Menuju konten utama

Bisakah Aksi Mengelabui Museum Disebut Seni Konseptual?

Absurditas seni konseptual adalah keniscayaan. Ia hasil dari penonjolan peran seniman dalam berkarya.

Bisakah Aksi Mengelabui Museum Disebut Seni Konseptual?
Karya seni dari Geuget Pangestu, salah satu seniman yang dipamerkan pada ajang Pameran ArtXFashion, di The Warehouse Plaza Indonesia, Jakarta, Kamis (30/11/2017). ANTARA FOTO/Khairun Nisa

tirto.id - September lalu, dunia seni dihebohkan oleh persoalan duit. Seniman kontemporer Jens Haaning mendadak viral gara-gara karya performance-nya yang bertajuk Take the Money and Run. Judul karya itu rupanya sangat harfiah karena Haaning benar-benar mengibuli museum, menggondol uang komisinya, dan kabur.

Institusi yang dia kibuli adalah Kunsten Museum of Modern Art, salah satu institusi penting dalam ekosistem seni Denmark. Ia adalah rumah dari mayoritas koleksi seni modern Denmark (abad ke-20). Kini, berkat ulah Haaning, ia jadi buah bibir di luar Denmark.

Seturut pemberitaan Artnet, Kunsten Museum membayarHaaning untuk mereproduksi dua karyanya yang bakal dipajang dalam pameran temporer Work It Out. Dua karya Haaning yang dimaksud adalah An Average Danish Year Income (2007) dan An Average Austrian Year Income (2010).

Kunsten Museum dikabarkan telah membayar Haaning sebesar 534 ribu kroner (setara sekitar Rp900 juta). Namun, Haaning merasa jumlah itu tidak cukup untuk mereproduksi karya yang dibuatnya sepuluh tahun silam. Terlebih, karya itu butuh uang asli untuk membuatnya.

Haaning bahkan mengaku musti mengeluarkan 25 ribu kroner (sekitar Rp42,5 juta) dari kantongnya sendiri. Menurutnya, ada pertimbangan faktor inflasi, perubahan nilai UMR, dan perubahan desain mata uang kertas supaya reproduksi karya lawasnya itu akurat untuk konteks 2021. Jadi, tanpa tambahan modal dan jaminan uangnya bakal diganti, Haaning merasa tak mungkin mewujudkan karya itu.

Maka Haaning memutuskan untuk mengirimkan dua bingkai kanvas polos ke Kunsten Museum. Langkah itu bisa saja dibaca sebagai caranya untuk memprotes dengan gaya.

“Karya saya adalah cara saya menggondol duit mereka,” ujar Haaning di program radio P1 Morgen.

Haaning bahkan ingin aksinya itu jadi inspirasi bagi para pekerja yang hidupnya nelangsa.

“Saya mendorong orang lain yang kondisi kerjanya sama-sama menyedihkan supaya melakukan aksi serupa. Kalau tidak mendapat bayaran layak dan malah bikin bokek, ambil saja duitnya dan kabur,” kata Haaning.

Konsekuensi Hukum

Sejauh ini, Kunsten Museum ternyata mengikuti aturan main Haaning dan memamerkan kanvas-kanvas kosongnya sebagai bentuk fisik dari Take the Money and Run.

Tapi, dalam wawancara dengan Artnet, juru bicara museum menyatakan, “Sekarang kami pantau dulu. Jika uang itu tidak dikembalikan hingga tanggal 16 Januari (tanggal akhir pameran) seperti yang telah disepakati, kami bakal mengambil langkah-langkah yang diperlukan supaya Jens Haaning mematuhi kontraknya.”

Jadi, tidak menutup kemungkinan Kunsten Museum akan membawa Haaning ke pengadilan.

Menurut penulis dan litigator senior spesialis hak kekayaan intelektual asal Singapura Adrian Tan, pihak Kunsten Museum jelas akan menang di pengadilan. Pasalnya, Jens Haaning jelas-jelas melakukan pelanggaran kontrak. Namun, soal bisakah Kunsten Museum mendapatkan kembali uangnya, itu adalah masalah lain.

Tan juga menjelaskan keputusan Museum Kunsten terus memamerkan Take the Money and Run justru memperkuat posisi Haaning. Karya seni baru yang diberikannya itu bisa jadi lebih berharga daripada karya lawasnya. Itu bisa ditafsir bahwa Haaning telah memberikan balas jasa yang senilai dengan uang yang dikeluarkan museum.

Tan menutup pernyataannya dengan menulis, “Selain soal hukum, apakah karya Haaning ini ada pesan moralnya? Well yes, dia mengajarkan kita bahwa seni bisa berarti mengambil uang komisi dan tidak membuat apa-apa.”

Absurdnya Seni Kontemporer

Kita sebenarnya tidak perlu heran atau kaget pada aksi Jens Haaning itu. Pasalnya, di sepanjang sejarahnya, seni kontemporer—terlebih yang dilabeli konseptual—memang sering seabsurd itu.

Menurut Arthur C. Danto dalam What Is Art? (2013), pandangan masyarakat akan seni sudah berkembang ke tahap yang absurd. Kini, karya seni bisa didefinisikan oleh properti-properti takkasat mata atau bersifat nonmaterial. Ia bisa saja sesuatu yang tidak dapat disentuh atau dirasakan fisiknya, asalkan ide di baliknya bisa dinalar.

Gerakan seni konseptual semacam itu pertama kali dipopulerkan oleh seniman asal Perancis Marcel Duchamp melalui seri karya readymade.Karya itu menunjukkan bahwa benda-benda yang sangat biasa dalam keseharian kita bisa bertransformasi menjadi karya seni karena si seniman mendakunya sebagai karya seni.

Duchamp memang dikenal sebagai sosok seniman jenius dalam sejarah seni. Menurut buku Sociology of Art: A Reader (2003), di berkontribusi mengukuhkan gagasan “society is art”.Artinya, segala elemen kehidupan masyarakat—termasuk kanvas kosong sekali pun—bisa menjadi seni.

Gagasan itu kemudian diikuti oleh seniman-seniman kontemporer tersohor lain, seperti Andy Warhol dengan Brillo Box-nya, Jeff Koons dengan readymade vacuum cleaner-nya, kabinet obat-obatan bikinan Damien Hirst, sampai tempat tidur ala Tracey Emin. Jadi, meski mungkin tampak mengagetkan, aksi Jens Haaning itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru.

Salah satu seri readymade bikinan Duchamp yang paling terkenal adalah The Fountainpada dasarnya itu adalah sebuah urinoir yang dibeli Duchamp dari toko bangunan dan ditaruh menghadap atas. Itu adalah “karya” yang diajukan Duchamp untuk dipamerkan dalam Society of Independent Artists, New York, pada 1917.

Duchamp mengajukan karya itu dengan menggunakan pseudonim R. Mutt. Keputusan menggunakan pseudonim itu dilatari alasan bahwa Duchamp sendiri ikut andil dalam pembentukan Society of Independent Artists sekaligus duduk sebagai anggota dewannya.

Infografik Take the Money and run

Infografik Take the Money and run. tirto.id/Rangga

Society of Independent Artists semula dibentuk sebagai tandingan Salon des Indépendants, Paris, yang dianggap terlalu birokratis dan kontrainovasi. Society of Independent Artists punya cita-cita mengangkat seniman-seniman muda dan karya-karya eksperimental.

Dengan mengajukan sebuah urinoir yang dilabeli karya seni, Duchamp sebenarnya bermaksud menguji Society of Independent Artists. Sayangnya, pengajuan The Fountain itu ditolak oleh anggota dewan Society of Independent Artists. Menurut mereka, dilihat dari sisi mana pun, urinoir itu bukanlah karya seni.

Keputusan itu lantas membuka mata Duchamp bahwa Society of Independent Artists sebenarnya tidak se-eksperimental yang dia pikirkan. Setelah itu, Duchamp memilih mengundurkan diri dari dewan Society of Independent Artists. Menurutnya, mereka telah melakukan hal yang kelewat batas karena merasa punya hak untuk memveto dan menyensor karya seni.

Insiden ini kemudian ramai diberitakan. Dalam surat kabar Mercure de France,kritikus seni sekaligus penyair Perancis Guillaume Apollinaire menulis pendapatnya, “Sudut pandang Society of Independent Artists jelas tidak masuk akal karena tidak dapat dipertanggung jawabkan bahwa seni tidak dapat digunakan untuk memuliakan suatu objek (keseharian).”

Argumen Apollinaire ini hadir dari ide bahwa semua karya seni berasal dari materi keseharian—dari tanah liat atau kain kanvas. Yang membuatnya berbeda dari materi umum adalah intervensi dari seniman atas materi itu. Dengan perspektif ini, The Fountain tetap layak disebut karya seni karena Duchamp nyatanya telah menorehkan intervensinya berupa tanda tangan dan pernyataannya.

Pengalaman Duchamp itu dalam aspek tertentu sejalan dengan pengalaman Jens Haaning berhadapan dengan Kunsten Museum of Modern Art. Mereka berdua sama-sama menonjolkan peran seniman dalam produksi suatu karya seni—yang memang menjadi inti dari praktik seni konseptual kontemporer. Mereka juga serupa dalam hal hubungannya dengan institusi penyokong ekosistem seni yang sering lupa soal pentingnya peran seniman.

Cerita-cerita macam itu agaknya masih akan terus berulang di masa depan. Pasalnya, pasar seni kontemporer memperdagangkan karya living artists yang tentunya punya kebutuhan sandang, pangan, papan. Namun, ironisnya, porsi besar keuntungan justru tidak dinikmati oleh si seniman, tapi jatuh ke tangan kolektor, galeri seni, atau balai lelang dan juga museum.

Memang benar ada seniman-seniman konseptual yang berhasil memanfaatkan kekaryaannya dan menjadi sangat kaya. Sebutlah misalnya Andy Warhol, Jeff Koons, dan Damien Hirst. Namun, mereka hanyalah segelintir orang-orang yang berhasil mengikuti permainan pasar seni. Mereka malah cenderung bertindak laiknya pebisnis daripada seorang seniman.

Baca juga artikel terkait SENI KONTEMPORER atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Fadrik Aziz Firdausi