Menuju konten utama
Tsunami Selat Sunda

BNPB: Tsunami Akibat Longsor Anak Krakatau Belum Bisa Dideteksi

">

"[Tsunami] Yang terjadi di Selat Sunda tidak ada peringatannya karena kami tidak memiliki sistem," ujar Sutopo Purwo Nugroho dari BNPB.

BNPB: Tsunami Akibat Longsor Anak Krakatau Belum Bisa Dideteksi
Foto udara letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu (23/12/2018). ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/pras.

tirto.id - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, menjelaskan bahwa Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini untuk tsunami. Selain itu, sejumlah letusan dan longsoran Gunung Anak Krakatau yang mengakibatkan tsunami di Selat Sunda juga terabaikan karena dipandang sebagai kejadian biasa.

“Yang terjadi di Selat Sunda, tidak ada peringatannya karena kami tidak memiliki sistem. Tidak ada yang mengira erupsi Gunung Anak krakatau yang berlangsung pada malam itu menyebabkan longsoran bawah laut dan memicu tsunami,” ujar Sutopo dalam konferensi pers, Selasa (25/12/2018) siang di Jakarta.

“Kalau kami lihat, letusannya juga tidak paling besar. Bulan Oktober dan November 2018 letusannya lebih besar. Dan dari segi frekuensi, tremor, dan sebagainya, tidak ada yang mencurigakan,” lanjutnya.

Sutopo menyampaikan bahwa ini menjadi evaluasi dan pelajaran untuk ke depannya. Terlebih, Indonesia memiliki 127 gunung api aktif. Sutopo juga menambahkan, 13 persen dari populasi gunung api aktif di dunia yang ada di Indonesia juga memiliki potensi menimbulkan tsunami.

Nah, inilah tantangan bagi kami ke depan untuk mengembangkan sistem peringatan dini yang dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan erupsi gunung api,” kata Sutopo.

Sutopo menjelaskan bahwa catatan tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, 90 persen dibangkitkan oleh gempa bumi, sedangkan 10 persen dibangkitkan oleh longsor bawah laut dan erupsi gunung api.

“Mengenai aktivitas gunung Anak Krakatau masih terjadi erupsi, dan status yang ditetapkan PVMBG, Gunung Anak Krakatau tetap menjadi [waspada] level 2,” tegas Sutopo.

Erupsi Gunung Anak Krakatau telah terjadi sejak Juni 2018. Sutopo menjelaskan, tipe dari gunung itu melontarkan lava pijar dan abu vulkanik terus-menerus. “Tipenya seperti itu dan radius 2 km dari puncak kawah dinyatakan sebagai zona berbahaya. Tidak boleh ada aktivitas,” tandasnya.

Gelombang tsunami di Selat Sunda diduga dipicu dari longsornya bagian Gunung Anak Krakatau pada Sabtu malam (22/12/2018). Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengatakan, perkiraan luasan longsoran bagian tubuh Gunung Anak Krakatau itu berdasarkan pantauan citra satelit.

“Dari pantauan citra satelit terjadi deformasi [perubahan bentuk tubuh] Gunung Anak Krakatau yang menunjukkan luas 64 hektare, terutama pada lereng barat daya," papar Dwikorita di Jakarta, Senin (24/12/2018) seperti dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait TSUNAMI SELAT SUNDA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Iswara N Raditya