tirto.id - Anies Baswedan, bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) lagi-lagi menjadi sorotan publik. Kali ini dia menyampaikan bahwa air bersih lebih mahal dari bahan bakar minyak (BBM).
"Air kita lebih mahal dari BBM kita. Apa yang terjadi? Makin hari kita menganggap hal ini bukan masalah. Seakan-akan air bersih yang mahal itu kenyataan hidup," kata Anies dalam pidatonya di Bandung, Minggu (6/8/2023).
Gubernur DKI periode 2017-2022 itu berkomitmen untuk menangani masalah air bersih bila terpilih menjadi presiden dalam Pemilu 2024. Air bersih merupakan hak yang harus didapatkan rakyat.
"Kita harus mengembalikan air bersih itu betul-betul terjangkau oleh rakyat di mana pun berada. Infrastruktur mikro air bersih," ujarnya.
Tirto mencoba membandingkan tarif air bersih di DKI Jakarta era Gubernur Anies dengan harga BBM. Berdasarkan tarif air minum dari PAM Jaya: Untuk tarif terendah air PAM di perumahan kategori sederhana (Kelompok III A) sebesar Rp3.550 per meter kubik (m3) (Ppemakaian 0-3 m3). Sedangkan tarif tertinggi sebesar Rp5.500 (pemakaian lebih dari 20 m3).
Selain itu, Tirto juga membandingkan harga air bersih bagi warga yang tak memiliki akses langsung ke PAM Jaya. Dalam sehari, keluarga yang memiliki empat anak harus membeli delapan pikul air bersih. Satu pikul air bersih di agen dibanderol sebesar Rp3 ribu. Artinya, dalam sehari satu keluarga membutuhkan biaya Rp24 ribu untuk memperoleh air bersih.
Sementara itu, harga BBM dengan jenis Pertalite saat ini di DKI Jakarta sebesar Rp10.000 per liter. Sedangkan jenis Pertamax sebesar Rp12.400 per liter.
Jika dirinci dalam satuan, 1 kubik besarannya sama dengan 1.000 liter. Sedangkan satu pikul sama dengan 40 liter. Dengan penjelasan tersebut, tarif air bersih dari PAM Jaya masih lebih murah dibandingkan harga BBM. Namun, tarif BBM lebih murah dibandingkan harga air bersih dari agen untuk kebutuhan sehari.
Selain itu, selama era kepemimpinan Anies Baswedan di DKI, krisis air bersih terjadi di sejumlah daerah. Mayoritas melanda di wilayah Jakarta Utara.
Misalnya, di daerah Marunda Kepu, Jakarta Utara, Peristiwa itu terjadi pada akhir April 2022 ketika air bersih dipegang oleh pihak swasta AETRA. Warga terpaksa harus membeli air dari depan jalan raya yang jaraknya sekitar 1 kilometer. Total warga di daerah tersebut diperkirakan 300 KK.
"Warga masih banyak yang mengeluh karena yang dapat air hanya yang pakai Sanyo saja. Lalu di dataran tinggi tidak kebagian karena pipa tak bisa sedot air," kata Ketua RT. 08, Abdullah (41) di kawasan Marunda Kepu, Senin (28/11/2022). Masih pada kelurahan yang sama, Unit Pengelola Rumah Susun (Rusun) II Marunda juga mengalami krisis air bersih sejak tiga tahun lalu atau tahun 2020.
Tak jauh dari Marunda, daerah Rawa Badak Utara, Jakarta Utara juga mengalami krisis air bersih sejak tahun 2021. Bahkan mereka kesulitan untuk memandikan jenazah. Selain itu, daerah lainnya yang mengalami krisis air bersih seperti Muara Angke, Jakarta Utara sudah 40 tahun dan Penjaringan, Jakarta Utara.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta juga telah memetakan terdapat 15 kecamatan di Jakarta yang rawan krisis air bersih selama 2022. Untuk Jakarta Pusat; Kecamatan Menteng, Gambir, Kemayoran dan Tanah Abang.
Selanjutnya Jakarta Utara; Kecamatan Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading dan Penjaringan. Jakarta Selatan; Kecamatan Tebet, Pasar Minggu dan Setiabudi dan Jakarta Timur: Kecamatan Makasar, Pulogadung dan Cipayung.
Kebijakan Air Bersih Belum Berpihak ke Warga Miskin
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PSI DKI Jakarta Elva Farhi Qolbina menilai selama ini Anies Baswedan selama menjabat sebagai Gubernur DKI periode 2017-2022 belum melakukan pembenahan dalam penyediaan air bersih di Jakarta.
Temuan anggota DPRD DKI fraksi PSI, di beberapa Kecamatan di Jakarta Utara masih membayar mahal untuk air bersih.
"Warga miskin yang belum mendapatkan akses PAM harus membayar rata-rata Rp125.000 per meter kubik untuk membeli air bersih dari penjual keliling," kata Elva kepada Tirto, Senin (7/8/2023).
Kemudian dari sisi anggaran pun, ia menuturkan rata-rata selama Anies menjabat hanya menganggarkan Rp200 miliar per tahun.
"Tidak ada keberpihakan dari sisi anggaran dari Pak Anies untuk membenahi masalah air bersih bagi warga Jakarta," ucapnya.
Selain itu, di era Gubernur Jakarta Anies juga cakupan air bersih mandek di 65 persen, jauh dari target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yaitu sebesar 79 persen.
Anies juga memberikan pengelolaan air bersih ke swasta selama 25 tahun ke depan dengan PT Moya Indonesia.
"Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Jatiluhur yang diprediksi melayani 2 juta penduduk juga mandek di era Anies karena dia tidak mau bikin pipa distribusinya," klaimnya.
Sementara itu, Pengkampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah mencatat sejumlah hal yang dikritisi perihal air bersih saat era Gubernur Anies.
Seperti terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 16 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyambungan dan Pemakaian Air Minum. Menurutnya, Pergub 2016/2020 diskriminatif karena warga yang tak memiliki lahan tidak bisa mengakses air PDAM sebagaimana umumnya melalui pipa langsung.
"Padahal kan air itu hak dasar yang dijamin undang-undang. Jadi tidak bisa diskriminasi begitu," kata Aminullah kepada Tirto, Senin (7/8/2023).
Sebagai gantinya, warga yang tak memiliki lahan disediakan master meter, kios air, dan sebagainya yang sifatnya tidak langsung. Sistem tersebut di lapangan ternyata menimbulkan masalah. Selain suka mati, harganya juga jadi mahal dan tidak terkendali.
"Master meter misalnya, ada penyelewengan dan menyebabkan monopoli air. Harganya dibuat mahal oleh pihak-pihak yang memonopoli air di beberapa kawasan Jakarta Utara," ujarnya.
Ia menuturkan sebenarnya pengelolaan air bersih di Jakarta sama saja baik era Gubernur Anies Baswedan maupun gubernur sebelumnya. Sebab, pengelolaan air Jakarta dengan sistem swastanisasi dimulai sejak 1997 ketika PAM menyerahkan pengelolaan air dengan pihak swasta yakni PT. Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise (Palyja).
Kontrak swastanisasi air sebenarnya sudah berakhir sejak tahun 2022. Namun di akhir kepemimpinannya, Anies kembali melakukan kerja sama mengelola air bersih dengan pihak swasta yakni PT. Moya Indonesia.
Padahal Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA nomor 31 K/Pdt/2017 perkara perdata dalam tingkat kasasi menyatakan sudah melarang melakukan swastanisasi air di Jakarta.
"Swastanisasi itu yang jadi menjadi salah satu akar masalah ketidakmerataan penyediaan air bersih," pungkasnya.
PAM Klaim Telah Lakukan Penanganan
Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya mengatakan telah melakukan penanganan air bersih di sejumlah daerah. Misalnya, PAM Jaya telah membuat reservoir komunal untuk menangani krisis air yang terjadi Rawa Badak Utara dan Marunda.
Reservoir komunal yang dimaksud yaitu tempat penampungan air bersih, pada sistem penyediaan air bersih yang melayani suatu kota.
"Saya juga berencana ada reservoir komunal lagi karena cukup lama mereka jangan sama menderita, ada pipa tapi enggak airnya," kata Direktur PAM Jaya Arief Nasruddin di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Selasa (13/6/2023).
Kemudian PAM Jaya juga menargetkan SPAM mencapai 100 persen pada 2030. Dengan jumlah pelanggan 2.006.167, tambahan kapasitas produksi 10.900 lpd, dan total panjang pipa 16.227 kilometer.
Dirinya mengklaim bahwa PAM Jaya hadir bukan hanya melihat aspek ekonomi saja, tetapi juga melakukan penanganan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
"Jadi ada pola-pola yang menanggulangi tentang bagaimana pola kerja air. Kalau air dari pipa, pipa bocor, lalu dibuatkan penampungan," tuturnya.
Arief juga mengatakan kerjasama dengan PT Moya Indonesia berbeda dengan kerja sama sebelumnya dengan Aetra dan Palyja.
Dia menegaskan, kerja sama ini bukanlah privatisasi, sebab kendali masih dilakukan secara penuh oleh PAM Jaya. Bahkan, PAM Jaya memiliki hak untuk menghentikan kerja sama apabila diperlukan.
“Kerja sama yang berbeda ini tentu saja menuntut peran yang lebih besar dari PAM Jaya di sisi operasional dan layanan kepada pelanggan," kata Arif akhir Oktober 2022.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Reja Hidayat