tirto.id - Presiden Indonesia Joko Widodo membuat kelakar tentang pernikahan Raisa dan Hamish Daud. Lelucon ini ia lontarkan saat orasi ilmiah dalam peringatan Dies Natalis ke-60 Universitas Padjadjaran yang digelar di Grha Sanusi Hardjadinata, Dipatiukur, Kota Bandung, Senin (11/9/2017).
"Satu dua hari lalu saya banyak dikomplain masyarakat mengenai Raisa. Mereka bilang, satu lagi aset Indonesia lepas ke tangan asing. Setelah saya telusuri memang ternyata suaminya orang Australia," tuturnya.
Meski terdengar seksis karena mempersamakan Raisa—dan Laudya Chintya Bella—dengan aset, lelucon itu banyak ditanggapi oleh masyarakat. Pernikahan antara Laudya dan Raisa juga mengingatkan pada kita tentang maraknya pernikahan antara warga Indonesia dengan orang asing.
Di Indonesia, berdasarkan Pasal 57 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal berikutnya menyatakan orang-orang yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari pasangannya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya.
Baca juga:Salah Kaprah Diaspora
Artinya, dalam hal ini baik Raisa ataupun Laudya Chintya bisa memilih kewarganegaraannya, apakah mau tetap ataukah mengikuti status suaminya.
Warga negara asing yang hendak menikahi orang Indonesia harus melewati beberapa tahapan administrasi. Dari situs Imigrasi Indonesia, WNA yang hendak menikah dengan orang Indonesia harus memiliki fotokopi paspor, membawa surat izin menikah/status dari negara atau perwakilan negara yang bersangkutan dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi, membawa pasfoto ukuran 2x3 cm sebanyak 3 lembar, kepastian kehadiran wali bagi WNA wanita yang disahkan oleh pejabat yang berwenang, dan membayar biaya pencatatan nikah sebesar Rp30 ribu.
Maury Issak, yang menikah dengan laki-laki warga negara Swedia, menyebut proses birokrasi Indonesia tidak mudah. Awalnya ia berharap proses pernikahan akan semudah yang disampaikan di situsweb. Persyaratan yang ada telah dipenuhi, tapi pada praktiknya yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) tidak sesederhana itu. Salah satu hal yang memberatkan adalah syarat surat mualaf. Suami Mauri, yang berasal dari negara sekuler, menolak membikin surat pernyataan keyakinan.
Prosedur birokrasi pun membuat Maury sakit kepala. Ia mencontohkan tentang perlunya spesimen tanda tangan kepala KUA. Ia baru tahu tentang spesimen ini saat mengurus surat di Kemenlu dan Kemkumham. Karena tinggal di Jawa Timur, ia mesti bolak-balik mengurus segalanya sendiri. Bahkan KUA di tempatnya tinggal petugas KUA bahkan tidak tahu ada form dan kewajiban seperti itu.
“Birokrasi ribet, apalagi Indonesia. Makanya aku [enggak jadi] menikah resmi di Indonesia. Ambilnya di Denmark. Persyaratan lebih simpel dan satu pintu. Kalo di Indonesia [harus mulai] dari RT, RW, Lurah, Camat, KUA, Kemenlu, Kemkumham, dan Kedutaan. Kalau salah dikit harus ulang dari awal,” katanya.
Ia membandingkan proses pernikahannya di Denmark yang dianggap sangat efektif. Mereka yang ingin menikah cukup pergi ke kommune, semacam lembaga setingkat kecamatan di Indonesia. Syarat nikah resmi di Denmark juga hanya paspor dan surat keterangan belum menikah.
“Di Indonesia, aku nikah [secara] agama saja. Nah, ribetnya lagi itu ngurus ijin tinggal. Karena menikah aja ga serta merta dapat ijin tinggal dan ini susah,” kata Maury.
Dalam praktiknya, warga negara asing yang ada di Indonesia bisa memiliki beberapa jenis dokumen kewarganegaraan sementara. Ada Kitas (Kartu Izin Tinggal Terbatas), Kitap (Kartu Izin Tinggal Tetap), dan Faskim (Fasilitas Imigrasi). Kitas berlaku 1 hingga 2 tahun, tergantung pengunaan dan pengurusan izinnya. Umumnya, Kitas 1 tahun berlaku untuk pekerja dan 2 tahun untuk investor atau pelajar.
Baca juga: Kekhawatiran Tentang Status Dwi Kewarganegaraan
Sedangkan persyaratan pengurusan Kitap adalah warga negara asing yang sudah dua tahun menikah dengan orang Indonesia. Warga asing tersebut juga harus membuat pernyataan integritas. Selain itu, imigrasi juga akan mendatangi rumah bersangkutan untuk melakukan pengecekan kebenaran mereka tinggal dan berkeluarga. Standar SOP pembuatan Kitas dan Kitap membutuhkan waktu satu bulan.
Yang kemudian jadi masalah adalah Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Artinya, jika mengajukan surat keinginan jadi warganegara, mereka harus memilih jadi orang Indonesia atau ikut pasangannya.
Bagaimana jika ikut kewarganegaraan pasangan? Salah satu hal yang pasti adalah kita kehilangan hak-hak dasar warga negara Indonesia, seperti kehilangan hak memiliki properti di Indonesia. Hal ini diatur dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dalam UU tersebut, disebutkan hanya WNI dapat mempunyai hak milik. Pasal 3 PP 103/2015, WNI yang melaksanakan perkawinan campuran dengan WNA masih dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya. Syarat untuk tetap bisa memiliki hak atas tanah bagi WNI yang melakukan perkawinan campuran adalah hak atas tanah yang dimiliki WNI tersebut haruslah bukan harta bersama.
Baca juga: Konsekuensi Pahit WNI di Legiun Asing
Hak lain yang hilang adalah anak dari pasangan campur bisa kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Hal ini diatur pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Pasal 5 ayat 1 menyebut anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Ini yang terjadi pada Gloria Natapradja Hamel, paskibraka asal Jawa Barat yang sempat tidak dikukuhkan Presiden Jokowi karena memiliki paspor Prancis pada Agustus tahun lalu.
Pada kasus Gloria, ia dianggap kehilangan kewarganegaraan karena memiliki paspor Perancis dan mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Selanjutnya orangtua Gloria, Ira Hartini Natapradja Hamel, menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal 41 UU Kewarganegaraan yang dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
MK kemudian menolak gugatan tersebut karena hakim menilai bahwa hilangnya status kewarganegaraan karena kesalahan dan kelalaian yang bersangkutan. Menurut hakim, alasan ketidaktahuan tidak bisa menjadi dasar penuntutan apalagi membuat seseorang menjadi bebas dari hukum atau peraturan perundang-undangan.
Gloria yang lahir pada tahun 2000 seharusnya didaftarkan ke Kemenkumham dalam rentang waktu 1 Agustus 2006 sampai 1 Agustus 2010 jika hendak memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Menurut Kementerian Dalam Negeri, pencatatan kehilangan status kewarganegaraan Republik Indonesia dilakukan dalam bentuk pemberian catatan pinggir pada akte kelahiran, serta pencabutan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) bagi penduduk yang berubah status kewarganegaraan dari WNI menjadi WNA.
Namun dalam kasus Gloria, selama ini ia hanya tahu bahwa ia warga negara Indonesia dan tidak tahu menahu tentang UU Nomor 12 Tahun 2006 khususnya pasal 41.
Baca juga: Jalan Terjal untuk Dwi Kewarganegaraan
Selama ini kewenangan pencabutan kewarganegaraan ada di tangan pejabat yang berwenang melakukan Pencatatan Sipil. Adapun pencatatan perolehan status kewarganegaraan Republik Indonesia dilakukan dalam bentuk pelepasan kewarganegaraan WNA oleh negara yang bersangkutan.
Anda yang hendak menikah dengan warga asing, sudah siapkah dengan risiko dan segala kerumitannya?
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani