tirto.id - Belum sempat turun dari sepeda motor yang dikendarai Ayahnya, Alya (8 tahun) sudah tak sabar ingin melihat lumba-lumba di Pentas Lumba-Lumba & Aneka Satwa di Grand Depok City, Kota Kembang, Depok, pada pertengahan November lalu.
“Mana lumba-lumbanya? Kok enggak ada,” celetuknya polos.
“Itu di dalam,” jawab Yuli Setiawati (35 tahun), Ibunda Alya, sambil menunjuk sebuah bangunan persegi semipermanen yang terbuat dari lembaran triplek kayu dan terpal seadanya.
Keluarga kecil yang tinggal di Pondok Rajeg Depok itu menembus hujan yang mengguyur deras sejak sore pada Minggu (8/11/2018). Dengan mantel anti air sederhana, mereka seperti tak kenal kata kuyup.
“Tadinya mau ke sini sore. Tapi Ayahnya baru pulang narik,” ujar Yuli.
Suasana sore itu terbilang sepi. Saya melihat keluarga Yuli adalah pengunjung satu-satunya yang akan menyaksikan pertunjukkan pada jam terakhir, yakni pukul 19.30.
Selain keluarga Yuli, hanya ada sepuluh pegawai PT. Wersut Seguni Indonesia, selaku penyelenggara, yang asyik dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang makan mie instan, main gawai, termenung, dan mengobrol dengan sesama pegawai. Sisanya beberapa pedagang dan saya.
Tiga hari lagi pentas lumba-lumba akan berakhir. Sementara Yuli takut berhalangan hadir kalau sampai menunda besok. Maka setelah suaminya pulang kerja, ia sempatkan memboyong keluarganya.
“Mumpung dekat dari rumah, Mas. Bela-belain deh. Daripada harus ke laut, kan jauh,” ujar wanita berkerudung itu.
Yuli ingin memperkenalkan lumba-lumba pada buah hatinya. Selama ini, Yuli hanya memperlihatkan lumba-lumba kepada anaknya dalam bentuk tontonan di Youtube. Kehadiran PT. Wersut Seguni Indonesia malam itu serupa berkah edukasi satwa bagi anaknya.
“Kamu saja yang masuk sama Alya, aku nunggu di luar” ujar suaminya.
Yuli menuju loket penjualan tiket yang berjajar tiga, ia memilih loket yang tengah. Seorang wanita muda, penjaga loket itu, yang sedari tadi terlihat ketakutan mendengar suara petir, mendadak berseri menyambut Yuli. Sementara Alya sibuk sendiri, matanya menjelajah ke perbagai sudut. Ada ragam wahana seperti kereta mini, kano mini, dan trampolin. Tapi Alya mantap untuk menonton pertunjukkan lumba-lumba.
Keluarga kecil itu duduk di bangku panjang yang berada di area tengah. Dua buah tiket seharga Rp40 ribu sudah di tangan. Namun, mereka masih harus menunggu beberapa menit lagi untuk melihat aksi lumba-lumba. Rupanya karyawan yang bertugas masih dipusingkan oleh hal teknis akibat hujan lebat beberapa waktu sebelumnya.
Area Pentas Lumba-lumba & Aneka Satwa di Kota Kembang, Depok, berada di atas lahan tanah merah. Hujan lebat beserta angin dan petir yang datang sedari sore, membuat kondisi menjadi becek. Hal ini membuat pengunjung sepi dan beberapa pegawai tampak lebih santai, kecuali Rohmadi (40 tahun), yang terlihat mondar-mandir menenteng map berwarna.
Ia biasa dipanggil Romi. Sudah 10 tahun bekerja di PT. Wersut Seguni Indonesia. Karirnya dimulai dari penjaga tiket hingga sekarang sebagai Koordinator Lapangan.
Menurut Romi, PT. Wersut Seguni Indonesia mulanya didirikan oleh Denny Charso sebagai lembaga konservasi satwa dan tumbuhan, serta bergerak dalam penangkaran lumba-lumba. Seiring berjalannya waktu, melalui The Sea Pantai Cahaya, PT. Wersut Seguni Indonesia beralih ke ranah objek wisata. Lokasi mereka di Kendal, Jawa Tengah. Kemudian PT. Wersut Seguni Indonesia juga menggerakkan bisnis lainnya, yakni Pentas Lumba-Lumba dan Aneka Satwa Keliling.
Pentas Lumba-Lumba & Aneka Satwa menyajikan tontonan dalam empat sesi waktu, yakni 10.30, 15.00, 16.30, dan 19.30. Masing-masing sesi terdiri dari 60 menit. Dalam durasi itu, penonton disuguhkan atraksi lumba-lumba, burung kakaktua, beruang madu, dan linsang.
Total PT. Wersut Seguni Indonesia memiliki 20 lumba-lumba, beberapa di antaranya berada di penangkaran mereka yang berada di Kendal, Jawa Tengah. Sementara untuk pertunjukan keliling, dalam satu pentas, PT. Wersut Seguni Indonesia membawa sepasang lumba-lumba.
“Karena tidak mungkin kita bawa terpisah. Lumba-lumba itu kan berkelompok," ujarnya.
Tahun 2018 menjadi kali kedua PT. Wersut Seguni Indonesia menggelar pertunjukkan di Depok, debut mereka dimulai pada 2015. Mereka mengadakan pertunjukan sebulan lebih, dari 5 Oktober hingga 11 November 2018. Sebelumnya, mereka menggelar pertunjukkan di Subang. Untuk sementara, Pentas Lumba-Lumba & Aneka Satwa hanya digelar di Jawa dan Sumatera.
Dikritik Karena Dianggap Tak Mendidik
Marison Guciano, pendiri Yayasan Masyarakat Kesejahteraan Satwa Indonesia mengatakan bahwa poin edukasi dalam sirkus lumba-lumba hanyalah kamuflase. “Untuk menyembunyikan kekejaman yang sedang berlangsung. Kami tegas menyebut itu eksploitasi, pelecehan, dan kekejaman,” katanya kepada Tirto.
Menurut Marison, sirkus lumba-lumba adalah pertunjukan penyiksaan terhadap hewan. “Lumba-lumba itu tidak diperlakukan semestinya. Mereka dilepaskan dari habitatnya, dipaksa melompat demi seekor ikan dan membuat penonton tertawa.”
Apabila benar mau memberikan edukasi satwa, Marison memberi contoh seharusnya lumba-lumba tidak dibawa ke darat. Dia merujuk pada wisata edukasi di Pantai Lovina Bali dan Pesona Kiluan Lampung, jika ingin mempelajari lumba-lumba secara alami. “Jadi saya rasa [sirkus lumba-lumba] murni demi kepentingan ekonomi,” tegasnya.
Marison juga menyayangkan ketidaktegasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dalam menghentikan sirkus lumba-lumba. Keluarnya surat Dirjen PHKA No. S. 388/IV-KKH/2013 pada 19 Agustus 2013, tidak menunjukan bahwa sirkus lumba-lumba akan dihentikan. “Menurut saya surat itu terbit hanya untuk meredakan protes dari teman-teman aktivis saat itu,” ujarnya.
Namun Romi meyakini apa yang perusahaannnya lakukan, selain hiburan, juga untuk mengedukasi masyarakat tentang satwa, khususnya lumba-lumba. Ia mengacu pada poin ke-3 dan ke-4 dalam Azas Manfaat Peragaan Lumba-Lumba dan Aneka Satwa yang tertulis dalam laman resmi PT. Wersut Seguni Indonesia yang tertulis: (3) Merupakan sarana pendidikan; dan (4) Turut serta mencerdaskan bangsa.
“Untuk memotivasi agar anak-anak lebih mencintai satwa-satwa. Untuk mengenalkan lumba-lumba yang ada di laut. Kalau lumba-lumba itu pintar. Ada berita yang disiksa, ya kalau di sini tidak. Jadi kami tidak menyiksa satwa,” ujarnya.
“Saya berpikirnya positif saja. Setiap kritikan, kita terima. Yang penting mereka bisa kasih solusi. Jadi sifatnya membangun,” ujarnya pada saya.
Ia menambahkan bahwa lumba-lumba yang dimiliki perusahaan tempat ia bekerja ditangani secara serius dan layak.
“Perawatan kita buat senyamannya. Dengan memperhatikan kesehatan dan kelayakannya. Membuat lumba-lumba merasa tidak terancam,” ucapnya.
Dalam pelatihan maupun pertunjukkan, imbuhnya, mereka tidak memaksa lumba-lumba untuk bergerak sesuai keinginan manusia.
“Mau geraknya kemana, ya ikuti. Tidak boleh dipaksakan. Apalagi kalau untuk atraksi. Kita tidak bisa memaksakan,” katanya.
Obrolan saya dan Romi terhenti karena ia harus mengantarkan tamunya yang hendak pulang. Saya menyaksikan Romi memayungi tiga orang secara bergiliran, masuk ke mobil Avanza putih berplat polisi F. Salah satu dari ketiga orang itu terlihat menggunakan kaos berlogo Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
“Ada pemeriksaan satwa,” pungkasnya setelah para tamu pergi.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Irfan Teguh