tirto.id - ank Indonesia (BI) mencatat ada empat area kajian yang perlu direformasi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan berimbang: infrastruktur berkualitas, institusi, sumber daya manusia dan penelitian, dan inovasi. Gubernur BI Agus Martowardojo menyebutkan, Indonesia memiliki negara acuan (branchmark) untuk masing-masing indikator ini.
Untuk infrastruktur, Indonesia mengacu kepada Korea Selatan yang saat ini progresnya mencapai 72 persen meliputi pembangunan infrastruktur jalan, kereta api, bandar udara, dan pelabuhan, yang tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Proyek Strategis Nasional (PSN), dan Proyek Prioritas Infrastruktur.
“Pembangunan infrastruktur Indonesia sudah cukup baik dengan 72 persen dari branchmark. Yang perlu dikejar adalah di institusi, SDM, dan inovasi karena masing-masing baru 47, 35, dan 38 persen,” ujar Agus di kantor Bank Indonesia Jakarta pada Kamis (28/12/2017).
Terkait institusional, Indonesia bertolok ukur dengan negara Hungaria. Saat ini reformasi institusional Indonesia tahapnya baru 47 persen, yang meliputi adanya Paket Kebijakan Ekonomi dalam mengatur perdagangan dan investasi, berwirausaha, dan terkait kontrol negara lainnya.
Kemudian reformasi Indonesia terkait pengembangan sumber daya manusia dan penelitian, Indonesia mengacu pada Korea Selatan. Saat ini Indonesia baru mencapai 35 persen dalam reformasinya yang terdiri dari aspek penelitian dan pengembangan (Research and development/R&D), kualitas pendidikan tinggi, dan pendiidkan dasar.
Sementara dalam inovasi, Indonesia mengacu pada Amerika Serikat (AS) dalam hal pengetahuan kreasinya, pengetahuan penerapannya, dan pengetahuan terhadap dampak. Indonesia saat ini berada pada tataran 38 persen, sehingga pemerintah saat ini terus mendorong kolaborasi perguruan tinggi dengan industri.
Adapun tantangan untuk mencapai reformasi ekonomi Indonesia, yang meliputi global dan domestik. Secara global, Indonesia akan dihadapkan pada negara maju sudah menormalisasi kebijakan moneternya.
“Desember sudah naik Fed Rate. Di 2018 diperkirakan akan naik 3 kali. Di 2019, 2 kali. Jadi, kami mesti bersiap dengan kondisi dimana moneter di dunia cukup ketat, yang mulai didorong negara maju,” kata Agus.
Bersamaan dengan itu akan muncul langkah proteksionisme dari berbagai negara. Di sisi lain ada pula kondisi geopolitik menunjang resiko atau tantangan, yaitu ketegangan di Semenanjung Korea dan Timur Tengah.
“Prospek kesinambungan pertumbuhan ekonomi global juga dihadapkan pada peningkatan akumulasi kerentanan sistem keuangan global, yang ditandai peningkatan harga aset pasar keuangan secara signifikan, serta kenaikan leverage [rasio utang] dan Debt Service Ratio [rasio utang terhadap pendapatan] non-keuangan,” jelas dia.
Harga saham (price earning ration/PER) luar negeri saat ini disebutkan Agus berada di kisaran tinggi, seperti Brazil berada di kisaran 20 persen ke atas, Argentina berada di kisaran 35 persen ke atas, AS berada di kisaran di atas 20 persen. Sementara Indonesia pada 2017 ini berada di level 14,5 persen.
“PER-nya sudah tergolong tinggi, kalau ada koreksi akan berdampak ke sektor keuangan,” ucapnya.
Selanjutnya terkait tantangan domestik, dihadapkan pada masih terbatasnya peran konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi, yang mana dia sebutkan dari tahun ke tahun semakin menurun.
“Ini tentu sesuatu yang perlu disikapi dan ini sudah jadi perhatian, karena Indonesia ke depan masih harapkan kontribusi konsumsi rumah tangga,” terangnya.
Agus mengatakan jika tantangan global dan domestik terhadap ekonomi nasional dapat diatasi dan reformasi ekonomi dapat digalakkan, menurutnya tidka mustahil Indonesia pada 2022 pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 5,8-6,2 persen, inflasi diperkirakan 3 plus minus 1 persen. “Kami akan bekerjasama terus dengan pemerintah terkait hal itu,” ungkapnya.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi tahun ini masih 5,1 persen. Adapun untuk 2018 diproyeksikan 5,1-5,5 persen. Kemudian inflasi, pada tahun ini di kisaran 3-3,5 persen, sedangkan pada 2018 diproyeksikan 2,5-4,5 persen.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari