tirto.id - Fotosintesis, suatu proses biokimia yang mengubah energi cahaya menjadi energi kimia, dikenal sebagai mekanisme utama yang dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk bertahan hidup. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa fotosintesis tidak hanya menjadi hak eksklusif tumbuhan.
Beberapa hewan juga mampu melakukan fotosintesis, meskipun melalui mekanisme yang berbeda, seperti simbiosis atau kleptoplasti--saat hewan "mencuri" organel fotosintetis dari mangsanya.
Hewan-hewan seperti siput laut hijau, kutu daun kacang, dan salamander tutul, telah mengembangkan kemampuan untuk melakukan fotosintesis. Mereka menggunakan berbagai mekanisme, seperti mencuri kloroplas dari alga atau memproduksi karotenoid, untuk memanfaatkan energi dari sinar matahari.
Fotosintesis pada Hewan: Mekanisme Simbiosis dan Kleptoplasti
Banyak orang mengira hanya tumbuhan yang mampu melakukan fotosintesis dengan alasan karena tumbuhan adalah organisme fotosintetik yang paling umum dan mudah diamati.
Meskipun jarang, ada beberapa hewan yang mampu memanfaatkan energi matahari melalui proses serupa fotosintesis. Salah satu contoh hewan yang mampu melakukan fotosintesis adalah Elysia chlorotica, sejenis siput laut yang ditemukan di perairan Amerika Utara. Hewan ini menyerap kloroplas dari alga yang dikonsumsinya melalui proses yang dikenal sebagai kleptoplasti.
Setelah mengonsumsi alga, kloroplas dari alga tersebut diambil dan diintegrasikan ke dalam sel-sel di usus siput laut. Kloroplas ini tetap aktif dalam tubuh siput, memungkinkannya untuk melakukan fotosintesis dan menghasilkan energi.
Kloroplas ialah organel sel yang ditemukan pada tanaman dan beberapa alga. Organ ini mengandung klorofil, pigmen hijau yang berfungsi untuk menyerap cahaya matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis.
Meski demikian, siput laut tidak sepenuhnya bergantung pada fotosintesis seperti tumbuhan. Makanan tetap menjadi sumber energi utamanya, sementara fotosintesis berfungsi sebagai suplemen tambahan.
Selain kleptoplasti, beberapa hewan juga melakukan fotosintesis melalui hubungan simbiosis dengan organisme fotosintetik. Contohnya adalah karang laut yang bersimbiosis dengan zooxanthellae, sejenis alga uniseluler.
Alga ini hidup dalam jaringan karang dan melakukan fotosintesis, menghasilkan nutrisi yang kemudian digunakan oleh karang. Sebagai imbalannya, karang menyediakan lingkungan yang aman dan kaya karbon dioksida bagi alga. Hubungan simbiosis ini sangat penting bagi ekosistem terumbu karang, karena karang yang sehat mendukung kelangsungan hidup berbagai spesies laut.
Lalu ada kutu daun kacang (Acyrthospihon pisum), serangga yang dapat menghasilkan karotenoid. Ia dapat membantu mengubah sinar matahari menjadi energi.
Salamander tutul (Ambystoma maculatum) merupakan satu-satunya hewan vertebrata yang embrionya hidup dalam hubungan simbiosis dengan alga, dan memperoleh manfaat dari fotosintesis selama perkembangan.
Hewan lain, seperti kerang dan cacing pipih, menggunakan pendekatan simbiosis dengan alga fotosintetik, di mana alga tetap hidup tanpa dirugikan. Karang adalah contoh klasik dari hubungan ini.
Hewan-hewan ini menunjukkan bahwa batas antara tumbuhan dan hewan tidak sepenuhnya jelas, dan evolusi mungkin membawa manusia untuk suatu hari dapat memanfaatkan fotosintesis.
Tujuan dan Keterbatasan Fotosintesis pada Hewan
Meskipun hewan-hewan tersebut mampu melakukan fotosintesis, tujuannya berbeda dengan tumbuhan. Pada tumbuhan, fotosintesis adalah proses utama untuk menghasilkan energi dan bahan organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Fotosintesis pada tumbuhan juga menghasilkan oksigen sebagai produk sampingan, yang penting bagi kehidupan di Bumi.
Oksigen ini kemudian dilepaskan ke atmosfer dan menjadi komponen vital bagi kehidupan sebagian besar organisme, termasuk manusia. Dengan demikian, fotosintesis pada tumbuhan tidak hanya penting bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi ekosistem secara keseluruhan.
Sementara itu, pada hewan, fotosintesis lebih berperan sebagai sumber energi tambahan. Hewan-hewan ini tetap mengandalkan makanan sebagai sumber energi utama, sementara fotosintesis membantu mereka bertahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrem atau ketika sumber makanan langka.
Pandangan yang lebih menarik diutarakan Eugene Rabinowitch dalam bukunya Photosynthesis(1949) oleh kemiripan bakteri ungu fotosintetik dengan beberapa bakteri tak berwarna yang mampu mereduksi karbon dioksida dengan reduktor yang sama atau serupa tetapi tanpa bantuan cahaya. Mereka menggunakan energi kimia yang dibebaskan oleh oksidasi enzimatik reduktor ini dengan oksigen dari udara.
“Fenomena ini disebut kemosintesis bakteri; fenomena ini juga mungkin merupakan peninggalan bentuk kehidupan yang lebih primitif,” sambung Rabinowitch.
Profesor riset botani di Universitas Illinois, AS, itu menilai jika alga hijau uniseluler tertentu kekurangan oksigen, mereka tidak lagi mampu melakukan fotosintesis biasa tetapi menjadi mampu mereduksi karbon dioksida dalam cahaya jika hidrogen disediakan sebagai reduktor pengganti untuk menggantikan air. Tampaknya kekurangan udara menyebabkan alga ini meniru bakteri ungu, yang juga dapat menggunakan hidrogen sebagai reduktor.
Keterbatasan utama fotosintesis pada hewan adalah ketergantungannya pada organisme fotosintetik yang diserap atau bersimbiosis dengannya. Misalnya, siput laut Elysia chlorotica hanya dapat mempertahankan kloroplas yang aktif selama beberapa minggu. Setelah itu, kloroplas tersebut mengalami kerusakan, dan siput harus mengonsumsi alga baru untuk mempertahankan kemampuan fotosintesinya.
Dalam konteks ini, fotosintesis pada hewan tidak hanya membantu individu tersebut tetapi juga memperkuat interaksi ekosistem. Fakta itu menunjukkan bahwa fotosintesis pada hewan bukanlah proses yang sepenuhnya mandiri seperti pada tumbuhan.
Perbedaan mendasar antara fotosintesis pada tumbuhan dan hewan terletak pada tujuan dan skala dampaknya. Pada tumbuhan, fotosintesis adalah proses fundamental yang mendukung kehidupan mereka dan berkontribusi besar terhadap keseimbangan ekosistem global.
Sementara itu, fotosintesis pada hewan lebih bersifat komplementer, membantu mereka bertahan dalam kondisi tertentu tanpa menggantikan peran makanan sebagai sumber energi utama. Perbedaan ini mencerminkan adaptasi evolusioner yang unik dan kompleks dari berbagai organisme dalam menghadapi tantangan lingkungan.
Secara ekologis, fotosintesis pada tumbuhan dan hewan memiliki implikasi yang signifikan. Pada tumbuhan, fotosintesis menjadi dasar rantai makanan, menyediakan energi bagi herbivora dan, pada gilirannya, bagi karnivora.
Dalam konteks hewan yang melakukan fotosintesis, proses ini dapat meningkatkan ketahanan mereka terhadap perubahan lingkungan, seperti fluktuasi ketersediaan makanan atau perubahan iklim.
Bukti ini menunjukkan bahwa fotosintesis, meskipun memiliki fungsi yang berbeda, tetap menjadi mekanisme penting dalam menjaga kelangsungan hidup dan keberagaman hayati.
Dengan memahami perbedaan ini, pengetahuan tentang adaptasi unik dapat menjadi kunci untuk menemukan solusi yang berkelanjutan.
Implikasi Penelitian terhadap Pemahaman Keragaman Biologis
Manusia tidak dapat melakukan fotosintesis karena tidak memiliki kapasitas biologis untuk menyisipkan kloroplas yang berfungsi ke dalam sel atau mengubah genom untuk mengendalikannya, serta tidak memiliki rasio luas permukaan terhadap volume yang cukup besar.
Sel manusia dirancang untuk berbagai fungsi, termasuk metabolisme dan reproduksi, tetapi bukan untuk fotosintesis. Struktur sel manusia tidak memiliki mekanisme untuk menyimpan atau menggunakan kloroplas secara efisien.
Fotosintesis memerlukan rasio luas permukaan terhadap volume yang tinggi. Organisme dengan bentuk datar atau lebar, seperti daun, dapat menangkap lebih banyak cahaya matahari.
Pada tanaman, sel-sel yang melakukan fotosintesis memiliki dinding sel yang kuat dan kloroplas yang terdistribusi secara merata, memungkinkan mereka untuk menangkap cahaya secara efektif. Sebaliknya, sel manusia tidak memiliki struktur yang sama.
Sementara itu, penelitian tentang hewan fotosintetik telah memberikan wawasan baru tentang keragaman dan adaptasi makhluk hidup. Kemampuan hewan untuk memanfaatkan fotosintesis menunjukkan betapa fleksibelnya organisme dalam menghadapi tekanan lingkungan.
Sebuah penelitian di mana para peneliti menyuntikkan mikroorganisme fotosintetik (Cyanobacteria atau ganggang hijau) ke berudu Xenopus laevis untuk memasok oksigen ke otak mereka.
Ketika kekurangan oksigen, aktivitas otak berudu berhenti, tetapi paparan cahaya memungkinkan mikroba menghasilkan oksigen dan memulihkan aktivitas saraf. Eksperimen pembuktian prinsip ini menunjukkan metode potensial untuk mengatasi kekurangan oksigen di otak.
Para peneliti menyuntikkan mikroorganisme ke jantung berudu, yang mendistribusikannya ke seluruh tubuh, termasuk otak. Mereka menemukan bahwa pencahayaan meningkatkan konsentrasi oksigen di ventrikel hewan yang disuntik dan dapat memulai kembali aktivitas saraf pada berudu yang kekurangan oksigen.
Meskipun percobaan tersebut berhasil, para ahli mencatat tantangan dalam menerapkan pendekatan ini pada hewan yang lebih kompleks atau aplikasi klinis. Masalahnya meliputi penetrasi cahaya melalui kulit, pengendalian kadar oksigen, dan potensi efek imunologis.
Para peneliti mengakui bahwa aplikasi klinis masih jauh dan berencana untuk fokus mempelajari efek imunologis dan apakah otak dapat menggunakan gula yang diproduksi oleh mikroba.
Dalam penelitian lain, para ilmuwan memandang hal ini sebagai bagian dari tren yang lebih luas untuk menciptakan asosiasi simbiosis buatan dengan alga guna memanipulasi fisiologi vertebrata, meskipun ada kekhawatiran tentang regulasi dan keamanan.
Dalam studi tersebut dijelaskan bagaimana sebuah amfibi mencapai penyembuhan luka tanpa bekas dan faktor imunologis yang berkontribusi pada regenerasi. Mekanisme seperti itu dapat menginspirasi terapi baru untuk penyembuhan luka manusia.
Eksperimen ini juga memperlihatkan betapa kompleksnya interaksi biologis di alam, mulai dari simbiosis mutualistik hingga kleptoplasti. Dengan memahami mekanisme ini, para ilmuwan dapat mengembangkan strategi baru dalam bidang bioteknologi dan konservasi alam.
Selain itu, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Misalnya, kerusakan terumbu karang akibat perubahan iklim atau polusi dapat mengganggu hubungan simbiosis antara karang dan Zooxanthellae.
Dampaknya, karang kehilangan sumber nutrisi utama, yang pada akhirnya memengaruhi seluruh ekosistem laut. Dengan demikian, studi tentang hewan fotosintetik tidak hanya memperkaya pengetahuan ilmiah, tetapi juga menegaskan pentingnya pelestarian alam.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi