Menuju konten utama

Bisnis Sosial ala Kaum Muda

Kewirausahaan sosial diharapkan tak sekadar menjadi tren yang cepat tenggelam, melainkan kultur bisnis yang memberikan dampak sosial secara berkesinambungan

Bisnis Sosial ala Kaum Muda
Perajin menghias tas dengan menggunakkan teknik 'Decoupage' di Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/1/2018). ANTARA FOTO/Didik Suhartono

tirto.id - “Dunia ini tak mengitari kalian,” kata Barack Obama pada 2006, saat itu seorang senator, kepada para wisudawan Northwestern University.

Menurut Obama, kultur yang terlampau sering mengajarkan bahwa tujuan hidup ialah menjadi kaya, langsing, muda, terkenal, dan seterusnya, telah menjadikan bangsanya egois. Amerika Serikat, kata Obama, mengalami defisit empati, dan itu lebih mencemaskan ketimbang defisit anggaran.

Ia berharap anak-anak mudatersebut memperluas kepedulian mereka. Bukan karena mereka punya kewajiban kepada orang-orang yang kurang beruntung, bukan pula karena privilese adalah utang, “tetapi karena kalian punya kewajiban kepada diri kalian sendiri. Hanya dengan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirimulah kau dapat menyadari potensimu yang sesungguhnya, serta menjadi dewasa,” ujarnya.

Obama tak sendirian. Konsep Social Entrepreneurship (SE) atau Kewirausahaan Sosial lahir sebagai upaya menciptakan perubahan positif bagi dunia dengan cara menjembatani keuntungan finansial dan aktivisme sosial.

Sederhananya, SE adalah praktik usaha yang menggabungkan misi sosial dengan kedisiplinan dan determinasi bisnis. Menurut Schawb Foundation for Social Entrepreneurship, SE memiliki 3 karakteristik utama: menawarkan solusi inovatif bagi persoalan masyarakat, menggunakan keuntungan untuk mendukung misi sosial, serta mempertimbangkan masukan publik untuk beradaptasi dan menyempurnakan pola bisnis.

Dengan begitu banyak isu sosial yang patut diberi perhatian, Indonesia adalah ekosistem yang baik untuk SE. Terbukti, dalam beberapa tahun terakhir, para wirausahawan muda menyemarakkan SE. Lebih dari sekadar mencari keuntungan, mereka hendak menebar kebaikan dan ikut membangun negeri.

Salah satunya adalah Azalea Ayuningtyas. Gadis 27 tahun lulusan program master bidang kesehatan masyarakat di Harvard ini rela meninggalkan kariernya di Boston untuk kembali ke Tanah Air dan mendirikan Du’Anyam, bersama 6 teman sebayanya, pada 2014. Mereka menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan-perempuan hamil di Larantuka, Nusa Tenggara Timur—salah satu daerah dengan angka kematian maternal tertinggi di Indonesia, sekaligus memberikan edukasi tentang kehamilan serta akses finansial untuk layanan kesehatan dan gizi yang lebih baik. Saat ini, Du'Anyam telah memberdayakan 400 perempuan di 15 desa di Flores sebagai pengrajin, dan dicanangkan pada 2020 jumlah itu meningkat jadi 2.000 orang.

Contoh lainnya adalah Pandawa Agri Indonesia (PAI) yang menawarkan berbagai produk dan jasa berbasis penelitian untuk mendukung pertanian berkelanjutan di Indonesia. Didirikan oleh 3 lulusan Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, PAI menemukan cara mengurangi masukan sintetis sebesar 50% dan telah mengembangkan produk ramah lingkungan yang inovatif seperti Solusi Penyelesaian Gulma dan Solusi Hama yang menawarkan penghematan biaya hingga 30% bagi petani. Wirausaha sosial ini juga melatih kaum muda menjadi "Duta Pertanian" untuk menanamkan apresiasi dan semangat bertani pada anak muda di berbagai daerah.

Para pemuda visioner itu melakukan inisiatif yang bermakna, menyalakan lilin alih-alih mengutuk kegelapan. Mereka menggelar lapangan kerja, mengatasi masalah lingkungan, hingga menyediakan pelayanan medis dan pendidikan yang terjangkau. Semangat mereka selaras dengan gagasan “Indonesia For Good” yang diusung oleh DBS Foundation untuk mempromosikan kultur SE di Indonesia.

Infografik Indonesia For Good

Sejak berdiri pada 2014, DBS Foundation sebagai satu-satunya yayasan perusahaan di Asia yang berdedikasi untuk memperjuangkan kewiraswastaan sosial terus bekerjasama dengan para pelaku usaha sosial melalui berbagai program, mulai dari kompetisi usaha sosial, forum pembelajaran, inkubasi, dukungan pendanaan, serta pendampingan. Tujuannya: membangun masyarakat yang lebih inklusif sehingga mereka yang berada di tepi tetap dapat menikmati kehidupan yang produktif dan bermanfaat.

Namun, bukan berarti ekosistem SE di Indonesia lepas dari tantangan. Kendala utama yang menghantuinya adalah masalah kesinambungan. Bagaimana agar inisiatif yang telah ada dapat bertahan dan menginspirasi inovasi-inovasi baru? Komitmen para pendirinya saja tentu tak cukup. Begitupundukungan pemerintah atau dana pribadi yang terbatas. Inisiatif swasta bisa jadi salah satu solusi.

Salah satu inisiatif yangdilakukan DBS Foundation adalah menggelar “Social Enterprise Grant Programme”, hibah untuk wirausaha-wirausaha sosial di Asia, termasuk Indonesia. Patokan penilaiannya adalah bagaimana perusahaan tersebut dapat menyediakan solusi nyata atas masalah sosial dengan model bisnis yang inovatif dan berkelanjutan.

Awal tahun ini, DBS Foundation menghibahkan lebih dari 11 miliar Rupiah kepada 14 wirausaha sosial di Asia, termasuk Du’Anyam dan PAI. Dana itu akan mereka manfaatkan untuk mengembangkan bisnis sekaligus memperkuat misi sosial masing-masing. Besar harapan mereka dapat menjadi role model bagi anak-anak muda lain yang tergerak berkecimpung dalam kewirausahaan sosial.

Cara termudah untuk mendukung sebuah Usaha Sosial memang dengan menjadi konsumen. Namun, bagaimana jika Anda justru tertarik untuk menjadi pelaku Usaha Sosial?

Berkolaborasi dengan UKM Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, DBS Foundation meluncurkan buku Berani Jadi Wirausaha Sosial. Telah diunduh lebih dari 282 ribu kali, buku itu tak hanya menerangkan konsep SE secara menyeluruh, tetapi juga mengajak para pembacanya berpikir apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki keadaan di lingkungan dan negara ini.

DNA kewirausahaan sebetulnya ada dalam diri setiap orang. Usaha Sosial merupakan wadah terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan mencari arti hidup. Sekali merasakan kesuksesan usaha sosial yang Anda rintis, Anda tak akan mau berhenti,” tulis pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus, dalam bukunya A World of Three Zeros. Peraih Nobel Perdamaian 2006 itu percaya bahwa usaha sosial adalah harapan bagi kemanusiaan.

Ia berkata, “Kita bisa menciptakan peradaban baru yang tidak berdasarkan ketamakan bendawi, melainkan nilai-nilai yang memanusiakan manusia. Mari mulai hari ini.”

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis