tirto.id - Sepuluh menit menjelang pukul 2 malam, layar ponsel Kupi Arif memancarkan sinar kuning kehijauan. "Für Elise" versi monofonik sekonyong-konyong tersembur ke udara. Tubuh Kupi mengejang. Ia meraih ponsel dari meja di samping kanan tempat tidurnya, lalu mengubur benda itu di balik bantal. Dalam keadaan tengkurap, Kupi mematikan alarm dan menunggu pengar berlalu dari kepalanya.
Kupi mengendap-endap ke ruang tengah. Tidak ada orang. Ia mengendap-endap ke dapur, minum, dan mengendap-endap kembali ke ruang tengah. Ruangan itu dia biarkan gelap. Ia menyalakan televisi, lalu beringsut mendekati layar sembari mengatur volume bunyi sesuai batas terendah pendengarannya.
Sayup-sayup terdengar suara perempuan yang nadanya kenes maksimum. “Selamat, Bapak! Sayang, ih, si Bapak jauh. Kalau dekat udah kita garot,” katanya. Perempuan itu mengucapkan kata terakhir, istilah Betawi yang berarti “gigit”, sambil mencakar ke arah kamera.
Kupi terkikik. Perempuan itu bicara lagi, kali ini sambil membenahi kembannya yang baik-baik saja: “Sesi SMS aku buka lagi selama satu menit. Ketik BS, kirim ke 9288. Kirim sebanyak-banyaknya, sebab dua unit handphone 3,5 G layar sentuh menanti kamu.”
Acara yang disaksikan Kupi ialah kuis Bisik-bisik. Kuis itu tayang di stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) setiap Senin hingga Jumat, sejak pukul 2 hingga 4 pagi, lebih dari lima tahun lalu. Isinya sederhana saja: Pembawa acara perempuan dengan bodi pulen dan bungkus minim mengajak pemirsa mengirimkan pesan premium bertarif 2000 rupiah, kemudian mengajukan soal-soal pilihan ganda yang amat gampang kepada pengirim terpilih. Bila menjawab benar, orang berhak atas hadiah berupa ponsel atau uang tunai.
Kupi tidak peduli kepada pertanyaan maupun hadiah yang ditawarkan kuis itu. Minatnya tertancap pada gerak-gerik dan perkataan Yeyen Lidya, si pembawa acara, baik ketika perempuan itu meladeni kru yang berada di luar layar—ia memegang payudaranya sendiri sambil berkata “Mbak itu nyuruh aku pegangin”, berjoget dan bernyanyi, maupun bicara kepada pemirsa (“Ayo kirim. Jangan tidur dulu. Bangun, semuanya bangun. Eh, apanya, nih, yang bangun?”)
Bagi Kupi itu jelas pengalaman yang intim. Bertahun-tahun kemudian, saat membicarakan Yeyen, ada gelora yang lembut dalam caranya berkisah, seakan-akan perempuan itu adalah cinta pertamanya. “Aku lebih kehilangan Mbak Yeyen di kuis malam,” tulis perupa muda beken itu di Twitter pada 28 Juli silam.
Kuis Bisik-bisik bukanlah pemain tunggal semasa ia mengudara. Waktu itu TPI punya kuis JA, Global TV menayangkan kuis F1 Sensation dan Kejar Rejeki, serta ada pula acara-acara jenis lain dengan dagangan yang sama, misalnya Komedi Tengah Malam di Lativi (sekarang TV One). Namun, hanya Bisik-bisik, wabil khusus saat dibawakan Yeyen Lidya, yang dikenang Kupi secara istimewa. Saya menyebutkan Rahma Azhari dan Sarah Louisa dalam obrolan kami. Kupi tahu keduanya pernah membawakan kuis Bisik-bisik, tapi ia menggeleng.
Sentimentalia memang tidak keliru. Namun, kesedihan selalu lebih baik ketimbang delusi dan kenyataan adalah setan besar yang muskil diusir. “Seintim apa pun pengalamanmu menonton Yeyen dalam senyap, Bung, engkau harus sadar bahwa ia juga sebuah pengalaman kolektif. Seperti halnya kemerdekaan Republik Indonesia, ia adalah milik pribadi sekaligus milik bersama.”
Tentu saya hanya berani mengatakan itu di dalam hati. Yang benar-benar keluar dari mulut saya adalah “Waktu itu kamu tidak merancap sendirian, lho. Kamu melakukannya bersama banyak orang lain, termasuk pria-pria paruh baya buncit yang bertelanjang dada dan bersarung dari Gandrungmangu dan Watukumpul dan Rangkasbitung.”
Pemilik akun Twitter @bebiben tampaknya mengerti benar tentang kolektivitas tersebut. Sehari setelah pemilu legislatif 2014, ia menyampaikan salah satu nasihat politik terbaik dalam dekade ini: “Coba MNC Group idupin 'Kuis Bisik-Bisik Tengah Malam' lagi, saya yakin perolehan suara Hanura bisa mencapai 50 persen.” Beberapa menit kemudian, pedal gas diinjaknya makin dalam: “WIN-HT [Wiranto-Harry Tanoesoedibyo] sih oon, bikin kuis kebangsaan, bukannya ngidupin kuis bisik-bisik tengah malam lagi. Lihat tuh akibatnya.”
Ditambah kenyataan bahwa di Youtube terdapat belasan klip kuis Bisik-bisik (sebagian diunggah pada 2016) dengan penayangan masing-masing sebanyak ribuan hingga ratusan ribu kali, menyebut acara itu diminati banyak orang tentu tidak berlebihan. Untuk memastikannya, tim riset tirto.id mencoba melacak rating dan pendapatan kuis Bisik-bisik.
Hasilnya nihil, bahkan informasi dasar tentang acara itu pun beredar nyaris sebagai desas-desus. Tidak ada keterangan yang jelas tentang jadwal dan masa siar, juga alasan penghentian penayangannya. Kuis itu dibicarakan di banyak forum internet dan blog dan media sosial, tetapi absen dari situs resmi MNCTV (nama TPI sejak 20 Oktober 2010) serta laporan tahunan MNC Group.
Saya kemudian menelepon MNCTV pada Jumat, 29 Juli, pukul 3 sore. Panggilan terhubung dan saya bicara dengan orang-orang dari bagian arsip dan program. Terakhir, suara seorang perempuan meminta saya menghubungi mereka lagi paling cepat 2 jam setelah itu, sebab orang yang mungkin mengerti urusan tersebut sedang rapat dan rapat itu masih akan lama. Pukul 5 lebih 40 menit, saya kembali menelepon, berkali-kali. Semua panggilan tersambung, tetapi di seberang sana gagang telepon tidak diangkat.
Yeyen Lidya, yang juga saya hubungi lewat telepon, hampir tidak ingat apa pun tentang kuis Bisik-bisik, kecuali bahwa ia pernah bekerja di sana selama sekitar dua tahun (tidak ingat persisnya kapan), jadwal tayangnya Senin hingga Jumat, dan acara itu dibawakannya bergantian dengan beberapa orang lain. Ia tidak ingat kapan acara itu berhenti tayang, juga sebabnya. Sejumlah klip kuis Bisik-bisik diunggah ke internet pada 2009. Itu berarti, ia tak mungkin tayang pertama kali di televisi pada tahun-tahun setelahnya.
Entri paling awal terkait kuis berhadiah di situs resmi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah dokumen bertanggal 05 Juli 2011, yaitu siaran pers tentang evaluasi bersama Kementerian Sosial, kepolisian, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan ormas. Hasilnya muncul setahun kemudian sebagai imbauan terhadap “setiap lembaga penyiaran … agar melakukan evaluasi internal dan memastikan program siaran telah mengikuti peraturan yang berlaku.”
Karena judul-judul acara yang dimaksud tak disebutkan, tidak dapat diketahui apakah kuis Bisik-bisik masih disiarkan pada waktu itu dan dengan demikian termasuk yang dievaluasi. Namun, jelas bahwa acara itu (dan beberapa tayangan serupa) sudah disiarkan sejak bertahun-tahun sebelum evaluasi itu digelar. Dan peraturan yang berlaku, yakni Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang melarang “eksploitasi bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi” (pasal 50 ayat 3), sudah ada sejak tujuh tahun sebelumnya.
Apakah mungkin keterlambatan itu tersebab aduan masyarakat baru masuk pada 2011? Tentu tidak. Kapan, memangnya, negara ini kekurangan stok moralis?
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti