tirto.id - Selepas seharian berladang, memintal tenunan, atau membelah batu yang bakal disusun jadi bangunan, sepertinya tak banyak kegiatan yang lebih sedap selain membincangkan isu-isu seputar desa dan kerajaan. Tentu, sembari menyesap minuman di kedai. Di sudut kedai yang sama, tampak sang penyair (bard) sedang membawakan wiracarita terbarunya. Kau bisa pula menghadirkan ogre, unicorn, bahkan juga naga ke dalam lamunan.
Mungkin begitulah jadinya jika kita hidup di Eropa era Abad Pertengahan. Kini, di zaman kita hidup ini,nuansa macam itu coba dihadirkan lagi melalui musik berjenis bardcore atau tavernwave.
Bardcore merupakan sebutan untuk lagu-lagu modern yang dimainkan dengan gaya dan alat-alat musik Abad Pertengahan (antara abad ke-5 hingga akhir abad ke-15). Dari penamaannya, bardcore sekilas terkoneksi dengan band-band cadas seperti In Extremo atau Schandmaul yang memasukkan unsur-unsur Medieval ke dalam kreasi mereka. Namun, kesamaan bardcore dengan musik semacam itu sesungguhnya berhenti pada pengaruh zaman belaka.
Tak seperti berbagai subgenre musik berakhiran "-core" lainnya, bardcore sama sekali takberhubungan dengan musik keras yang berakar dari hardcore. Penamaan demikian juga bisa jadi pelesatan atas kemiripan bunyi antara bardcore dan genre yang telah mapan tersebut. Demikian juga tavernwave—sebutan lain untuk bardcore. Akhiran "-wave" yang lazim ditemukan pada subgenre musik elektronik dibubuhkan pada tavern sebagai tempat kongko terfavorit, jika bukan satu-satunya, di era medieval.
Singkatnya, bardcore adalah genre imitasi di mana lagu-lagu terkini "dimedievalkan". Di tengah pandemi COVID-19 yang menerpa bumi sejak akhir 2019 lalu, bardcore menemukan popularitasnya berkat kehadiran Youtube dan sekumpulan kreator dan musisi yang berbagi imajinasi sama: "bagaimana jika lagu-lagu ini dimainkan oleh orang-orang Abad Pertengahan?"
Lahir Seutuhnya Kala Pandemi
Kemunculan bardcore di Youtube dapat ditelusuri hingga 2017. Laman ulasan musikAfterglowmencatat beberapa kreator mulai memainkan lagu-lagu populer dengan gaya medieval. Alat-alat musik tradisional turut pula dikerahkan. LjB0, misalnya, menggunakan lute, harpa, tin flute, dan drum celtic dalam interpretasinya terhadap theme song gim video kenamaan Halo. Algal the Bard juga melakukan hal serupa kala memainkan ulang nomor populer "Toxicity" milik System of A Down. Atmosfernya bahkan terasa lebih kolosal berkat penggunaan lute bouzouki dari Yunani dan drum darbuka dari Mesir.
Jika menelusuri lebih jauh, Anda bakal menemukan penggunaan alat musik era Medieval yang lebih beragam, seperti vielle, psaltery, shawm, bagpipe.
Interpretasi lagu-lagu populer dengan gaya medieval sebenarnya telah dilakukan sejak bertahun-tahun sebelumnya. Tapi, penamaan bardcore sebagai genre baru dimulai pada April 2020, ketika Cornelius Link merilis remake lagu "Astronomia" karya Vicetone dan Tony Igy di kanal Youtube-nya. Lagu itu sebelumnya juga sempat mendunia berkat meme "coffin dance".
Melmagazinemenulis bahwa lagu yang di-remake oleh Cornelius Link lantas bermigrasi dari Youtube menuju obrolan di Discord dan 9gag hingga kemudian memantik gelombang bardcore yang lebih masif di internet.
Untuk memperkuat karakterlagunya, para kreator lazim memasukkan ilustrasi-ilustrasi klasik yang biasa terpampang di perkamen-perkamen era Abad Pertengahan. Gaya ilustrasi macam itu perlahan tumbuh menjadi estetika yang wajib hadir mengiringi lagu-lagu bardcore.
Dalam penggunaan yang lebih kasual, nama bardcore sebetulnya telahdigunakan para pengguna Last.fm untuk melabeli sejumlah karya musisi Eropa Timur sejak bertahun-tahun silam. Nama itu juga biasa dikaitkan untuk langgam musik lain, seperti antifolk, post-bard, hingga komedi.
Di Last.fm, nama-nama pengusung bardcoreyang kita kenal kini lebih lazim dilabeli tavernwave. Hal itu mungkin demi memisahkannya dari musisi bardcore lawas dan tak ada hubungannya dengan Abad Pertengahan.
Perkembangan Bardcore dan Musik Medieval Asli
Pandemi secara tak langsung mengantar para pengusung bardcore menggali dan berkreasi lebih sering ketimbang sebelumnya. Motivasi awalnya mungkin hanya iseng belaka. Tapi, karya iseng itu rupanya mampu menarik cukup banyak penikmat.
Kanal-kanalterkenal, seperti Cornelius Link, Stantough, dan Middle Ages, kemudian turut memicu munculnya pengusung bardcore baru. Link, misalnya, pernah menggubah ulang lagu hit Foster the People yang berjudul "Pumped Up Kicks". Hildegard von Blingin' kemudian mengisi lagu yang semula instrumental itu dengan vokalnya. Lagu itu lantas menjelma jadi salah satu tembang bardcore paling populer di Youtube saat ini.
Selain mengisi vokal, Hildegard von Blingin' (pelesatan untuk Hildegard von Bingen, penulis dan komposer Jerman Abad Pertengahan) lebih lanjut berlaku laiknyaadvokad musik era Abad Pertengahan dan memperoleh banyak pendengar.
Ratusan, kalau buka ribuan, lagu yang dimainkan dengan gaya bardcore kini bertebaran di Youtube. Entah itu menggunakan gaya folk Celtic, Yunani, hingga Nordik. Lagu-lagu disko populer, seperti "Rasputin" milik Boney M. atau "Moskau" yang dipopulerkan Dschinghis Khan, seakan terdengar betul-betul datang dari masa lampau. Di lain sisi, lagu-lagu kepunyaan Rammstein atau Party Anthem milik LMFAO tetap terdengar modern atau datang dari zaman yang lebih dekat ketimbang Abad Pertengahan—seolah jelas telah melalui proses “medievalisasi”.
Meski terdengar jadul dan bernuansa tradisional, lagu-lagu bardcore jelaslah bukan musik masa lampau. Melodi dan harmonisasinya tetaplah sebagimana musik modern. Musisi dari Abad Pertengahan tentu mengaransemen musik dengan cara yang sangat berbeda. Lantas seperti apa musik medieval yang sesungguhnya?
Menurut profesor sejarah musik dan liturgi dari University of Notre Dame Margot Fassler, hal itu sulit diketahui. Pasalnya, musisi populer Abad Pertengahan di luar gereja tidak punya tradisi literer. Musik di zaman itu digulirkan dari telinga ke telinga. Tanpa adanya teks, sebuah lagu bisa saja berubah bentuknya sesuai interpetasi atau improvisasi para musisi atau bard.
“Anda dapat melihat banyak gambar instrumen dari Abad Pertengahan. Anda tahu seperti apa bentuknya, tapi tidak ada peninggalan musik tertulis,” kata Fassler sebagaimana dikutip laman Jezebel.
Berkat peninggalan dokumen, kita bisa mengetahui instrumen musik seperti lute yang digunakan oleh orang-orang zaman tersebut. Namun, bagaimana alat-alat itu dimainkan untuk musik era tersebut selamanya hanya ada dalam gagasan. Maka sah saja untuk mengatakan bardcore betul-betul genre musik yang diimajinasikan.
Tapi, setidaknya musik Abad Pertengahan punya tradisi tradisi vokal yang memungkinkan kita melacak cara mereka menyanyi.
Tren Sesaat?
Dari Abad Pertengahan, kita mendengar soal kekhalifahan, tentara salib, atau bagaimana kekaisaran Mongol menduduki sekitar 18 persen muka bumi. Dalam versi yang lebih fantastis, kita mendapatkan makhluk mistis seperti ogre, unicorn, dan naga. Ini juga adalah zaman yang sama yang menginspirasi banyak penggambaran latar film maupun gim video.
Meski kita nyaris tak punya gagasan bagaimana musik era itu dimainkan, ia tetap mampu menginspirasi subgenre musik hari ini, semisal dungeon synth, medieval metal/rock, dan tentunya bardcore. Ia menghadirkan alternatif—beginilah musik masa itu dimainkan.
Lagu-lagu populer yang diaransemen ulang dengan langgam bardcore menawarkan daya tarik sosial. Ia bisa menyatukan banyak orang yang sengaja mencarinya atau diarahkan algoritma Youtube. Entah itu saling memberi komentar, bertukar template meme yang ditranslasikan ke gaya medieval, atau membuat lirik lagu yang dengan menggunakan ejaanMedieval—misalnya, menggati “you” dengan “thou”.
Karena bermula dari keisengan, bardcore memiliki kemampuan berkembang seperti halnya meme dan dengan cepat diterima oleh warganet. LamanI-D, contohnya, menilai tren bardcore, "Memanggul beban meme soal Abad Pertengahan dan kesuraman periode itu yang menarik bagi humor eksistensial Gen Z."
Kendati demikian, sulit untuk menerka ke mana tren bardcore bakal berlanjut. Di beberapa kawasan Eropa--di mana festival-festival medieval masih eksis atau dirayakan dengan cara baru, bardocre bisa jadi tetap dilantunkan.
Seperti tren sea shanty, bardcore juga berbagi kesamaan soal nostalgia dan pendaurulangan komposisi yang telah eksis. Seperti tren lagu para pelaut itupula, ia mungkin sanggup melambungkan beberapa pengusungnya menuju puncak popularitas. Bardcore juga bisa bergabung dengan gelombang musik-musik tradisional yang dikawinkan dengan musik modern dan meraih banyak pendengar. Beberapa contoh yang bisa disebut untuk mewakilinya, di antaranya The Hu, Heilung, atau Bloodywood.
Salah satu kemungkinan terbesar lainnya: bardcore bakal segera tamat. Jika para kreator bardcore kehabisan lagu populer yang mampu mendulang viewers, ia bisa saja tergantikan oleh tren musik lain di kemudian hari. Meski begitu, ia bisa terus sintas bila para penggiatnya bertahan menjaga renjananyapadagenre musik ini kala masa jayanya habis.
Bardcore tentu punya potensi untuk menjadi genre yang "lebih serius". Namun, sejauh mana ia akan melaju tanpa mendompleng lagu-lagu populer? Setinggi apa minat orang-orang mendengarkan karya orisinal para musisinya hingga menjadikannya genre yang mapan?
Entahlah. Untuk saat ini kita nikmati saja bardcore sebagai salah satu hal baik yang terjadi pada periode yang kurang baik ini.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi