Menuju konten utama

Benarkah Perlambatan Rotasi Bumi Bikin Gempa Lebih Sering Terjadi?

Perlambatan rotasi Bumi diklaim berkorelasi dengan aktivitas gempa. Benarkah demikian?

Benarkah Perlambatan Rotasi Bumi Bikin Gempa Lebih Sering Terjadi?
Rumah warga tampak hancur dampak gempa yang terjadi di Palu di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Sulawesi Tengah, Jumat (5/10/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Dalam waktu kurang dari satu bulan, dua gempa besar mengguncang wilayah Indonesia. Pada 29 Juli 2018, gempa terjadi di pulau Lombok. Sedangkan pada 28 September 2018, gempa melanda Sulawesi Tengah. Ratusan bangunan rusak dan ribuan orang meninggal dunia.

Salah satu yang jadi topik perbincangan pasca-bencana adalah dekatnya jarak waktu antara kedua gempa tersebut. Namun, di luar bencana di Lombok dan Palu, perlambatan rotasi Bumi disebut-sebut telah menyebabkan peningkatan frekuensi gempa pada 2018.

Argumen yang mengaitkan perlambatan rotasi bumi dengan peningkatan frekuensi gempa disampaikan pertama kali oleh geolog Roger Bilham dan Rebecca Bendick pada pertemuan Geological Society of America, Oktober 2017. Menurut mereka, selama 100 tahun terakhir, perlambatan rotasi bumi berkorelasi dengan periode terjadinya gempa, khususnya gempa yang berkekuatan lebih dari 7 skala Moment Magnitude.

Segera setelah penelitian Bilham dan Bendick diumumkan, inti hasil penelitiannya ditangkap radar media. "Gempa Bumi Mematikan Bisa mengguncang satu MILIAR orang tahun depan karena rotasi memperlambat Bumi," tulis Daily Mail dalam judul beritanya. "Peningkatan Gempa Bumi Besar Diprediksi Terjadi pada 2018 Karena Rotasi Bumi Melambat" dimuat di Guardian. Judul-judul berita itu sangat bombastis. Tak heran apabila berita tersebut cepat menyebar, apalagi setelah gempa di Lombok dan Sulawesi Tengah.

Apa sebenarnya yang diteliti Bilham dan Bendick?

Kisah Dua Ahli Membedah Data Gempa

Roger Bilham adalah profesor emeritus di University of Colorado. Bidang penelitiannya ialah geologi, terutama soal gempa. Sedangkan Rebecca Bendick adalah peneliti yang berkantor di University of Montana. Kedua universitas itu berada di Amerika Serikat.

Bilham dan Bendick berangkat dari salah satu pertanyaan terbesar dalam ilmu kegempaan: Apakah gempa bisa diprediksi? Dengan cara apa?

Berangkat dari pertanyaan itu, keduanya menyusun suatu makalah berjudul "Do Weak Global Stresses Synchronize Earthquakes?", yang diterbitkan di Geophysical Research Letter pada 16 Agustus 2017.

Dalam makalah itu, Bilham dan Bendick menganalisis jejak gempa di seluruh dunia pada kurun 117 tahun ke belakang (1900-2017). Yang ditemukan Bilham dan Bendick awalnya sama seperti para peneliti gempa sebelumnya: berdasarkan jejak waktu, gempa terjadi secara acak. Lalu, dua peneliti itu menambahkan parameter "interval pembaruan" dalam pengolahan data. Interval pembaruan merupakan durasi yang diperlukan suatu zona gempa untuk mengumpulkan energi potensial guna melepaskan gempa berkekuatan besar.

“Kami merintis gagasan bahwa gempa bumi mungkin mirip neuron atau baterai, dalam artian bahwa gempa butuh waktu untuk mengisi ulang daya. Selama proses isi ulang tersebut, gempa bisa saja gagal," kata Bendick, seperti dilansirPopular Science.

Akhirnya, Bendick dan Bilham menemukan suatu pola. Hasil penelitian keduanya yang kemudian dilaporkan Washington Post menyebutkan bahwa gempa bumi kategori tertentu, terutama yang berkekuatan lebih dari 7,0 skala Moment Magnitude, memiliki interval pembaruan antara 20 hingga 70 tahun. Jadi, gempa dengan kategori di atas cenderung mengguncang bumi tiap 30 tahun, dalam tingkatan 20 kejadian per tahun.

Infografik Gempa Dan rotasi Bumi

Dalam penelitian itu, Bendick dan Bilham juga menelaah beragam fenomena alam, dari lelehan batu cair di mantel Bumi, perubahan sirkulasi laut, hingga transfer momentum antara inti Bumi dan kulit terluar Bumi, yang sekiranya berkorelasi dengan pola tiga puluhan tahun tersebut. Yang paling cocok adalah perubahan kecil siklus kecepatan rotasi Bumi, yang juga bersiklus 32 tahunan.

Setelah pertemuan Geological Society of America pada Oktober 2017, Bendick, Bilham, dan hasil penelitiannya benar-benar mendapat sorotan media. Pada pertemuan itu, Bendick dan Bilham menyampaikan presentasi berjudul "A Five Year Forecast for Increased Global Seismic Hazard".

Dalam presentasi tersebut, Bendick dan Bilham mengatakan bahwa perlambatan rotasi membutuhkan waktu beberapa saat untuk merambat melalui batuan Bumi. Setelah perlambatan kecil terjadi, ada jeda 5-6 tahun sebelum terjadi peningkatan 30 persen kejadian gempa Bumi berkekuatan lebih dari 7 skala Moment Magnitude di wilayah 10-30 derajat lintang Utara dan Selatan. Peningkatan ini bisa bertahan selama lima tahun, tetapi data yang dianalisis Bendick dan Bilham belum bisa mengungkap durasi gempa yang terjadi.

Menurut Bendick dan Bilham, 2017 adalah tahun keenam setelah perlambatan Bumi terjadi terakhir kali pada 2011. Artinya, 2018 merupakan awal peningkatan gempa Bumi berkekuatan lebih dari 7,0 skala Moment Magnitude.

"Tahun 2017 menandai enam tahun setelah episode perlambatan rotasi Bumi yang dimulai pada 2011, menunjukkan bahwa dunia sekarang telah memasuki periode peningkatan produktivitas seismik global dengan durasi setidaknya lima tahun," ujar Bendick.

Tidak Sesederhana Kata Media

Setelah hasil risetnya tersebar luas, kepadaWashington Post, Rebecca Bendick merasa "tidak enak hati" apabila para pembaca risetnya merasa gundah. Baginya, klaim akan terjadinya ledakan gempa bumi pada 2018 adalah bentuk sensasionalisme.

Bendick mengatakan, "Tidak benar bahwa setiap 32 tahun, kita memiliki suatu masa yang buruk. Jika benar begitu, orang pasti sudah akan menemukan [pola] tersebut berabad-abad lalu. Hal semacam itu pasti bakal dicatat."

Bendick juga menyatakan bahwa penelitian yang dilakukannya bersama Bilham bertujuan menemukan probabilitas, bukan prediksi. Baginya, perlambatan rotasi Bumi tidak niscaya menyebabkan gempa pada tahun berikutnya. Hanya saja, probabilitas gempa bakal baik.

Kenneth Hudnut, peneliti kegempaan yang bekerja bersama US Geological Survey, menekankan bahwa "korelasi" tidak sama dengan "kausalitas". Korelasi merupakan ukuran statistika yang menggambarkan ukuran dan arah hubungan antara dua atau lebih variabel. Korelasi antara variabel tidak berarti perubahan dalam satu variabel menyebabkan perubahan dalam nilai-nilai variabel lainnya. Sedangkan kausalitas menunjukkan satu peristiwa adalah hasil terjadinya peristiwa lain.

Bendick pun memandang hasil penelitiannya amat menarik, tidak hanya baginya, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan.

“Kami mengeluarkan hipotesis ini dan dua hal akan terjadi. Salah satunya, semua rekan kami akan mencoba untuk mencari tahu mengapa kami keliru. Begitulah cara kerja sains. Yang lainnya adalah ramalan yang cukup berani. Akhir tahun depan, dan tentu saja pada tahun 2020, kami akan memiliki hasil tes yang solid,” ujar Bendick.

Baca juga artikel terkait GEMPA BUMI atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Teknologi
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf