinya bagi Portugal di Euro 2016. Utang yang tertunggak selama 12 tahun pun telah terbayar lebih cepat dari yang selama ini diangan-angankan.

Carvalho dan Utang yang Telah Terbayar
Ricardo Carvalho [Foto/Reuters]

tirto.id - Portugal seharusnya juara Eropa di tahun 2004 itu. Bagaimana tidak? Selecao memenuhi hampir semua syarat untuk menjadi kampiun. Selain diuntungkan sebagai tuan rumah, mereka diberkahi skuat yang mumpuni, dibesut pelatih top sekaliber Luiz Felipe Scolari, dan “hanya” menghadapi tim purbakala bernama Yunani di partai puncak. Tapi, yang didapat justru isak air mata dan rasa malu yang mendalam.

Ya, di Estadio Da Luz Lisbon pada 5 Juli 2004 itu, Portugal takluk dari Yunani. Diperkuat nama-nama tenar macam Luis Figo, Rui Costa, Fernando Couto, Pauleta, Deco, Paulo Ferreira, Ricardo Carvalho, juga Cristiano Ronaldo yang kala itu masih remaja, Portugal dipermalukan oleh sebiji gol Angelos Charisteas. Yunani juara, tuan rumah merana dan tentu saja merasa terhina.

Di Perancis, 12 tahun berselang, hanya tersisa dua nama dari armada gagal 2004 yang tercantum di skuat Portugal untuk Piala Eropa 2016: Ricardo Carvalho dan Cristiano Ronaldo. Bedanya, Carvalho kini telah berusia 38 tahun dan sudah melampaui masa keemasannya. Sementara CR7 menjelma menjadi salah satu atlet terbaik di planet bumi.

Kembalinya Sang Veteran

Ricardo Carvalho sebenarnya telah pensiun dari tim nasional pada 2011. Namun, Fernando Santos selaku pelatih Portugal justru memasukkan namanya untuk Euro 2016. Pastinya bukan tanpa alasan Santos memanggil kembali bek gaek ini. Carvalho punya tugas ekstra selain merumput, apalagi kalau bukan untuk memotivasi para juniornya agar kuat mental di ajang seakbar Piala Eropa.

Portofolio Carvalho memang cukup memukau. FC Porto (Portugal), Chelsea (Inggris), dan Real Madrid (Spanyol) adalah tiga klub mapan Eropa yang pernah merasakan jasanya. Di klubnya saat ini pun, yakni AS Monaco, andil Carvalho masih cukup besar.

Selama tiga musim membela AS Monaco, Carvalho dipercaya tampil dalam 95 laga di liga tertinggi sepakbola Perancis, Ligue1. Itu belum termasuk aksinya di ajang-ajang lain seperti Liga Champions, Europa League, Coupe de France, juga Piala Liga Prancis. Seabrek trofi pun telah dikoleksinya bersama empat klub dari empat negara berbeda tersebut.

Di level tim nasional, bek terbaik pilihan UEFA musim 2003/2004 ini memang paling banter hanya membawa Portugal ke final Piala Eropa 2004 yang berakhir dengan penyesalan itu. Namun, Carvalho telah menjadi salah satu calon legenda hidup sepakbola Portugal. Ia mengemas 89 caps bagi negaranya di ajang resmi, belum lagi 14 penampilannya untuk Portugal U-21. Namanya pun termasuk dalam jajaran all-stars Piala Eropa 2004 dan Piala Dunia 2006.

Akhir Manis di Ujung Karier

Di panggung sepakbola internasional, karier Ricardo Carvalho boleh dibilang telah memasuki usia senja. Besar kemungkinan, Piala Eropa 2016 merupakan pungkasan dedikasinya untuk Portugal meskipun belum ada pernyataan resmi dari Carvalho sendiri.

Kendati begitu, peran Carvalho di Euro kali ini bukan hanya pelengkap belaka. Ia bukan sekadar sosok veteran yang berfungsi memberi motivasi dan menguatkan mental para juniornya. Carvalho tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang petarung di lapangan.

Pria bernama lengkap Ricardo Alberto Silveira de Carvalho ini memang tidak dimainkan sejak babak 16 besar hingga final Piala Eropa 2016. Akan tetapi, di tiga pertandingan awal, Carvalho selalu menjadi pilihan utama sang pelatih, Fernando Santos. Ini menjadi bukti bahwa pemain tua sepertinya masih bisa bersaing di level tertinggi sepakbola Eropa.

Santos memberikan kepercayaan kepada Carvalho untuk tampil 90 menit penuh di seluruh laga babak penyisihan grup, yakni saat melawan Islandia, Austria, dan Hungaria. Duetnya bersama bek sangar Real Madrid, Pepe, di sentral pertahanan Portugal sempat terlihat tidak akan tergantikan.

Namun, Santos rupanya punya taktik berbeda setelah Portugal lolos ke 16 besar. Carvalho diparkir hingga perhelatan berakhir. Bisa jadi, sang pelatih memberikan tugas lain kepadanya, dan jika itu benar, pengaruh Carvalho dari balik layar pastinya menjadi salah satu faktor penting yang memuluskan jalan Portugal merengkuh mahkota Eropa.

Carvalho memang tidak secepat dan segesit dulu di usianya yang hampir menyentuh kepala empat saat ini. Ia kerap keteteran jika harus adu kecepatan atau terlibat kontak fisik dengan pemain lawan. Namun, Carvalho masih punya kekokohan bak batu karang di lini belakang Portugal.

Statistik Squawka menyebutkan, 82,4 persen aksi Carvalho di tiga laga awal Piala Eropa 2016 adalah berupa clearances atau pembersihan. Itu artinya, si orang tua ini memiliki presentasi yang cukup besar dalam upaya mementahkan serangan-serangan yang datang ke wilayah operasinya.

Squawka juga mencatat, Carvalho sama sekali tidak pernah melakukan blunder atau kesalahan fatal selama dimainkan di Piala Eropa 2016. Akurasi passing-nya pun sangat baik yakni sebesar 92 persen dengan rincian 13 kali passing panjang dari belakang, 9 kali passing dengan kepala atau sundulan, dan 138 kali passing umum yang sukses dilakukannya.

Utang yang Akhirnya Terbayar

Kilas balik di Piala Eropa 2004, peran Carvalho saat itu sangat vital. Ia hanya absen saat Portugal secara mengejutkan ditundukkan Yunani di laga pertama babak penyisihan Grup A. Dalam duel pembuka itu, pelatih Luiz Felipe Scolari masih mempercayakan satu tempat di posisi bek tengah kepada Fernando Couto yang lebih berpengalaman.

Akan tetapi, di laga kedua hingga akhir turnamen, Carvalho selalu mendapatkan tempat utama. Selama Carvalho dimainkan, Portugal tidak pernah kalah dalam 4 pertandingan, yakni saat melawan Rusia, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Sial bagi Portugal karena justru keok di partai pamungkas oleh tim yang juga mengalahkan mereka di laga perdana, Yunani.

Hingga akhirnya, Portugal menjejakkan kakinya kembali di final Piala Eropa setelah melewati masa-masa tanpa trofi. Portugal pun merasakan apa yang dialami Yunani 12 warsa silam: secara tak terduga tampil di partai puncak dengan performa yang tidak terlalu meyakinkan.

Lawan yang dihadapi di laga penentuan pun sejenis, yakni tuan rumah, persis ketika Yunani harus berhadapan dengan Portugal di Lisbon. Kali ini, Portugal berada di posisi sebaliknya karena harus menghadapi tuan rumah yang lebih diunggulkan untuk menjadi juara: Perancis.

Serasa menjadi Yunani, Portugal juga nyaris kalah segalanya di duel penutup yang digelar di Stade de France, Paris, itu. Berdasarkan catatan Soccerway, Perancis mendominasi jalannya laga dengan menguasai 59 persen penguasaan bola, sementara Portugal hanya 41 persen.

Statistik lainnya pun tidak memihak Portugal. Mereka hanya mampu melepaskan 10 tembakan ke area pertahanan tuan rumah dengan 4 di antaranya mengarah ke gawang. Sementara Perancis memiliki 14 tembakan, dengan 6 yang on target.

Portugal sempat dihinggapi rasa cemas ketika sang kapten sekaligus megabintang mereka, Cristiano Ronaldo, tidak mampu melanjutkan pertandingan karena cedera dan harus ditarik ke luar saat laga belum menyentuh tempo setengah jam. Situasi seperti itu jelas berat bagi Portugal yang selama ini seringkali disebut sangat bergantung kepada CR7.

Namun, kenyataan berkata lain. Terlepas dari faktor mujur atau bukan, Dewi Fortuna yang 12 tahun silam menjauh, kini justru datang. Lagi-lagi nyaris mirip dengan Yunani yang menjungkalkan mereka saat itu, hanya butuh 1 gol bagi Portugal untuk menutup turnamen dengan kejayaan, dan itu akhirnya terjadi berkat gol pemain berdarah imigran Afrika, Eder, yang tampil dari bangku cadangan.

Sebiji gol Eder di menit 109 itu memantik tangis seisi Perancis sekaligus membayar lunas utang Portugal atas kegagalan pada 2004 lalu. Ricardo Carvalho, juga Cristiano Ronaldo, yang menjadi bagian dari kegagalan Portugal saat itu, kini bisa tersenyum lega. Terlebih bagi Carvalho yang masih sempat mempersembahkan trofi juara Eropa untuk pertama kalinya bagi Portugal di masa-masa senjanya sebagai pesepakbola.

Baca juga artikel terkait OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Olahraga
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti