Menuju konten utama

Bubarkan Diskusi karena Bintang Kejora, Aktivis: Itu Mengada-ada

Polri diminta evaluasi diri soal pembubaran diskusi dan penangkapan aktivis KNPB di Papua.

Bubarkan Diskusi karena Bintang Kejora, Aktivis: Itu Mengada-ada
Perusakan Sekretariat Pusat Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Kampung Vietnam, Waena, Papua dan pembubaran diskusi di Asrama Mahasiswa Pegunungan Bintang, Jayapura, Papua, Senin (19/11/2018). Diduga dilakukan aparat gabungan TNI dan Polri. Polres Jayapura Kota menangkap 107 aktivis yang menjadi peserta diskusi. FOTO/Dok.KNPB

tirto.id - Pembubaran diskusi dan penangkapan aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dianggap melanggar HAM. Sebab personel gabungan TNI dan Polri diduga melakukannya dengan kekerasan.

Kegiatan diskusi itu dilakukan di Asrama Mahasiswa, Pegunungan Bintang, Jayapura, Senin (19/11/2018). Di hari itu 150 personel gabungan TNI Polri juga mendatangi Sekretariat Pusat KNPB di Kampung Vietnam, Waena, Papua.

"Polisi mendatangi sekretariat, melakukan perusakan semua fasilitas kantor, pintu dibongkar, lemari dan alat-alat yang ada di sekretariat dirusak," kata Juru Bicara KNPB Ones Suhuniap saat dihubungi reporter Tirto melalui sambungan telepon, Senin (19/11/2018).

"Ada yang diinjak [aparat gabungan], ada yang dipukul di punggung belakang. Yang diinjak itu dipaksa mengakui untuk kegiatan apa masak," imbuhnya.

Kepala Sekretariat Kantor Koordinasi di Papua dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Markus Haluk yang menjadi pemateri diskusi juga turut ditangkap. Dia menegaskan, kalau berbeda pendapat seharusnya personel kepolisian atau negara mempresentasikan pendapatnya dalam diskusi. Menurutnya dialog harus dibuka, bukan bertindak sepihak.

"Ini bentuk pembungkaman yang sangat sistematis. Mau demo dibungkam. Mau duduk diskusi juga dibubarkan. Jadi orang Papua terhempas di atas tanah mereka sendiri," tegas Markus saat dihubungi reporter TIrto.

Dalih Polri Bertindak

Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan pembubaran diskusi dan penangkapan aktivis dilakukan sesuai dengan aturan.

"Sesuai Peraturan Kapolri [Perkap] Nomor 7 tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998," kata Dedi ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (21/11/2018).

Dalam UU tersebut, tambah Dedi, aparat bisa bertindak jika penyampaian pendapat di muka umum bertentangan dengan hukum dan terindikasi merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Dedi mengatakan dalam pembubaran itu Polri bekerja sama dengan TNI dan divisi intelijen daerah. Polri menemukan indikasi kegiatan tersebut mengarah pada tindakan yang bertentangan dengan paham dan peraturan Indonesia.

"Indikasi membawa bendera Bintang Kejora milik Organisasi Papua Merdeka yang sudah dilarang pemerintah," ujarnya.

Infografik CI Pembubaran diskusi dan penagkapan di papua

Memang sejauh ini, barang bukti yang disita Polres Jayapura Kota, tidak ada yang berpotensi mengganggu keamanan negara. Beberapa di antara barang yang disita berupa, dua spanduk bertuliskan "Kongres Ke-II KNPB, Sadar dan Lawan: Membangun Kesadaran dan Kekuatan Perlawanan Dalam Negeri untuk Mengusir Praktek Militerisme, Kolonialisme, Kapitalisme, dan Imprealisme".

Kemudian satu unit printer, satu baju bermotif bintang kejora, dua noken bercorak bintang kejora, dan 17 unit sepeda motor tanpa surat resmi.

Polri Diminta Evaluasi Diri

Pengajar Hukum Acara Pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan menilai polisi seharusnya menguji indikasi KNPB mengganggu keamanan negara. Menurutnya Polri juga harus mendalami terkait kekerasan yang dilakukan anggotanya.

"Standar operasional polisi harus diuji, terbukti atau tidak adanya indikasi separatisme dan pembelaan," ujar dia.

Jika tidak terbukti, lanjut dia, polisi sudah melakukan dugaan penganiayaan yang termasuk ranah pidana. Sebab mereka diduga merusak dan melakukan kekerasan di Sekretariat KNPB.

Namun menurut Agustinus, personel polisi bisa masuk ke dalam diskusi. Sebab hanya ada tiga kondisi yang membuat kepolisian tidak boleh sembarangan memaksa masuk: tempat yang berlangsungnya ibadah, sidang pengadilan, dan berlangsungnya sidang DPRD atau DPR.

"Tidak ada orang yang bisa menghalangi penegak hukum masuk [untuk membubarkan], kecuali tiga keadaan itu," jelasnya.

Sedangkan Markus Haluk menegaskan, tak ada pengibaran atau pembentangan bendera Bintang Kejora dalam diskusi KNPB. Dia bingung, karena tidak ada bendera yang jadi barang sitaan.

"Dari mana Mabes Polri dapat laporan ada bendera Bintang Kejora? Ada-ada saja. Lucu tapi bagi kami biasa dengan penipuan macam ini tapi kasihan masih aja terjadi penipuan kepada publik Indonesia," kata Markus kepada reporter Tirto.

Gustaf Kawer, pengacara para aktivis KNPB, menyampaikan keterangan serupa dengan Markus. Menurutnya di ruang diskusi dan sekitar tempat kegiatan tak ada bendera Bintang Kejora.

"Alasan tersebut sengaja dibuat sebagai legitimasi aparat untuk membubarkan diskusi. Padahal diskusi yang sifatnya ilmiah dan kegiatan keagamaan tidak dilarang oleh UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Nomor 9 Tahun 1998," jelas direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua itu kepada reporter Tirto.

Pembubaran diskusi itu menambah daftar yang disusun South East Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net). Mereka mencatat, dari Januari 2015 hingga Februari 2018, ada 65 kali pelanggaran hak berkumpul dan berekspresi di Indonesia. Pelanggaran tersebut berupa intimidasi, pelarangan, perusakan, interogasi, penangkapan, pembredelan, dan pembubaran paksa.

Baca juga artikel terkait PENANGKAPAN AKTIVIS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dieqy Hasbi Widhana