tirto.id - “Kita ini seperti diludahi di depan muka kita karena kaset-kaset bajakan bisa dengan bebas ditemukan di mal-mal yang katanya tempat nongkrong orang terpelajar dan kaya."
Itulah keluhan salah satu personil Slank, Bimbim, ketika mlihat maraknya pembajakan musik di Tanah Air. Menimpali Bimbim, rekannya Abdee Negara juga berpendapat demikian. Ia bahkan menilai pembajakan sangat berpotensi mematikan industri musik di Indonesia.
Abdee memaparkan, dampak dari pembajakan tidak hanya berpengaruh kepada nilai ekonomi, tetapi juga pada kreativitas sang musisi. Misalnya kurangnya minat para produser menggarap album, serta matinya kreatifitas para musisi karena melemahnya daya saing dalam menciptakan karya yang berkualitas. Hal itu menyebabkan musik asing makin gencar masuk ke Indonesia, salah satunya K-Pop.
"Lihat saja sekarang K-Pop bisa masuk dengan mudah, kalau di sana produksi musik minimal bisa menghasilkan satu juta dolar AS, kalau kita dapat Rp100 juta saja sudah untung," kata Abdee dikutip dari Antara pada pertengahan 2013 lalu.
Slank tidak sendiri. Salah satu anggota band religi Bimbo, Sam Bimbo juga berkeluh soal yang sama. Band yang sudah berada di industri musik sejak tahun 1967 itu bahkan meminta kepada semua kalangan untuk bersama-sama mengembalikan gairah industri musik Indonesia, terutama dalam memberantas pembajakan.
"Kami meminta kepada semua kalangan untuk mendukung upaya memerangi pembajakan karena selama ini musisi seperti di anak tirikan disebabkan tidak ada perhatian yang luas dan pemberitaan yang mendalam akan pembajakan," ujar Sam Bimbo.
Hal tersebut rupanya juga dirasakan oleh Glenn Fredly. Ia bahkan menyarankan para musisi untuk membuat konser guna menjaga ekosistem musik agar tetap eksis di tengah keterpurukan musisi akibat pembajakan.
Kerugian Karena Pembajakan
Gonjang-ganjing soal memudarnya industri musik di Indonesia membuat panjang daftar pertanyaan. Berapakah kerugian negara atau para pelaku seni akibat ulah para pembajak?
Mei 2013 lalu, Gita Wirjawan ketika menjabat sebagai menteri perdagangan memperkirakan, total konsumsi musik rekaman di Indonesia mencapai Rp5 triliun per tahun. Namun, dari angka itu, sebanyak 90 persen atau Rp4,5 triliun masuk ke kantong para pembajak yang menyebabkan kerugian terhadap negara dan musisi.
"Hanya 10 persen pendapatan musisi yang tercatat. Sedangkan 90 persen dari Rp 5 triliun itu masuk ke kantong pembajak. Kalau mereka (musisi) tidak mendapatkan ini jelas merugikan mereka dan juga merugikan negara," ujar Gita.
Menurutnya, Indonesia sangat berpotensi menjadi salah satu raksasa dalam industri global. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya seniman, artis, budayawan, pekerja seni yang memiliki talenta yang sangat luar biasa. Untuk itu, ia cukup prihatin dengan sikap para konsumen Indonesia yang memilih membeli produk bajakan.
Melihat fenomena ini, Gita pun mengajak para musisi untuk bersama-sama turun tangan mengatasi pembajakan, salah satunya melakukan inspeksi mendadak ke pasar-pasar yang menjual produk bajakan serta berdialog dengan para pelaku industri musik.
"Menangani masalah ini tidak bisa dilakukan secara sporadis dan dalam waktu yang singkat tapi harus dilakukan bersama-sama dan hasilnya baru bisa dinikmati setidaknya sepuluh hingga 15 tahun ke depan," kata Gita.
Apa yang diungkapkan Gita memang benar adanya. Maraknya pembajakan musik sudah terjadi sejak 2007 dan telah menguasai 95,7 persen pasar di Indonesia. Sementara penjualan musik legal hanya sekitar 4,3 persen. Menurut data Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) pada 2013 menunjukkan, kerugian yang diakibatkan dari pembajakan tersebut mencapai Rp4 triliun per tahun.
Pembajakan juga berdampak pada menurunnya penjualan album fisik. Menurut data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI). Pada 2005, jumlah kaset, compact disk (CD) dan video compact disk (VCD) di Indonesia mencapai angka 30 juta keping. Namun, angka tersebut terus menurun pada tahun-tahun berikutnya, dan hanya sekitar 15 jutaan keping yang beredar pada 2008.
Penurunan itu juga berdampak pada bangkrutnya toko-toko kaset dan CD. Seperti Toko kaset dan CD Aquarius di Jakarta Selatan pada 2013 lalu. Klimaksnya terjadi di akhir tahun 2015, saat Disc Tarra menyatakan kebangkrutannya dengan menutup 40 outletnya.
Bank Musik di Indonesia
Lesunya industri musik di Tanah Air membuat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tergugah dan berinisiatif mendirikan bank musik, yang diharapkan mampu menghidupkan kembali ekosistem kreatif nasional serta mengurangi angka pembajakan.
"Pak Menteri (Imam Nahrawi) merasa prihatin dengan adanya persoalan-persoalan di dunia musik Tanah Air. Salah satunya kasus pembajakan yang selama ini bagai gurita yang telah merusak tatanan industri musik," kata Staf Khusus Bidang Kepemudaan Kemenpora, Zainul Munasichin, Maret 2016.
Bank musik diharapkan akan menjadi wadah untuk mengumpulkan, melestarikan, dan mengembangkan musik dan lagu yang ada di seluruh Tanah Air serta akan dikelola secara profesional.
Selain bank musik, Kemenpora juga akan menggandeng diaspora yang telah sukses mengembangkan bakat bermusiknya di luar negeri. Para musisi tersebut akan dijadikan mentor yang diharapkan dapat memberikan inspirasi dan menumbuhkan jiwa kreatif anak muda. Meskipun demikian, Kemenpora mengaku masih akan mematangkan kembali konsep dari bank musik dengan meminta masukan dari berbagai pihak.
Selain itu, Kemenpora juga akan menggelar roadshow ke musisi-musisi senior nasional untuk membuat formulasi bank musik yang sesuai dengan kondisi musik Tanah Air.
Menimbang Potensi Musik
Mengapa bank musik perlu diperjuangkan? Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya melihat beberapa data yang dikeluarkan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Menurut Bekrat, pada tahun 2014, sumbangan industri kreatif terhadap PDB mencapai 7 persen. Sumbangan terbesar diberikan oleh industri fashion dan kuliner. Sayang, industri musik belum bisa memberikan sumbangan berarti karena maraknya pembajakan.
"Musik itu, kalau di statistik, memang rendah karena pembajakannya tinggi. Tapi kalau ada penegakan hukum, pasti akan tinggi," kata Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif Fadjar Hutomo, seperti dilansir dari Tempo.
Sementara itu, data tahun 2013 menunjukkan, industri musik menyumbang kurang lebih Rp5,237 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Serapan tenaga kerjanya mencapai 55.958 orang tahun lalu. Industri musik tercatat mampu mengembangkan hingga 16.182 jumlah usaha. Bahkan industri musik juga mampu memberikan kontribusi yang lebih besar dari itu jika mendapatkan dukungan dari seluruh pihak, khususnya pemerintah.
Industri musik mampu memberikan sumbangan yang besar terhadap ekonomi. Jika angka pembajakan mampu ditekan, maka nilai ekonomi yang diperoleh bisa lebih dari itu.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti