Menuju konten utama

BI Keluhkan Rendahnya Kepatuhan Korporasi di Credit Rating

Bank Indonesia mengeluhkan minimnya jumlah korporasi pemilik utang luar negeri dalam bentuk valutas asing yang melakukan pemeringkatan utang.

BI Keluhkan Rendahnya Kepatuhan Korporasi di Credit Rating
(ilustrasi) Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Tirta Segara (kiri) bersama Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan terkait hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (15/12/2016). Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate tetap sebesar 4,75 persen, dengan suku bunga deposit facility tetap sebesar 4,00 persen dan lending facility tetap sebesar 5,50 persen. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo megeluhkan rendahnya kepatuhan korporasi di Indonesia dalam pemeringkatan utang.

Padahal, pemeringkatan utang menjadi kewajiban korporasi sebagaimana disebut dalam Peraturan BI Nomor 16/21/PBI/2014 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non-Bank.

Aturan ini mewajibkan Korporasi non-bank, yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk valuta asing menerapkan prinsip kehati-hatian. Adapun prinsip kehati-hatian yang dimaksud aturan ini ialah pemenuhan syarat batas minimum rasio lindung nilai, rasio likuiditas dan peringkat utang (credit rating). Sementara batas minimum Peringkat Utang ialah setara BB- yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat yang diakui oleh Bank Indonesia.

Sebagaimana dilansir Antara, Dody mencatat tingkat kepatuhan korporasi di Indonesia dalam melakukan pemeringkatan utang masih 27 persen. Ada 73 persen dari total korporasi yang belum melakukan pemeringkatan utang. Adapun total korporasi yang wajib melakukan pemeringkatan utang ini mencapai 538 korporasi.

Menurut Dody, seharusnya korporasi mematuhi peraturan kewajiban pemeringkatan utang, agar mampu mengurangi risiko dari kegagalan bayar. Ia berencana menerbitkan teguran kepada korporasi peminjam utang valuta asing yang belum melakukan pemeringkatan kredit.

"Sanksinya bukan denda, tapi teguran. Kami alamatkan teguran tersebut kepada pihak yg terkait dengan debitur, seperti otoritas terkait, Otoritas Jasa Keuangan atau Kementerian BUMN jika koporasnya debitur BUMN," kata Dody pada Selasa (7/3/2017).

Dody mengimbuhkan surat teguran tersebut juga akan disampaikan kepada kreditur sehingga dapat mempengaruhi kredibilitas korporasi peminjam utang.

Meskipun demikian, dia mengakui rendahnya tingkat kepatuhan korporasi ini semata-mata hanya karena sosialisasi mengenai peraturan ini yang belum masif. Karena itu, Dody optimistis ancaman sanksi teguran dari BI bisa memunculkan efek jera sehingga lebih banyak korporasi yang aktif memeringkatkan kemampuan bayar utangnya.

Syarat peringkat utang dari BI, ujar Dody juga tidak berat. BI menerapkan peringkat minimal BB- untuk peringkat yang diberikan. "Jadi ini ukuran yang moderat supaya mereka bisa dapat pinjaman."

Untuk dua indikator lain dalam PBI tersebut, yakni rasio lindung nilai dan rasio likuiditas, tingkat kepatuhan korporasi jauh lebih baik.

BI mencatat korporasi yang memenuhi rasio lindung nilai 0-3 bulan mencapai 88,6 persen dan rasio lindung nilai 3-6 bulan sebesar 93,8 persen. Untuk pemenuhan rasio likuiditas, mencapai 86,5 persen dari total jumlah korporasi yang memiliki utang luar negeri dalam bentul valas.

Baca juga artikel terkait UTANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Bisnis
Reporter: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom