Menuju konten utama

Berharap Tak Ada "Monster" El Nino di Tahun Ini

Memasuki awal tahun baru suhu udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya relatif lebih panas dari sebelumnya. Di sisi lain, diperkirakan fenomena alam soal el nino atau juga la nina tak akan kuat di tahun ini.

Berharap Tak Ada
Kekeringan akibat El Nino di Nikaragua. REUTERS

tirto.id - Malam itu Agus begitu belingsatan seperti cacing kepanasan. Suhu ruangan di kamar tidurnya tidak seperti biasanya sangat membuat gerah. Tidurnya pun tak nyeyak, padahal malam sebelumnya ia kurang tidur setelah berpesta tahun baru. Agus yang tinggal Depok juga merasakan sinar matahari begitu menyengat di siang hari. Cuaca di luar dan di dalam ruangan terasa sangat panas dan membuat pakaian basah dengan keringat.

Apa yang dirasakan Agus, juga dirasakan oleh publik Jakarta dan sekitarnya, termasuk Kota Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi cuaca panas yang dirasakan warga pada akhir Desember 2016 hingga tanggal 1 Januari 2017 karena adanya gangguan atmosfer atau psikontropis di bagian bumi utara. Suhu di Kota Bandung bisa mencapai 21-31 derajat celcius, padahal biasanya antara 19-29 derajat derajat celcius.

"Di sekitar Filipina di bagian bumi utara, jadi menyebabkan masa udara seolah-olah tertarik ke sana. Sehingga anginnya kecang dan kering jadi potensi hujannya kecil," kata Prakirawan BMKG Bandung Yuni Yulianti dikutip dari Antara.

Cuaca panas yang menyergap beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta dan Bandung, beberapa hari lalu, salah satu tantangan persoalan cuaca di tahun ini. Fenomena ulangan seperti el nino dan la nina juga tak luput dari perhatian BMKG.

Di penghujung 2016, BMKG melaporkan prediksi tentang dua fenomena alam tersebut. Hasilnya meski tidak ada penguatan fenomena el nino dan la nina pada 2017 tapi dua fenomena ini harus tetap diwaspadai.

Dua fenomena sering menjadi salah satu pemicu kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor ini harus tetap diwaspadai dan harus tetap disiapkan langkah antisipasi dampak negatifnya.

El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai dengan adanya anomali suhu permukaan laut di wilayah Ekuator Pasifik Tengah dimana jika anomali suhu permukaan laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata-ratanya) maka disebut el nino, namun jika anomali suhu permukaan laut negatif disebut la nina. Kondisi el nino misalnya, pada 2015-2016 salah satu yang terkuat, sampai-sampai PBB dalam laman www.un.org pernah mengulas soal tulisan yang berjudul "‘Monster’ El Niño subsides but impact on children set to worsen as disease, malnutrition spread."

Di Indonesia, el nino ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik sekitar ekuator, khususnya di sekitar Cile dan Peru, yang diikuti dengan turunnya suhu permukaan air di beberapa wilayah perairan Indonesia. Dampaknya adalah terjadinya kekeringan di sejumlah wilayah Indonesia. La nina secara umum ditandai dengan meningkatnya suhu perairan Indonesia dan menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat.

Data BMKG mengungkapkan fenomena el nino dan la nina terhebat pernah terjadi pada 1982-1983 dan 1997-1998. Dampaknya melanda banyak kawasan di dunia. Misalnya di wilayah Amerika dan Eropa yang mengalami peningkatan curah hujan sehingga memicu bencana banjir besar. Sedangkan di Indonesia, India, Australia, dan Afrika mengalami penurunan curah hujan yang menyebabkan kemarau panjang.

Di Indonesia, kemarau panjang yang terjadi pada 1997 memicu bencana kekeringan, bahkan menjadi perhatian dunia. Kekeringan yang melanda Indonesia menjadi memicu kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Kebakaran hutan tersebut menjadi salah satu kebakaran hutan terbesar di Indonesia yang menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial. Asap tebal dari kebakaran hutan tersebut hingga ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Di sisi lain, kekeringan dan kemarau panjang saat itu juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami gagal panen karena rendahnya curah hujan. Saat itu tercatat yang berdampak kekeringan mencapai 230 ribu hektar lahan dari total lahan tanam 14 juta hektar.

Dampak besar dari el nino kembali dirasakan Indonesia pada 2015 hingga awal 2016. Pada waktu itu, sekitar 16 Provinsi, 150 kabupaten/kota dan 800 kecamatan mengalami kekeringan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sempat melakukan hujan buatan dengan biaya Rp200 milliar untuk mengatasi kekeringan. Untuk mengatasi kebakaran hutan biaya yang disiapkan pemerintah mencapai Rp385 milliar, menurut laporan BBC.

Memasuki akhir 2016, kombinasi antara la nina, dipole mode, dan anomali suhu muka air laut yang hangat memicu meningkatkan curah hujan di pelbagai wilayah di Indonesia. Curah hujan yang tinggi memicu tanah longsor dan banjir.

Iinfografik El Nino Dan La Nino

Potensi Bencana di 2017

Data BNPB menyebutkan bahwa selama 2016 terdapat 2.342 kejadian bencana di Indonesia. Dari 2.342 bencana tersebut sekitar 92 persen adalah bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, longsor dan puting beliung. Selama 2016 terjadi 766 bencana banjir, 612 longsor, 669 puting beliung. Terlihat Indonesia lupa belajar dari kejadian di tahun tahun-tahun sebelumnya. Termasuk mengambil langkah antisipasi dampak negatif dari fenomena ini.

Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers di gedung BNPB, Kamis (29/12/2016) mengungkapkan bahwa el nino dan la nina yang tidak menguat pada 2017 akan membuat musim hujan dan musim kemarau diperkirakan berlangsung normal.

"Pada umumnya, kondisi musim normal pada tahun depan (2017). Namun, potensi bencana alam, khususnya yang disebabkan kondisi hidrologi tetap ada," kata Sutopo.

Menurut Sutopo, potensi kebakaran hutan di 2017 tetap ada, tapi diperkirakan lebih rendah dibandingkan pada 2015 lalu. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berpeluang terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan bencana banjir, tanah longsor dan angin puting beliung diperkirakan bakal terjadi tahun ini. Sehingga prediksi dengan risiko sekecil pun harus disiapkan untuk menyiapkan langkah-langkah antisipasi agar mengurangi dampak negatif dari potensi dua fenomena iklim.

"Siklusnya setiap tujuh atau sembilan tahun, el nino akan berganti la nina, hanya tugas kita adalah mengantisipasi dampak dua fenomena alam itu," kata Pakar hidrologi dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali, seperti dilaporkan Antara.

Persoalannya, meski el nino dan la nina dapat diprediksi, tapi bila gagal mengantisipasi menyebabkan dampak lebih buruk dari musibah seperti kekeringan, gagal panen bahkan asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang dampaknya sampai ke negara tetangga. Kita berharap sang "monster" el nino atau juga la nina benar-benar tak menyapa di tahun ini.

Baca juga artikel terkait EL NINO atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra