Menuju konten utama

Bukan Cuma Mental, Liverpool Jauh Ungguli Barcelona Secara Taktik

Liverpool mempecundangi Barcelona empat gol tanpa balas pada semifinal leg kedua Liga Champions. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Bukan Cuma Mental, Liverpool Jauh Ungguli Barcelona Secara Taktik
Georginio Wijnaldum merayakan dengan rekan satu timnya setelah mencetak gol kedua Liverpool melawan Barcelona di leg kedua semifinal Liga Champions pada hari Selasa 7 tahun 2019. Dave Thompson/AP

tirto.id - Liverpool berhasil menuntaskan misi 'remontada' dalam leg kedua semifinal Liga Champions di Stadion Anfield, Rabu (5/8/2019) dini hari waktu Indonesia. Tertinggal tiga gol pada leg pertama, Sadio Mane dan kawan-kawan mampu membalikkan agregat berkat kemenangan 4-0 dalam partai tersebut.

Pencetak gol dan skema permainan Liverpool memang mengejutkan. Divock Origi dan Giorginio Wijnaldum, dua pemain yang sebelumnya tak mendapat terlalu banyak sorotan, masing-masing mencetak dua gol.

Saking mengejutkannya performa Liverpool, orang-orang yang sebelumnya sempat 'berseberangan' dengan The Reds pun tak ragu mengutarakan kekagumannya. Salah satunya eks pelatih Manchester United dan Chelsea, Jose Mourinho.

"Anfield pada akhirnya adalah salah satu tempat yang bisa membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin," ujar Mou saat mengisi acara di beIN Sports.

Tanpa ragu, Mou juga melempar pujian setinggi langit untuk pelatih Liverpool, Jurgen Klopp.

"Bagi saya, remontada ini hanya layak diberi satu judul: Jurgen. [..] Dia layak mendapatkan ini. Sebagai pelatih, dia tidak menangis ketika dipaksa kehilangan pemain di pertandingan penting, dia tidak mengeluh saat timnya diminta memainkan terlalu banyak laga pramusim. Semua pelatih normal, di liga lain, pasti akan mengeluhkan hal itu," imbuhnya.

Pada konferensi pers setelah pertandingan, Klopp berkata bahwa kemenangan Liverpool atas Barcelona lebih dipengaruhi faktor mental ketimbang taktik. Namun, terlepas dari pernyataan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa secara permainan pun Liverpool pantas menang.

Meng-High Press Jordi Alba

Dalam merancang serangan, hitung-hitungan Whoscored menyebutkan musim ini Barcelona sangat bergantung pada sisi kiri mereka. Total 35 persen serangan (mayoritas) dibangun dari sisi ini, dan kontribusi terpenting diberikan Jordi Alba. Sebagai fullback kiri, Alba merupakan paket komplit. Dia cepat sekaligus piawai mencari ruang.

Namun, Klopp mampu membaca sedikit celah di balik kepiawaian tersebut. Dia menyadari Alba cenderung rentan ketika memegang bola di sepertiga daerah pertahanan sendiri. Faktanya memang demikian, data Whoscored menyimpulkan kalau Alba cenderung menghindari penguasaan bola di daerah sendiri dengan cara berdiri lebih dekat di middle-third.

Klopp lantas melakukan apa yang selayaknya dilakukan seorang pelatih tahan banting: menyerang lawan di titik lemahnya. Juru taktik asal Jerman itu memerintahkan kapten sekaligus gelandang kanan Liverpool, Jordan Henderson untuk fokus mem-pressing dan mendorong Jordi Alba mundur ke posisi terlemahnya.

Siasat ini berjalan mulus. Jika kita melihat gol pertama Liverpool, bola pertama memang didapat dari hasil pressing Henderson terhadap Alba. Pemain berpaspor Inggris itu merebut si kulit bundar dengan cepat dari Alba dan melepaskan umpan kunci ke depan yang berujung sontekan terukur Divock Origi.

Hal tidak beda jauh terjadi pada gol kedua tuan rumah. Kali ini bukan cuma Henderson, fullback kanan Liverpool, Trent-Alexander Arnold bahkan ikut mengintimidasi Alba. Momen krusial itu terjadi pada menit ke-54, Alba tak menguasai sebuah umpan lambung dengan sempurna. Arnold lantas mengambil alih penguasaan bola dengan jitu dan mengirim umpan silang yang dituntaskan dengan cekatan oleh Wijnaldum.

Klopp Konsisten Namun Dinamis

Saat periode awal melatih di Inggris, Jurgen Klopp, bersama pelatih Manchester City Pep Guardiola merupakan dua sosok yang selalu diragukan karena dianggap terlalu idealis. Media-media Inggris, di awal kehadiran keduanya bahkan memprediksi Klopp dan Pep tak akan betah berlama-lama di sepakbola Inggris. Alasannya sederhana: iklim sepakbola Inggris dicap terlalu dinamis untuk orang-orang idealis.

Namun, waktu membuktikan bahwa yang terjadi justru sebaliknya. Musim ini Klopp dan Guardiola merupakan dua pelatih yang berada di jalur terdepan perebutan gelar liga, jauh melesat meninggalkan lawan-lawan mereka.

Keberhasilan ini menegaskan menjadi idealis bukanlah sebuah dosa, dan Klopp lagi-lagi membuktikannya pada pertandingan dini hari tadi. Melawan Barcelona, dia nyaris tak mengubah banyak taktik dibanding leg pertama. Counter-pressing tetap jadi senjata andalan.

Hanya saja, Klopp juga membuktikan dia bukan orang bodoh yang asal ngotot dengan idealismenya tanpa berhitung. Dia tetap idealis, tapi melakukan sejumlah penyempurnaan dalam upayanya menekan Barca.

Dalam skema 4-3-3-nya, di lapangan tengah Klopp mengembalikan James Milner ke posisi idealnya di sebelah kiri, menggantikan Naby Keita. Perubahan ini sangat membantu The Reds dalam menetralisir visi Sergi Roberto dan Arturo Vidal. Sebagai gelandang kiri, Milner acap mem-pressing melewati garis tengah, namun jarang terlambat turun membantu peran Andrew Robertson maupun Virgil van Dijk ketika berhadapan dengan Messi.

Satu lagi yang tidak kalah penting: pilihan Klopp mengandalkan Divock Origi sebagai ujung tombak.

Dalam pertandingan leg pertama, Klopp mengandalkan Georginio Wijnaldum sebagai pilihan di posisi ini. Wijnaldum menjalankan tugas pressing dengan baik, tapi lemah dalam hal mengobrak-abrik kotak penalti lawan. Dengan kehadiran Origi, kelemahan itu seperti hilang. Penempatan posisinya yang brilian bikin bola-bola lambung yang dikirim Trent-Alexander Arnold, Andrew Robertson, maupun Xherdan Shaqiri jarang terasa sia-sia.

Dinamisme Klopp di tengah konsistensinya juga terbukti dalam keputusannya saat pergantian pemain. Ketika pada pertengahan laga Andrew Robertson mengalami cedera, dia dengan jitu menggeser James Milner ke posisi Robertson dan memasukkan Wijnaldum sebagai gelandang kiri.

Klopp sebenarnya punya opsi lebih sederhana: langsung memasukkan Joe Gomez untuk menggantikan Robertson. Entah pikiran apa yang membuatnya lebih percaya memainkan Wijnaldum, namun terbukti keputusan itu sangat tepat. Begitu masuk, Wijnaldum menyumbang sepasang gol yang mengunci kemenangan untuk timnya.

Valverde Tak Punya Rencana

Keputusan-keputusan tepat Klopp terasa makin menguntungkan karena pada saat yang sama pelatih Barcelona, Ernesto Valverde seperti tidak memiliki rencana yang cukup bagus.

Barcelona sebenarnya datang dengan posisi menguntungkan. Blaugrana unggul agregat 3-0. Yang perlu mereka lakukan adalah mencetak satu gol dan membiarkan waktu berjalan begitu saja. Dengan satu gol tandang, tentu Liverpool akan semakin sulit berkutik.

Namun alih-alih mengejar gol, Valverde justru terkesan melakukan kebalikannya. Walau di awal-awal laga Barca sempat mendapat beberapa peluang, nyatanya mereka tampil memakai formasi 4-4-2 dengan orientasi bertahan. Orientasi bertahan ini dapat dilihat dari seringnya Lionel Messi ikut turun ke belakang garis tengah, menyisakan Suarez seorang diri di sepertiga daerah lawan.

Ironisnya, dalam bertahan pun, Barcelona seperti setengah-setengah. Valverde lebih memilih Sergi Roberto di posisi fullback kanan, ketimbang memberi kepercayaan kepada Nelson Semedo, padahal di leg pertama, kombinasi Vidal dan Roberto di sayap kanan terbukti tidak begitu membantu.

Semedo memang sempat dimasukkan, namun langkah itu diambil sangat terlambat, tepatnya ketika Barca sudah tertinggal 3-0.

Keterlambatan Valverde merespons situasi juga terlihat dari pergantian-pergantian lain yang tidak kalah terlambat. Malcom, pemain yang dia masukkan pada menit 79 punya dampak signifikan. Kehadiran eks penggawa Bordeaux itu meringankan beban Messi dan bikin Barcelona sempat beberapa kali menguasai bola di daerah pertahanan Liverpool.

Namun lagi-lagi singkatnya durasi yang diberikan sang pelatih membuat Malcom urung menunjukkan potensi maksimalnya.

Alexander-Arnold dan Fabinho adalah Kunci

Terlepas dari segala pergelutan taktik di atas lapangan, Fabinho dan Trent-Alexander Arnold adalah dua pemain dengan performa yang paling layak diacungi jempol pada pertandingan tadi.

Meski tidak terlihat 'kasat mata', peran Fabinho berpengaruh besar terhadap keberhasilan taktik counter-pressing Jurgen Klopp. Diplot sebagai satu-satunya gelandang bertahan dalam skema 4-3-3 Klopp, Fabinho mengover area middle-third nyaris sempurna. Peran vital ini bikin dua pemain tengah lain, James Milner dan Jordan Henderson bisa lebih fokus membantu para penyerang Liverpool mem-pressing.

"Dalam pertandingan ketika pemain-pemain Liverpool lain selalu naik ke pertahanan lawan, Fabinho barangkali cuma hal kecil, tapi apa yang dia lakukan luar biasa," tulis pengamat sepakbola ESPN, David Usher.

Peran Fabinho juga terlihat ketika dia beberapa kali membuat Lionel Messi tidak berkutik. Tekel-tekelnya memang brilian, dia tercatat membuat total empat tekel sukses. Jumlah tersebut merupakan yang paling banyak dibanding pemain lain (cuma bisa diimbangi Sergio Busquets).

"Hanya sedikit pemain yang bisa membuat Messi kesulitan, Fabinho menampilkan hal yang menakutkan," imbuh Usher.

Fabinho juga punya peran kunci mendistribusikan bola dalam build-up Liverpool. Tugas itu dia jalankan dengan baik, terbukti dengan torehan akurasi umpan yang menurut catatan Whoscored menyentuh 90 persen. Angka ini menempatkannya sebagai pemain dengan akurasi umpan tertinggi kedua setelah Joel Matip (93 persen).

Sementara itu, peran satu sosok lain, Trent Alexander-Arnold tampaknya tidak perlu dipertanyakan lagi. Arnold punya kontribusi tak kalah penting. Sebagai pemain bertahan, dia tidak cuma membantu tim di sepertiga area belakang, tapi juga turut menopang tugas Jordan Henderson mem-pressing Philippe Coutinho dan Jordi Alba.

Peran defensif ini lantas disempurnakan dengan kontribusinya dalam mengancam pertahanan lawan. Crossing-crossing dan umpan pendeknya yang terukur bikin Arnold menorehkan dua key-passes dan dan dua assist.

Peran yang paling menunjukkan kejeniusan Arnold secara ofensif tergambar jelas dalam proses gol terakhir Liverpool. Memanfaatkan kelengahan barisan bek lawan, dia melakukan tindakan sederhana: mengirim umpan lebih cepat dari ekspektasi yang kemudian dimaksimalkan dengan baik Divock Origi lewat sepakan ke pojok gawang.

"Saya baru menyadari itu gol ketika bola sudah berada di gawang, saya sampai tidak tahu siapa yang mengeksekusi sepak pojok, itu terlalu cepat. Ya Tuhan, itu sangat jenius," kata Jurgen Klopp memuji bek kanan kesayangannya.

Baca juga artikel terkait LIGA CHAMPIONS atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Mufti Sholih