tirto.id - Topik mengenai pernikahan beda agama ramai menjadi perbincangan warganet di sosial media usai selebgram Awkarin mengunggah postingan di Instagram pribadinya bertajuk “Bisakah Menjalin Hubungan Beda Agama?”.
Pada unggahan tersebut, Awkarin secara spesifik membahas nikah beda agama antara pemeluk Islam dan agama lain.
Salah satu penggalan postingan yang memicu kontroversi adalah Awkarin menyebut bahwa,
“.., masih banyak yang menggunakan ayat yang mereka percaya untuk mempertahankan pendapat bahwa pernikahan berbeda agama dilarang. Padahal, juga terdapat mazhab besar Islam yang mengizinkannya dengan syarat tertentu.”
Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia mengenai pernikahan beda agama?
Menikah beda agama menurut Islam
Mengutip laman Nahdlatul Ulama (NU) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pada pasal 4 menjelaskan bahwa, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan".
Pasal 40 menyebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; seorang wanita yang tidak beragam Islam.
Larangan menikah beda agama kemudian dipertegas lagi pada Pasal 44 "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam".
Selanjutnya larangan ini diperjelas dalam Pasal 61 yang menyebutkan "tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien."
Menikah beda agama dalam Islam dilarang dengan tegas, lugas, dan jelas dalam Surat Al Baqarah Ayat 221. Allah SWT berfirman,
“Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”
Selain itu, seperti ditulis pada laman Muhammadiyah, bahwa persoalan nikah beda agama ini telah melahirkan keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur.
Kesimpulannya, para ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki Muslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu dan lainnya).
Hal yang menjadi pembahasan seputar pernikahan beda agama adalah mengenai laki-laku muslim yang menikah dengan wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani).
Masih mengutip laman Muhammadiyah ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 5.
Ada pula yang mengatakan boleh. Namun demikian Muhammadiyah telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain karena Ahlul Kitab yang ada di zaman sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
Menikah beda agama menurut Undang-Undang Pernikahan RI
Di Indonesia, pernikahan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut regulasi tersebut Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Mengenai pernikahan beda agama, dijelaskan secara implisit dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Kemudian larangan menikah beda agama dijelaskan juga secara implisit pada pada Pasal 8 butir f tentang perkawinan yang dilarang antara dua orang adalah bagi mereka “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Maka dari itu, jika agama melarang, secara yuridis pernikahan juga dilarang, begitu pula sebaliknya.
Dijelaskan juga pada Bab Penjelasan Umum bahwa hukum perkawinan berlaku berdasarkan hukum masing-masing agama.
Oleh sebab itu, secara hukum yang berlaku di Indonesia, pernikahan beda agama tidak diakui karena dalam Undang-Undang tidak disebutkan bagi mereka yang melakukan perkawinan beda agama.
Secara ringkas, peraturan negara mengenai pernikahan berinduk atau merujuk kembali kepada peraturan masing-masing agama.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari