Menuju konten utama

Benarkah Bumi Lebih Hijau Berkat Cina dan India?

Bumi lebih hijau dibanding tahun 1990-an berkat Cina dan India.

Benarkah Bumi Lebih Hijau Berkat Cina dan India?
Ilustrasi Hutan lindung. ANTARA FOTO/Ampelsa

tirto.id - Di tengah kabar kehancuran lingkungan karena eksploitasi besar-besaran, emisi gas karbon yang memprihatinkan, perubahan iklim, kabar sejuk datang dari NASA. Mereka mengumumkan bahwa bumi hari ini sedikit lebih hijau ketimbang 20 tahun yang lalu.

Hijaunya bumi paling mencolok terjadi di Cina dan India. Cina menyumbang 25 persen peningkatan area hijau global. Penghijauan terbesar di Cina datang di lahan hutan (42 persen), disusul lahan pertanian (32 persen). Sementara India berkontribusi terhadap penghijauan global sebesar 6,8 persen. Namun, mayoritas area hijau berasal dari lahan pertanian (82 persen) dan sebagian kecil hutan (4,4 persen).

“Cina dan India menyumbang sepertiga dari wilayah yang mengalami penghijauan, meski luas keduanya cuma sembilan persen dari total daratan planet yang tercakup dalam vegetasi. Ini temuan mengejutkan mengingat pandangan umum bahwa degradasi lahan secara signifikan terjadi di negara-negara berpenduduk padat akibat eksplotasi berlebihan,” ujar Chi Chen dari Departemen Bumi dan Lingkungan di Universitas Boston Massachusetts yang terlibat dalam penelitian bersama NASA.

Setelah mengalami fase deforestasi besar-besaran pada 1970-an sampai 1980-an, kedua negara ini mulai sadar akan pentingnya penghijauan. Cina melakukan kampanye reboisasi untuk mengurangi dampak erosi tanah, polusi udara, dan perubahan iklim. Begitu pula dengan India yang gemar menanam pohon. Bahkan pernah ada acara akbar di mana 800.000 orang menanam 50 juta pohon hanya dalam waktu 24 jam saja.

Temuan NASA telah dipublikasikan di jurnal Nature pada 11 Februari 2019. NASA menggunakan instrumen satelit bernama Moderror Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) untuk mengamati vegetasi secara menyeluruh di bumi hingga jarak 500 meter dari atas permukaan tanah. Selama 20 tahun terakhir, alat inilah yang memotret penampakan vegetasi di banyak belahan bumi sebanyak empat kali dalam sehari. Data-data inilah yang kemudian dijadikan NASA sebagai alat bukti untuk menunjukkan bahwa bumi makin hijau ketimbang pada 1990-an.

Sebenarnya temuan NASA bukanlah hal baru. Zaichun Zu dkk dalam penelitan mereka berjudul “Greening of the Earth and its drivers” (2016) yang diterbitkan oleh jurnal Nature pada 25 April juga menunjukkan bagaimana planet bumi cenderung lebih hijau selama 30 tahun terakhir.

Temuan ini berpijak pada data peta sebaran vegetasi global dari rentang 1985 sampai 201 yang menunjukkan daerah yang kian hijau atau konsisten hijau berada di kawasan Australia, Afrika tengah, Lembah Amazon, Amerika Serikat bagian tenggara dan Eropa. Sedangkan empat persen area berwana coklat yang menunjukkan kegersangan berada di barat laut Amerika Utara dan Amerika Selatan bagian tengah.

Jika penelitan NASA menyoroti aktivitas penghijauan karena faktor kesadaran manusia di Cina dan India untuk menanam tumbuh-tumbuhan, hijaunya bumi dalam penelitian Zu dkk justru disebabkan oleh faktor-faktor yang sebenarnya mendorong perubahan iklim itu sendiri.

Misalnya karena efek penumpukan kenaikan karbondioksida (CO₂) yang membuat dedaunan tumbuh lebih cepat. Kemarau panjang akibat perubahan iklim memperpanjang musim tanam di beberapa daerah. Sejumlah kawasan yang diguyur curah hujan tinggi di daerah gersang meningkatkan pertumbuhan vegetasi. Kelebihan nitrogen akibat peningkatan penggunaan pupuk kimia juga justru jadi pendorong penghijauan di sebagian besar wilayah beriklim sedang yang sebelumnya kekurangan nitrogen.

Belum Tentu Menghentikan Pemanasan Global

Meski tren hijaunya bumi adalah kabar baik, dua penelitian di atas sebenarnya tidak memuat simpulan yang menunjukkan tren tersebut dapat bertahan lama.

Para peneliti NASA mengingatkan bahwa tren penghijauan yang terjadi di Cina dan India tidak banyak berkontribusi jika di saat bersamaan laju deforestasi hutan hujan tropis seperti Brasil, Indonesia dan Kongo tidak mengendur.

Di India, perlu diketahui bahwa penghijauan meningkat bukan dari sektor hutan melainkan pertanian yang terfasilitasi sistem irigasi air tanah. Jika di masa depan terjadi krisis air akibat perebutan sumber daya atau faktor perubahan iklim itu sendiri, maka tentu saja pertanian hijau akan rontok mengering.

Pep Canadell dan Yingping Wang, dua rekan penelitian Zaichun Zu, tidak yakin seberapa jauh tren bumi yang menghijau akan terus berlanjut. Hijaunya bumi berdiri di kondisi yang rapuh mengingat peningkatan vegetasi hijau justru dipicu oleh menumpuknya gas karbon. Saat bumi menghijau seperti ini efeknya hanya menunda pemanasan global saja dan kembali berlanjut beberapa dekade berikutnya setelah gas karbon kian terakumulasi.

Studi Julia K. Green dkk yang diterbitkan di jurnal Nature pada Januari 2019 juga menyebut bahwa tren hijaunya bumi tidak akan bertahan lama. Sebab, saat bumi kian menghangat karena pemanasan global dan tanahnya kering, tanaman akan kekurangan air yang mengarah ke penurunan pertumbuhan.

Semua bisa sepakat bahwa peran hutan dan vegetasi hijau yang berfotosintesis dapat menyerap karbondioksida, gas penyebab efek rumah kaca yang membikin pemanasan global. Terlebih lagi, setiap tahun aktivitas manusia di bumi telah menghasilkan 30 sampai 40 miliar ton gas karbondioksida. Itu artinya, pemanasan global tak terhindarkan.

Perjanjian Perubahan Iklim Paris 2015 yang disetujui oleh mayoritas negara dunia mendorong para anggotanya untuk mengurangi energi fosil penghasil emisi karbon lewat berbagai kebijakan dan inisiatif. Selain itu seruan untuk menanam pohon kerap dikaitkan dengan cara termudah yang bisa dilakukan oleh banyak orang dalam upaya melawan perubahan iklim dan menjaga kenaikan suhu global agar tidak melampau angka 1,5-2 derajat celcius sebelum semuanya terlambat.

Penelitian teranyar yang dilakukan Jean-Francois Bastin dkk berjudul "The global tree restoration potential" (2019) yang diterbitkan di jurnal Science pada 5 Juli 2019 menyodorkan gagasan bahwa menanam pohon dalam skala besar di lahan seluas Amerika Serikat dapat menjadi solusi paling realistis untuk mengerem laju pemanasan global yang kian tak terbendung.

Bastin dkk memetakan negara-negara mana saja yang punya lahan potensial untuk ditanami pohon secara masif tanpa harus menggerus lahan perkotaan dan pertanian. Pepohonan yang ditanam massal itu nantinya diklaim mampu menyerap 205 miliar metrik ton karbondioksida (CO2) atau sekitar dua pertiga dari total 300 miliar metrik ton karbon yang dilepaskan manusia ke atmosfer sejak akhir abad ke-18 ketika Revolusi Industri dimulai.

Tetapi penelitian tersebut ditanggapi secara kritis oleh Mark Maslin, profesor Earth System Science di University College London dan Simon Lewis profesor Global Change Science di University of Leeds. Dalam esainya untuk The Conversation pada 5 Juli 2019, Maslin dan Lewis mencatat bahwa hutan bisa menyerap dan menyimpan banyak karbon ketika usianya mencapai ratusan tahun, bukan beberapa dekade seperti yang diasumsikan dalam penelitian Bastin dkk.

Selain itu, di saat menanti pepohonan tumbuh besar dan matang, proses pemanasan global yang terus berjalan dapat menggagalkan seperlima dari total pertumbuhan hutan sebelum mencapai tingkat kematangan.

Maslin dan Lewis bahkan menyebut jika dunia sukses mengurangi emisi karbon menjadi nol pada 2050, tahun yang diprediksi menuai panen bencana perubahan iklim, karbon yang sudah lebih dahulu ada perlu dikeluarkan dari atmosfer agar bumi lebih dingin.

Meski begitu bukan berarti usaha menciptakan hutan baru tidak mampu segera menyerap karbon. Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) terbaru menyebut hutan muda mampu menyerap 57 miliar ton karbon tambahan pada akhir abad ini.

"Itu tidak mudah, tetapi masyarakat perlu melindungi hutan yang sudah ada dan melindungi hutan baru selamanya agar karbon tersimpan di pohon-pohon dan bisa dikeluarkan dari atmosfer secara permanen," pesan Maslin dan Lewis.

Infografik Makin Panas Ya

Infografik Makin Panas, Ya?. tirto.id/Nadya

Lain halnya dengan penelitian G. Bala dkk berjudul "Combined climate and carbon-cycle effects of large-scale deforestation" (2007). Mereka menyebut penggundulan hutan besar-besaran malah membuat suhu bumi turun.

Kok bisa? Berdasarkan penelitian mereka terhadap karakteristik hutan dan perannya menjaga iklim, deforestasi memiliki efek yang berbeda-beda di berbagai belahan dunia.

Proses penyerapan karbon disebut paling efektif terjadi di daerah tropis yang berarti peran hutan hujan tropis dalam mendinginkan bumi sangat besar. Ditambah lagi proses evotranspirasi (pelepasan air yang diuapkan tanaman ke atmosfer) yang berjalan maksimal turut membantu memantulkan sinar matahari dan membuat bumi lebih dingin. Sedangkan hutan di daerah non-tropis justru menyerap sinar matahari dan membuatnya lebih hangat. Maka, membabat hutan justru membantu mendinginkan wilayah tersebut karena sinar matahari dapat langsung dipantulkan oleh tutupan salju di musim dingin.

Namun, perlu dicatat bahwa penelitian Bala dkk tidak dimaksudkan untuk mendorong penggundulan hutan di daerah dingin, mengingat fungsi hutan tidak cuma berkisar di urusan iklim saja.

"Alasan utama kami mencoba memperlambat pemanasan global adalah untuk melindungi alam," ujar Ken Caldeira, salah satu peneliti dalam studi tersebut, dilansir dari Science Daily. "Tidak masuk akal menghancurkan ekosistem alam atas nama penyelamatan ekosistem alam."

Baca juga artikel terkait PENGHIJAUAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf