Menuju konten utama

Biofuel dari Jagung, Lebih Besar Biaya dari Manfaatnya

Penggunaan jagung sebagai pangan lebih menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan dibandingkan sebagai biofuel.

Biofuel dari Jagung, Lebih Besar Biaya dari Manfaatnya
Ilustrasi jagung. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Jauh sebelum minyak bumi ditemukan, manusia sudah menggunakan biofuel—sumber energi yang terbuat dari benda hidup. Ia bisa terbuat dari tanaman, atau bahkan hewan. Minyak nabati, lemak hewani, etanol, metanol, dan terpentin dari kayu adalah sumber-sumber energi yang digunakan manusia untuk penerangan, penghangat, memasak, hingga transportasi.

Pada masa awal revolusi industri, biofuel mulai banyak digunakan. Namun pada 1860-an, terjadi pergeseran dari biofuel ke minyak bumi seperti bensin dan minyak tanah. Awalnya untuk lampu minyak, lambat laun ia menjadi bahan bakar otomotif.

Pergeseran bermula di Eropa, lalu dengan cepat terjadi di Amerika dan benua-benua lain. Meski begitu, penggunaan biofuel tidak benar-benar ditinggalkan. Ia tetap dipakai sebagai bahan tambahan bensin agar dapat memperbaiki oktan.

Tahun 1826, Samuel Morey adalah orang pertama yang menemukan mesin piston yang menggunakan alkohol. Tahun 1860, Nikolaus August Otto dari Jerman mengembangkan penggunaan etanol pada mesin Otto atau siklus Otto.

Dalam buku berjudul Biofuel Crops: Production, Physiology and Genetics, Bill Kovarik memaparkan empat periode sejarah biofuel. Sampai pertengahan abad ke 19, ia digunakan sebagai energi untuk penerangan dan bahan bakar memasak sampai ditemukannya minyak bumi dan bentuk energi lainnya seperti gas dan listrik.

Sekitar awal abad ke 20, biofuel dipakai untuk mesin pembakaran internal, ketika persoalan menipisnya cadangan minyak bumi mulai menjadi perhatian serius. Saat embargo minyak Arab pada 1970, biofuel digunakan oleh negara-negara maju untuk mesin pembakaran.

Permulaan abad ke-21, kekhawatiran global tentang perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan keberlangsungan hidup manusia membingkai konteks penelitian dan perdebatan kebijakan tentang biofuel menjadi lebih luas.

Brazil dan Filipina menggunakan tebu untuk diproses menjadi alkohol sebagai antisipasi atas mahalnya biaya impor minyak. Tahun 1937, etanol mengambil porsi 7 persen dari total konsumsi bahan bakar Brazil.

Selain tebu, sawit dan jagung juga kerap digunakan sebagai bahan baku biofuel. Sawit sebagai bahan biofuel populer di Indonesia, sementara biofuel dari jagung banyak diproduksi di Amerika Serikat. Saat ini, sekitar 40 persen produksi jagung di Amerika digunakan untuk produksi etanol. Selain Amerika, negara lain yang memproduksi biofuel dari jagung adalah Cina dan Kanada.

Tahun 2025, Indonesia menargetkan 15 persen penggunaan bioetanol dan 20 persen biodiesel untuk menggantikan penggunaan bensin. Biofuel terbagi atas tiga jenis, bioetanol, biodiesel, dan biogas.

Tahun 2006, Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian pernah melakukan riset penggunaan limbah jagung sebagai biofuel. Dalam kesimpulannya, dinyatakan bahwa jagung dan limbahnya adalah bahan baku potensial untuk dijadikan biodiesel.

“Pemanfaatan limbah jagung sebagai sumber energi terbarukan cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, namun penggunaan secara optimal perlu dikaji agar diperoleh keuntungan yang maksimal,” tulis laporan tersebut.

Praveen Kumar, profesor dari University of Illinois menghitung dan membandingkan aspek ekonomi juga lingkungan dari penggunaan jagung sebagai biofuel. Tujuannya, untuk mengetahui apakah manfaat jagung sebagai biofuel lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Hasil penelitian itu kemudian dipublikasikan dalam jurnal Earth's Future Juni lalu.

Infografik Jagung sebagai sumber energi

Agar bisa membandingkan efisiensi energi dan dampak lingkungan dari produksi dan pengolahan jagung untuk pangan dan biofuel, para peneliti menginventarisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk produksi dan pengolahan jagung. Lalu, mereka menentukan dampak ekonomi dan lingkungan dari penggunaan sumber daya tersebut.

"Kami ingin menyajikannya dengan cara menunjukkan nilai ekonomi dari energi manusia yang dikeluarkan dalam produksi pertanian dan berapa banyak keuntungan ketika jagung digunakan sebagai makanan versus biofuel," ujar Meredith Richardson, mahasiswa yang membantu Kumar dalam penelitian itu.

Kumar dan Richardson menggunakan banyak faktor dalam analisis mereka, termasuk menilai energi yang dibutuhkan untuk mempersiapkan dan mempertahankan lahan produksi pertanian jagung yang dikonversi menjadi biofuel. Kemudian, mereka mengukur manfaat dan dampak lingkungan, yang mewakili dampak pada atmosfer, kualitas air dan nilai sosial dari jagung, baik sebagai makanan dan bahan bakar.

Penelitian mereka menunjukkan bahwa nilai sosial dan ekonomi untuk memproduksi jagung sebagai pangan di Amerika Serikat adalah $1.492 per hektare, sementara untuk produksi biofuel hanya $10 per hektare. Artinya, berdasarkan penelitian itu, memproduksi jagung sebagai pangan jauh lebih menguntungkan, secara ekonomi juga lingkungan.

"Menggunakan jagung sebagai sumber bahan bakar nampaknya merupakan jalur mudah untuk energi terbarukan," kata Richard Yuretich, direktur program NSF untuk Critical Zone Observatories. "Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa biaya lingkungan jauh lebih besar, dan manfaatnya lebih sedikit, daripada menggunakan jagung untuk makanan."

Untuk konteks Indonesia, jika mau menjadikan jagung sebagai bahan baku biofuel, maka produksi jagung harus digenjot lagi sebab pemerintah telah menutup keran impor. Menjadikan jagung sebagai bahan baku biofuel berarti akan menambah permintaan dan kebutuhan akan jagung. Untuk pakan ternak saja, Indonesia membutuhkan sekitar 8,5 juta ton jagung tahun ini. Untungnya, produksi dalam negeri masih terpenuhi. (Lihat infografik untuk melihat produksi jagung di berbagai negara)

Penelitian Kumar dan Richardson melihat penggunaan jagung secara utuh sebagai bahan baku biofuel. Hitung-hitungannya bisa jadi berbeda jika yang digunakan sebagai bahan baku biofuel hanya limbahnya saja, setelah buahnya dimanfaatkan untuk pangan atau pakan ternak. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menghitungnya.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Mild report
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra