Menuju konten utama

Berguru dari Kanguru untuk Menangani Bayi Prematur

Perilaku hewan bisa menjadi inspirasi manusia untuk keperluan dunia medis. Salah satunya yang patut ditiru dari kebiasaan kanguru, yang ternyata bisa dimanfaatkan untuk menangani bayi manusia prematur.

Berguru dari Kanguru untuk Menangani Bayi Prematur
Ilustrasi bayi. GETTY IMAGES

tirto.id - Selama 40 minggu adalah waktu normal bagi seorang bayi manusia untuk tinggal di dalam perut sang ibu, sebelum lahir ke dunia. Namun, tak semua proses kelahiran bisa sesuai jadwal normal. Ada kalanya si jabang bayi harus keluar secara prematur di usia kurang dari 32-34 minggu.

Ibu yang mengidap penyakit tertentu berisiko mengalami persalinan prematur. Mereka yang menderita diabetes, gangguan ginjal, tekanan darah tinggi, atau anemia selama masa kehamilan, dekat dengan kejadian prematur.

Seorang bayi prematur, rata-rata bertubuh lebih kecil dengan berat badan tak sampai 2500 gram. Suhu tubuh bayi prematur umumnya belum stabil sehingga mudah terpapar dingin. Penanganan paling tepat adalah dengan merawat si bayi ke dalam inkubator yang mampu menjaga suhu tetap konstan dan disesuaikan dengan berat lahir serta usia kehamilan.

Namun, apakah langkah memasukkan bayi ke inkubator adalah satu-satunya cara? Sejak lama beberapa orang tua mempertimbangkan opsi ini dengan berat hati sebab biaya yang dikeluarkan untuk perawatan memakai inkubator cukup mahal. Demi si bayi, biasanya mereka akan tetap menjalaninya. Di luar itu ada cara lain yang lebih terjangkau. Prosesnya pun lebih natural, yaitu kangaroo mother care (KMC), atau prosedur penanganan bayi prematur dengan meniru teknik seekor ibu kanguru.

Prosedur KMC melibatkan bayi yang meringkuk dalam posisi seperti kanguru di dada si ibu setelah bayi lahir. Selama terjadi sentuhan “kulit ke kulit” yang menghangatkan tubuh si bayi, ibu juga berkewajiban memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Kelebihan dari prosedur ini adalah keduanya bisa langsung pulang ke rumah. Selama mendapatkan perawatan dengan teknik KMC, si bayi akan mendapatkan pengawasan dari rumah sakit selama satu tahun terhitung dari waktu kelahiran normal yaitu 40 minggu.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Pediatrics pada 8 Desember 2016, berisi dukungan terhadap prosedur KMC dibanding pemakaian inkubator. Kesimpulan dari para peneliti menyatakan bahwa bayi prematur yang diberi ASI eksklusif selama KMC akan menjadi remaja dengan ukuran otak yang lebih besar ketimbang bayi prematur yang dirawat di inkubator. Efek jangka panjangnya adalah mereka akan tumbuh dengan tingkat stres yang lebih rendah.

Dalam rentang waktu tiga tahun (1993-1996) para peneliti menelusuri 264 bayi peserta KMC yang lahir dengan berat badan kurang dari 1,8 kg. Hasil monitoring selama 20 tahun kemudian menunjukkan bahwa selain menjadikan bayi lebih sehat, prosedur KMC mampu melindungi si bayi dari kematian dini. Tingkat kematian rata-rata bayi prematur yang dirawat di inkubator mencapai 7,7 persen alias dua kali lipat dibanding bayi yang menjalani prosedur KMC yakni hanya 3,5 persen.

Hampir setiap bagian yang diselidiki dalam penelitian tersebut mengungkapkan keuntungan lebih lanjut bagi bayi-bayi yang menjalani KMC. Mereka mendapatkan upah per jam dengan rata-rata hampir 53 persen lebih tinggi ketimbang golongan bayi yang menjalani inkubator. Otak mereka mengalami perkembangan yang lebih signifikan. Bayi prematur yang mengikuti program KMC dirawat dan dilindungi dengan baik selama di keluarga masing-masing. Saat menginjak usia kanak-kanak, mereka menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah dan lebih tidak agresif, hiperaktif, ataupun gampang stres.

“Studi ini menunjukkan bahwa perawatan model kanguru menunjukkan efek perilaku individu dan sosial yang lebih signifikan dan tahan lama sejak lahir hingga 20 tahun kemudian si bayi tumbuh dewasa. Kami percaya bahwa ini adalah langkah intervensi pelayanan kesehatan berbasis sains yang efisien dan kuat dan bisa menjadi jalan bagi mereka yang memiliki akses lemah untuk pelayanan inkubator,” kata kepala penelitian Dr Nathalie Charpak dari Kangaroo Foundation di Bogota kepada The Guardian.

INFOGRAFIK Revisi Kangoroo Mother Care

Bisa Diandalkan

Pada bulan September lalu ada sepasang suami istri (pasutri) yang bersedia memberikan bayinya yang baru dilahirkan kepada siapapun yang mau membayar tagihan biaya rumah sakit senilai Rp39 juta di RS Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka bahkan rela memberikan bayinya demi untuk melunasi biaya rawat inap, termasuk biaya perawatan inkubator sang bayi yang lahir prematur.

Mereka tidak mampu lagi berbuat banyak dan telah berusaha keras menangani bayinya yang prematur. Biaya jasa penyewaan inkubator per hari bisa mencapai Rp2 juta. Sayangnya, pasutri itu tak mengetahui soal teknik KMC. Padahal prosedur alamiah itu hampir tak memakan biaya. Kejadian yang menimpa pasutri malang itu bagian korban dari minimnya pengetahuan alternatif soal kelahiran bayi prematur.

Kasus bayi prematur yang terjadi di RS Unhas hanya contoh saja. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), 1 dari 10 bayi yang lahir di dunia adalah bayi prematur. Kondisi lanjutan yang mengiringi setelahnya adalah potensi kematian si bayi sebelum menginjak usia 5 tahun. Banyak bayi prematur yang menjadi penyandang disabilitas saat tumbuh dewasa, termasuk mengalami kesulitan dalam belajar hingga masalah penglihatan dan pendengaran. Perlu usaha ekstra untuk merawat mereka agar terhindar dari risiko penyakit dan kematian sekunder.

Jumlah bayi prematur naik tiap tahunnya, sayangnya mereka lahir di negara berkembang, sehingga potensi untuk komplikasi berbahaya lebih besar lagi. Di Malawi misalnya, 18 dari setiap 100 bayi yang lahir berstatus prematur. Di kawasan dengan tingkat pelayanan yang tak lebih baik dari negara maju, inkubator termasuk barang langka dan tak bisa diandalkan sewaktu-waktu. Dalam kondisi inilah prosedur perawatan dengan metode KMC bisa jadi solusi.

Di Indonesia, biaya kelahiran bayi prematur dalam catatan Perinatologi RSCM bisa mencapai Rp153-183 juta per bulan. Total biaya itu meliputi tarif menempati ruangan Neonatal Intensive Care Unit (NICU), biaya obat, pengeluaran tambahan, hingga biaya tak langsung. Itu pun untuk kisaran biaya yang dipatok oleh rumah sakit pemerintah. Biaya di rumah sakit swasta bisa sampai dua kali lipatnya. Celakanya, tak semua rumah sakit bisa menyediakan layanan NICU yang investasinya sangat mahal.

Dr Peter Singer, CEO Grand Challenges Canada, termasuk yang mendukung penelitian Dr Charpak dan kawan-kawan. Sebab ada bayi prematur yang lahir ke dunia setiap dua detik sekali. “Studi Dr Chapark dan kawan-kawan menunjukkan bahwa KMC memberikan kesempatan yang lebih baik bagi bayi-bayi itu dalam rangka bertahan hidup. KMC dapat melindungi otak dan membuat bayi prematur lebih sehat dan sejahtera,” ungkapnya kepada The Guardian.

Grand Challenges Canada telah mendanai dua lembaga “think tank” dan 10 pusat perawatan bayi prematur yang menerapkan prosedur KMC di Kamerun dan Mali. Dua negara ini punya tingkat kelahiran bayi prematur tertinggi di dunia. Peter berharap ada pihak-pihak lain yang mengikuti jejaknya, karena teknik KMC belum populer di dunia.

Selain merujuk penelitian Dr Charpak, sebuah riset kepada 21 penelitian random yang dilakukan oleh lembaga pemerhati pelayanan kesehatan global Cohrane menyatakan bahwa teknik KMC memang terbukti mengurangi tingkat kematian bayi. Metode ini bisa menjadi alternatif yang tepat dan efektif untuk keselamatan dan kesehatan bayi prematur. Meski demikian, disayangkan bahwa penggunaan teknik tersebut menurut Cohrane memang belum signifikan di tingkat global.

Untuk jangka panjang, ada namanya Every Newborn, sebuah program yang didukung WHO sejak 2014. Program ini menargetkan setidaknya 50 persen bayi prematur sedunia bisa ditangani dengan metode KMC hingga 2020. Rencana mulia ini tentu sangat didukung oleh Dr Charpak, Dr Singer, dan para orang tua sedunia yang memiliki bayi prematur.

Baca juga artikel terkait BAYI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra