tirto.id - Pemerintah Amerika Serikat melarang para penumpang dari beberapa negara dengan tujuan Amerika Serikat membawa perangkat elektronik yang lebih besar dari ponsel masuk ke dalam kabin pesawat terbang.
“Tidak ada komentar dalam tindakan pencegahan keamanan," kata Juru bicara Departemen Kemanan Dalam Negeri, David Lapan, seperti dikutip dari Reuters.
Dalam aturan tersebut, penumpang dilarang membawa perangkat elektronik yang lebih besar dari ponsel seperti laptop, tablet atau iPad, dan kamera ke dalam kabin pesawat. Secara spesifik, aturan pelarangan berlaku bagi perangkat elektronik yang lebih besar dari ukuran 19 cm x 9,3 cm.
Aturan larangan penumpang membawa perangkat elektronik yang lebih besar dari ponsel, berdampak pada penerbangan bandara-bandara di beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Dikutip dari laman BBC, terdapat 9 maskapai yang terkena aturan tersebut. Aturan pelarangan tersebut, tidak berdampak bagi maskapai-maskapai asal Amerika Serikat.
Berbeda dengan AS dan Inggris, di Indonesia, PT Angkasa Pura I (Persero) misalnya, selaku pengelola bandara hanya memperketat prosedur pemeriksaan barang elektronik seperti laptop yang dibawa penumpang pesawat di 13 bandara. Regulator maupun operator bandara di Indonesia tak sampai melakukan larangan.
"Demi meningkatkan keamanan dan keselamatan penumpang selama penerbangan sekaligus mengantisipasi eskalasi ancaman keamanan penerbangan, kami mohon bantuan dan kerjasama calon penumpang untuk dapat mengikuti dan mematuhi prosedur pemeriksaan yang ditetapkan," kata Sekretaris Perusahaan PT Angkasa Pura I Israwadi dikutip dari Antara.
Pemeriksaan ketat terhadap laptop dan barang elektronik ditegaskan kembali melalui Instruksi Dirjen Perhubungan Udara Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Upaya Peningkatan Penanganan Bom (Bomb Threat) pada Penerbangan Sipil per 30 Maret 2017.
Pelarangan laptop dan perangkat elektronik sejenis masuk kabin pesawat terbang, sebagaimana diwartakan The Guardian adalah karena adanya informasi bahwa teroris telah berupaya memasukkan bahan peledak ke dalam suatu perangkat iPad palsu. Namun, pihak yang dicurigai melakukan, merujuk istilah yang digunakan Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat, “innovative methods”, tidak diungkapkan pada publik.
Sementara itu, sebagaimana diberitakan The Guardian pada awal Februari tahun lalu, sebuah pesawat komersial Somalia mengalami ledakan di bagian jendela. Diyakini, ledakan berasal dari perangkat yang berbentuk mirip dengan Laptop. Ledakan di pesawat Somalia tersebut, terjadi setelah 15 menit pesawat tersebut take-off. Untungnya pesawat yang membawa 75 penumpang berhasil mendarat darurat, tapi satu orang dilaporkan tewas.
Namun, beberapa analis keamanan meragukan aturan larangan tersebut. Matthew Finn, konsultan keamanan dari Augmentiq kepada Reuters mengungkapkan bahwa tidak membawa peledak ke kabin jauh lebih masuk akal daripada membawanya ke dalam. Hal tersebut didasari oleh perkembangan teknologi terorisme yang bisa mengaktifkan ledakan hanya melalui perangkat-perangkat kecil seperti ponsel.
“Saya membayangkan bahwa harus ada intelijen yang andal yang bisa memberikan (informasi) terpercaya atas ancaman tersebut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ukuran (perangkat elektronik) tertentu bisa membuat sesuatu atau seseorang lebih aman,” kata Matthew Finn.
Soal kebenaran perangkat seperti Laptop, iPad, dan perangkat-perangkat lain seukuran tersebut bisa dimanfaatkan teroris melakukan serangan, masih bisa diperdebatkan. Namun, perangkat elektronik memang menyimpan celah yang bisa diekploitasi dan berdampak bagi keselamatan sebuah penerbangan. Firma keamanan CrowdStrike mampu melakukan membajak komputer PC maupun Mac, dan lantas menghanguskan atau membakar komputer tersebut.
“Kami benar-benar dapat mengatur mesin (komputer) untuk terbakar,” kata Dmitri Alperovitch, Chief Technology Officer CrowdStrike.
CrowdStrike, disebutkan bisa mengontrol komputer yang telah mereka bajak, dan mengatur temperatur komputer tersebut ke posisi yang cukup sebagai pemicu kebakaran. Mereka melakukannya dengan terlebih dahulu memanipulasi pembaruan atau update firmware komputer dan kemudian mematikan sistem pendinginan komputer yang telah berhasil dikuasai.
“Kami memasuki zaman baru yang menargetkan serangan penghancur,” tambah George Kurtz, Chief Operating Officer dari CrowdStrike.
Tentu, apa yang dilakukan firma kemanan CrowdStrike hanya menunjukkan bagaimana kerentanan keamanan suatu perangkat bisa diekploitasi untuk membuat serangan mematikan. Belum ada bukti yang kuat bahwa teroris benar-benar bisa memanfaatkan laptop atau perangkat sejenis untuk dijadikan bom.
Selain apa yang dilakukan firma CrowdStrike, dalam keadaan tertentu, laptop juga memungkinkan untuk meledak. Namun, ledakan yang dimaksud, cukup jauh dari definisi bom berdaya ledak tinggi. Adalah teknik overclocking yang mampu melakukannya. Overclocking, dalam definisi yang sederhana artinya adalah memaksa komputer, dalam hal ini komponen prosesor, untuk bekerja di atas kemampuan standarnya. Umumnya, teknik overclocking dilakukan oleh seorang gamer yang menginginkan kinerja laptop atau komputernya jauh lebih kencang. Overclocking dilakukan, salah satunya dengan menambah daya listrik yang masuk ke dalam komponen prosesor.
Sebagaimana diberitakan Buzzle, overclocking memiliki efek samping yang cukup berisiko. Yakni perangkat keras akan kepanasan. Dan perangkat keras yang kepanasan, berisiko merusak sirkuit perangkat tersebut. Bukan hal yang aneh jika laptop yang di-overclocking, akan mengalami kebakaran. Dan sesungguhnya, kejadian seperti ini terbilang kecil sekali kemungkinannya terjadi. Lantaran, orang-orang yang paham teknik overclocking dan mau melakukannya, hanyalah kalangan terbatas.
Yang paling menarik, sebuah situsweb bernama Hackaday.com melakukan percobaan menghancurkan Laptop memanfaatkan bubuk mesiu dan rautan magnesium. Bahan-bahan tersebut, dengan tidak diinformasikan secara mendetail, diintegrasikan dengan Laptop. Hasilnya, sebagaimana ditunjukkan melalui video yang mereka unggah, Laptop bisa terbakar dengan hebat.
Apa yang coba dibuktikan oleh CrowdStrike, teknik overclocking, maupun apa yang dipertunjukkan Hackaday, tidak menunjukkan bahwa Laptop, benar-benar bisa ditransformasikan menjadi bom. Dari contoh-contoh tersebut, Laptop hanya terbakar dan bukan meledak sebagai bom. Namun, jika laptop atau perangkat sejenis bisa membuat kobaran api di dalam kabin pesawat, tentu jadi mimpi buruk bagi awak dan penumpang.
Tapi, sesungguhnya bukan hanya Laptop atau perangkat sejenis yang bisa dimanfaatkan untuk serangan teror di pesawat. Sebagaimana diwartakan Wired, peneliti keamanan Evan Booth, berhasil membuat alat, senjata, dan bahkan bom dengan memanfaatkan barang-barang yang diperjual-belikan di toko-toko di dalam bandara, dan 9 baterai lalu mengubahnya menjadi senjata yang cukup untuk melakukan serangan teror.
Booth menunjukkan, bahwa sebenarnya, persoalannya bukan hanya ada pada Laptop atau perangkat lain yang ukurannya lebih besar dari ponsel, akan tetapi pada si teroris itu sendiri. Jika teroris sudah merencanakan untuk melakukan aksi teror, banyak cara dan celah yang bisa dimanfaatkan untuk seseorang berbuat jahat.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra