tirto.id - Valentino Simanjuntak langsung menyedot perhatian para pecinta sepak bola tanah air, kala dia menjadi komentator perhelatan Piala AFF U-19 di Sidoarjo pada 2013 lalu. Evan Dimas dan kawan-kawan berhasil menjadi jawara usai mengandaskan perlawanan Vietnam U-19 melalui drama adu penalti.
Jargon “jebret” saat itu langsung populer. Valen pun terkenal karena kerap melontarkan kutipan-kutipan heroik dari sejumlah tokoh, untuk mengobarkan semangat pemirsa. Lainnya, dia lihai merangkai kata-kata kocak, yang membuat penonton terhibur, semisal tendangan LDR, tendangan SLJJ, umpan membelah lautan, umpan cuek, dan tendangan kepo.
Setelah lama vakum menjadi komentator, Valen kembali lagi membawakan program kompetisi Liga I Indonesia, pertandingan Piala AFF U-16, pertandingan sepak bola, dan bulutangkis Asian Games 2018
Dari Corong Radio Perjuangan
Jauh sebelum era si Bung Jebret, publik lebih dahulu mengenal suara khas Sambas Mangundikarta. Sambas dikenal sebagai komentator dan reporter acara olahraga, terutama pertandingan sepak bola dan bulu tangkis.
Sambas lahir di Bandung, 21 September 1926. Menurut Ed Zoelverdi dan Zakaria M. Passe dalam artikel berjudul “Dari Mikrofon ke Mikrofon” di majalah Tempo edisi 15 Februari 1975, Sambas memulai karier dengan mendirikan Radio Perjuangan Jawa Barat di Subang bersama Dr. Moestopo pada 1946. Sebelumnya, pada masa pendudukan Jepang, dia menjalani studi di Sekolah Menengah Perdagangan di Bandung.
Dr. Moestopo merupakan seorang dokter gigi yang menjadi pejuang kemerdekaan. Dia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 9 November 2007. Dia termasuk pejuang kemerdekaan yang menghadapi pasukan ekspedisi Inggris pimpinan Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby di Surabaya pada November 1945. Pada 1961, dia mendirikan Universitas Moestopo.
Pada masa Revolusi, Sambas menjadi anggota Siliwangi, pangkatnya sersan mayor. Suasana perang mempertahankan kemerdekaan membuat Sambas hidup berpindah-pindah. Ketika hijrah ke Madiun, Sambas dan Dr. Mustopo juga mendirikan Radio Perjuangan.
Pada 1948, kala terjadi pemberontakan PKI Madiun, Sambas menemukan situasi gawat, yang bisa saja membuat hidupnya berakhir. Masih menurut Zoelverdi dan Zakaria dalam artikelnya, bersama 15 temannya, Sambas ditangkap pasukan komunis. Mereka ditahan di Ngawi.
Dua minggu dalam sekapan, Sambas dan kawan-kawannya akhirnya lepas. Pasukan komunis tak mendapatkan bukti dokumen yang mengindikasikan mereka Siliwangi, karena juru tik mereka sudah membakar dokumen itu sebelumnya. Sambas pun pernah melakukan jalan kaki Yogyakarta-Jakarta jelang Agresi Militer Belanda II pada 1948. Pada 1949, Sambas bekerja sebagai pegawai di Bank Escompto, Jakarta. Namun, pekerjaan ini hanya dia jalani selama dua tahun. Dunia penyiaran radio membuatnya kepincut. Sambas sudah terlanjur jatuh hati.
Bergabunglah Sambas, yang akrab disapa Daddy, ke Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung pada 1952. Dalam tulisannya, ”Sambas Mangundikarta; Reporter, Penyiar, Pembaca Berita, dan Penyayang Binatang” di majalah Monitor Radio & Televisi (No.14, 1-15 Maret 1981), Suyanto menyebutkan, tugasnya di RRI Bandung sebagai reporter merangkap penyiar dan pembawa berita.
Beberapa kali Sambas dipindahtugaskan. Pada 1954 hingga 1955, dia ditugaskan di RRI Samarinda. Lalu, pada 1956 hingga 1958, dia bekerja di RRI Cirebon. Baru pada 1959, dia memulai kariernya di RRI Jakarta. Saat sudah di Jakarta, Sambas pun melanjutkan studinya di Akademi Penerangan selama tiga tahun. Menurut Suyanto, Sambas pun pernah belajar programing dan production di Jepang.
Pada 1961, ketika kompetisi bulu tangkis Thomas Cup dihelat di Jakarta, Sambas merupakan salah seorang dari tiga reporter RRI yang ditugaskan untuk meliput perjuangan Tan Joe Hok dan kawan-kawan. Saat itu, Indonesia berhasil mempertahankan gelar kejuaraan bulu tangkis pria bergengsi itu. Selain Sambas, RRI menugaskan M.N. Supomo dan S. Handiman.
“Peristiwa bersejarah ini disiarkan melalui layar televisi [sic] dan radio. Dapat dipastikan, bahwa untuk peristiwa sepenting ini membutuhkan reporter yang tangguh,” tulis Suyanto.
Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games ke-IV pada 1962. Ketika itu, untuk kali pertama Televisi Republik Indonesia (TVRI) mengudara dari Senayan. Sambas pun bergabung dengan televisi plat merah itu. Dari sini, namanya semakin melambung sebagai reporter, penyiar, dan komentator olahraga.
Pencipta Lagu Daerah
Nama Sambas tercatat dalam buku Ensiklopedi Sunda (2000)terbitan Pustaka Jaya. Bukan tanpa alasan namanya ada di buku yang menghimpun tentang alam, manusia, dan budaya di Jawa Barat tersebut.
Sebelum tenar karena suaranya yang empuk, Sambas pernah menciptakan lagu berbahasa Sunda. Yang terkenal dan diingat orang adalah “Manuk Dadali” dan “Peuyeum Bandung.” “Manuk Dadali” dipopulerkan pesinden Upit Sarimanah. Sementara “Peuyeum Bandung” dibawakan penyanyi lagu-lagu Minang, Elly Kasim.
Pada 1960-an, lagu “Manuk Dadali” sangat tenar. Menurut Ed Zoelverdi dan Zakaria M. Passe, lagu itu selalu terdengar melalui acara pilihan pendengar RRI Jakarta. Di Bandung, lagu tersebut sangat fenomenal.
“Sedikitnya bisa ditandai bila tiap kesebelasan Persib hendak turun lapangan, 'Manuk Dadali' ditabuh sebagai pengiring,” tulis Ed Zoelverdi dan Zakaria M. Passe.
Selain jago menciptakan lagu, Sambas pun pernah mengadu peruntungan di dunia tarik suara. Dia ikut dalam kontes Bintang Radio Indonesia perdana pada 1951 dan 1952. Pengamat musik Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015)menulis, Bintang Radio dapat dianggap sebagai ajang kompetisi pertama yang muncul di Indonesia, untuk menjaring bakat-bakat seni suara. Ajang pencarian bakat ini digagas RRI, dan diselenggarakan pertama kali untuk memperingati Hari Radio pada 11 Desember 1951.
Hingga 1970-an, Sambas masih mengisi acara-acara di luar studio, seperti acara ulang tahun bank, peresmian perusahaan, hingga pesta pernikahan. Namun, dari segudang pengalamannya membawakan acara dan menjadi penyiar, ada pengalaman unik. Menurut Zoelverdi dan Zakaria, Sambas pernah membacakan nomor national lottery (nalo), ketika TVRI menayangkan program itu pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Nalo adalah produk Departemen Sosial. Muncul kali pertama pada 1968. Di kios-kios, atau penjualan resmi dan tidak resmi, nalo dijual. Hasil penjualannya dimanfaatkan pemerintah untuk pembangunan. Di lembarannya, terdapat nomor seri yang akan diundi sekali seminggu. Jika nomor seri dan nomor undian pas, si pemilik lembaran mendapatkan hadiah berupa uang.
Celaka bagi Sambas. Wajahnya yang mudah dikenali itu menjadi buruan para penggemar kode buntut.
“Waktu muncul di Bandung tak urung dia dibuntut oleh pencandu buntut. Kepadanya orang minta kode-buntut. Malangnya, kian dielakkan orang makin mendesak,” tulis Ed Zoelverdi dan Zakaria M. Passe.
Suara yang Menenangkan
Menikmati pertandingan olahraga, terutama sepak bola, bukan hanya menyaksikan dua tim adu kelihaian menggocek lawan, menggiring bola, dan menceploskan bola ke gawang. Komentator sangat berpengaruh memandu jalannya pertandingan. Tak hanya wawasan seputar laga yang dipandu, tapi juga suara yang enak didengar.
Satu hal yang menjadi ciri khas Valen: berisik. Dia membawakan pertandingan sepak bola layaknya komentator Amerika Latin atau penyiar radio yang penuh energi, bersemangat, dan kadangkala hiperbolis. Alih-alih menjadikan gayanya khas dan kekinian, rupanya tak sedikit yang terganggu dengan suara Valen. Mereka akhirnya memilih menyaksikan pertandingan dengan kondisi suara televisi mute.
Ini memang persoalan selera. Kadang ada yang suka kadang tidak. Meski begitu, Valen sudah menjadi ikon komentator kekinian. Sebuah revolusi di dunia jualan bacot yang sekarang mungkin tak ada yang menandingi ketenarannya. Meski banyak orang merindukan suara empuk macam Sambas.
Pembawa acara Charles Bonar Sirait pun mengakui kelebihan Sambas dibandingkan pembicara publik lain di masanya. Dalam bukunya, The Power of Public Speaking; Kiat Sukses Berbicara di Depan Publik (2007), Charles menulis, Sambas sangat khas. Menurut Charles, selain memiliki suara yang unik, cara Sambas membawa narasi membuatnya menonjol.
“Kenanglah struktur bahasanya, tutur katanya, penguasaannya dalam berbagai lini, serta permainan intonasi suaranya yang cantik ketika membawakan acara Dari Desa ke Desa, sangat Indonesia,” tulis Charles.
Meski terkadang membawakan acara olahraga lain, semisal tinju, Sambas terkenal membawakan acara pertandingan sepak bola dan bulu tangkis. Dalam Monitor Radio & Televisi disebutkan, kecintaan Sambas kepada dua olahraga itu sudah tumbuh dari kecil. Ayahnya pun pernah menjadi wasit sepak bola. Belakangan, Valen pun membawakan acara pertandingan bulu tangkis di ajang Asian Games 2018.
Pada 1977, Sambas tak lagi menjadi reporter. Dia banyak bekerja di belakang layar TVRI. Lantas, pada 1981 dia kembali aktif sebagai reporter acara dan peristiwa olahraga.
“(Reporter adalah) pekerjaan saya yang kekal,” kata Sambas dalam Monitor Radio & Televisi.
Pensiun dari TVRI pada 1982, setahun kemudian dia diminta kembali mengisi program acara Dari Desa ke Desa oleh Menteri Penerangan Harmoko. “Ia dianggap sukses membawakan acara Dari Desa ke Desa yang setiap minggu ditayangkan di TVRI,” tulis Tempo, 6 April 1999.
Dalam membawakan acara ini, Sambas memang terlihat komunikatif. Dia mampu berbincang secara asyik dengan narasumbernya, yang berprofesi sebagai petani atau peternak. Program ini sebenarnya merupakan propaganda pemerintah Orde Baru dalam menyampaikan aneka kebijakan di desa-desa. Misalnya saja, episode “Insiminasi Buatan yang Berhasil”.
Inseminasi merupakan sebuah teknik untuk membantu proses reproduksi dengan metode semprot sperma yang sudah diproses ke dalam rahim menggunakan kateter. Tujuannya membantu sel sperma menuju telur yang sudah matang, agar terjadi pembuahan. Di Indonesia, metode ini gencar dilakukan untuk mengembangbiakkan hewan ternak secara masif pada 1980-an.
Dalam episode “Insiminasi Buatan yang Berhasil”, Sambas mewawancarai seorang peternak bernama Kiswo di Desa Larangan, Brebes, Jawa Tengah.
“Waduh saya lihat Bapak memiliki kerbau gemuk-gemuk, ya,” kata Sambas setelah menjabat tangan Kiswo. Barisan kerbau menjadi latar belakang mereka.
“Katanya sekarang sudah ada kawin buatan, ya? Apa tuh? Kawin suntik katanya? Gemuk-gemuk. Nah coba ceritakan.”
Sambas adalah tipe pembicara publik yang langka. Suaranya kadang datar, kadang melengking, kadang diselipkan guyonan ringan. Meski tak hiperbolis, Sambas mampu mengobarkan emosi para pemirsa, terutama penonton sepak bola dan bulu tangkis. Terakhir kali suaranya yang “menenangkan kalbu” didengar pemirsa adalah di kejuaraan sepak bola Piala Eropa 1996.
Sambas wafat pada 30 Maret 1999. Menurut laporan Tempo, 6 April 1999, Sambas sempat dirawat di rumah sakit Pelni, Jakarta Pusat, lantaran menderita kanker paru-paru dan sesak napas. Dia lantas memilih dirawat di rumahnya, setelah dokter berusaha menyembuhkan penyakitnya yang semakin parah.
Editor: Ivan Aulia Ahsan