tirto.id - Pada awal dekade 1980-an, lembaga bimbingan belajar atau akrab disebut bimbel muncul ke publik Indonesia. Kehadiran bimbel saat itu, merujuk laporan yang dirilis Bank Indonesia “Komoditas Jasa Bimbingan Belajar,” terkait persiapan para siswa kelas tiga (atau kini kelas 12) Sekolah Menengah Atas untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Satu dekade kemudian, bimbel tak hanya melayani anak-anak yang hendak beranjak dari SMA ke PTN. Ia juga melayani siswa-siswi dari segala jenjang pendidikan, dari SD, SMP, hingga SMA.
Kehadiran bimbel akhirnya direstui melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat 5. Lembaga ini diakui negara sebagai Pendidikan Luar Sekolah atau Non-formal, bagian dari Lembaga Kursus dan Pelatihan.
Berdasarkan data Sensus Ekonomi 2016 oleh Badan Pusat Statistik, jumlah lembaga kursus dan pendidikan mencapai 619.947 uni, dan 1.866 unitnya adalah lembaga bimbel, menjadikannya termasuk paling populer, bersaing dengan lembaga kursus komputer.
Namun, kehadiran bimbel masih terfokus di Pulau Jawa. Dari angka ribuan itu, 965 unitnya tersebar di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejalan pertumbuhan internet, muncul bimbel daring seperti Quipper, Zenius, Ruang Guru, hingga Prime Mobile.
Pemerintah sendiri, melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom), merilis Rumah Belajar, bimbel daring yang bisa diakses pada laman belajar.kemdikbud.go.id. Rumah Belajar merupakan “sekolah maya” hasil kerja sama pemerintah dengan Microsoft Indonesia dan mengudara sejak 2013.
Andreas Diantoro, saat itu Direktur Pelaksana Microsoft Indonesia, mengatakan “program rumah belajar merupakan salah satu dari program Microsoft Partner in Learning dengan pendanaan total senilai $500 juta di seluruh dunia”.
Dalam Rumah Belajar, bukan hanya siswa yang harus aktif mencari materi-materi pelajaran yang dikehendaki, para pengajar atau guru bisa menciptakan proses pembelajaran virtual, membuka kelas maya dengan siswa di pelbagai wilayah Indonesia.
Pada awal peluncuran Rumah Belajar, Microsoft mengklaim telah memberikan pelatihan kepada sekitar 350 ribu guru dengan 14 juta siswa di seluruh Indonesia.
Sementara itu, bimbel-bimbel daring swasta juga terus tumbuh.
Misalnya Quipper, salah satu bimbel daring populer asal Inggris, yang masuk ke pasar Indonesia pada 2015, negara kedua di Asia Tenggara yang didatangi Quipper setelah Filipina.
“Tahun pertama kami cuma punya sekitar 350 registered users,” kata Tri Nuraini, Kepala PR & Pemasaran Quipper Indonesia. Kini, Quipper Indonesia mengklaim punya 5 juta pendaftar, lebih besar dari pengguna di Filipina.
Dion, mahasiswa program vokasi Universitas Indonesia dan pengguna Quipper, menyebut secara tersirat bahwa bimbel daring membantunya memahami materi pelajaran.
“Kalau enggak paham, [tinggal] ngulang atau kasih feedback,” ujarnya.
Kehadiran bimbel daring memang menjadi cara belajar "alternatif" di tengah rutinitas para siswa mengikuti pelajaran di sekolah. Anak-anak sekarang dekat dengan teknologi. Diakses melalui gawai mereka, materi pelajaran bisa disisipkan untuk dikonsumsi mereka di luar jam sekolah. Setidaknya hal ini pernah ditulis oleh Samuel Gideon saat mencermati peran media bimbel Ruang Guru bagi siswa Siswa SMP dan SMA kelas IPA.
Mengapa Bimbel, Memangnya Sekolah Tak Cukup?
Dalam laporan Programme For International Student Assessment (PISA) 2015, laporan yang membandingkan kualitas pendidikan pada 30 negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pendidikan Indonesia termasuk buruk. Skor penilaian pada tiga aspek pendidikan, yakni sains, matematika, dan membaca berada di bawah rata-rata skor OECD.
Dalam aspek sains, skor rata-rata OECD ialah 493. Namun, skor yang diperoleh pendidikan Indonesia dalam aspek itu hanya 403. Lalu, dalam aspek matematika, Indonesia hanya memperoleh skor 386 dari rata-rata skor 490. Terakhir, dalam soal membaca, Indonesia hanya mendapatkan skor 397 dari rata-rata skor 493.
Sementara dalam laporan “Human Development Reports,” bagian indeks pendidikan yang disusun UNDP, kualitas pendidikan Indonesia terus meningkat setiap dekade. Rumusannya, (semakin mendekati koefisien 1, kualitas pendidikan negara itu semakin baik.
Pada 1980, koefisien pendidikan Indonesia ialah 0,345. Sepuluh tahun kemudian, angkanya meningkat menjadi 0,392. Lalu, pada 2000, koefisien Indonesia bertengger pada angka 0,521. Terakhir, pada 2010, pendidikan Indonesia diberi nilai 0,594.
Sayangnya, meski meningkat, Indonesia tertinggal dari para negara tetangga. Singapura, misalnya, pada 2010 memiliki nilai koefisien pendidikan 0,759, sementara Malaysia diberi nilai 0,671.
Kurang baiknya pendidikan Indonesia, yang tidak bisa menuntun siswa-siswinya masuk perguruan tinggi, sangat mungkin menjadi alasan menjamurnya bimbel.
Selain berlangganan bimbel daring, Dion bergabung dalam bimbel offline. Alasan ikut serta dalam bimbel online plus offline itu karena menurutnya “sekolah masih kurang”.
Rata-rata pertemuan dengan guru dari satu mata pelajaran di sekolah hanya dua jam. Jika ia hendak meminta penjelasan tambahan, guru telah berpindah mengajar ke kelas lain.
“Mungkin sebenarnya [belajar hanya mengandalkan sekolah] cukup efektif. Tapi saya pribadi butuh lebih dari itu,” ujar Dion. “Bimbel sangat efektif."
Zahra, mahasiswa program Teknik Industri Universitas Indonesia, menyebut pembelajaran di sekolah hanya menyentuh materi pembelajaran dasar. Untuk bisa memiliki kemampuan lebih, khususnya sebagai bekal ujian masuk ke perguruan tinggi, mau tak mau siswa harus belajar sendiri.
“[Mengandalkan sekolah untuk masuk PTN] menurut saya enggak bisa. Dari sekolah, difokuskan cuma materi UN, bukan SBMPTN,” tuturnya. “[Tingkat kesulitan soal untuk] SBMPTN berkali-kali lipat dibandingkan UN."
Zahra, yang menghabiskan Rp19 hingga Rp20 juta untuk biaya bimbel, menyebut bimbel memberikan pembelajaran yang unik. Menurutnya, bimbel lebih menekankan diskusi terbuka dan bisa mengajarkan suatu materi hingga tuntas. Hal-hal itu tidak dia dapatkan di sekolah.
=======
Artikel ini pertama kali dirilis pada 8 Februari, disunting minor untuk ditautkan pada topik bisnis bimbingan belajar.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani