tirto.id - Dalam industri retail fesyen kelas atas, barang yang laris kerap kali bukan busana melainkan aksesori atau produk kecantikan seperti kosmetik dan parfum. Salah satu contohnya adalah parfum Chanel yang disebut-sebut Business of Fashion telah menyumbangkan pemasukan terbesar untuk Chanel.
Awalnya, bisnis wewangian rumah mode besar didesain untuk mendongkrak pendapatan perusahaan. Seiring waktu, sejumlah korporasi retail fesyen semakin menyeriusi lini bisnis parfum setelah melihat besarnya potensi keuntungan. Tiap label fesyen premium di Barat hampir bisa dipastikan mengeluarkan produk parfum.
Louis Vuitton yang tadinya tidak tergoda untuk berbisnis parfum pun akhirnya merilis beberapa varian parfum pada pertengahan 2010-an. Dalam setahun terakhir ini LV cukup gencar mempromosikan koleksi-koleksi baru yang dibuat oleh seorang ahli parfum tersohor Paris. Sang pakar dikabarkan sudah berpengalaman membuat koleksi parfum untuk berbagai rumah mode mulai dari Dior, Yves Saint Laurent, Givenchy, dan Issey Miyake.
Untuk memproduksi parfum, ada kalanya pemilik retail fesyen bekerjasama dengan perusahaan retail kecantikan. Salah satu yang besar dan tertua (sejak 1904) adalah Coty. Financial Times menyebut pada 2018 Coty menaungi 77 produk parfum--Gucci, Calvin Klein, Balenciaga, Burberry, Dolce & Gabbana, Chloe, Marc Jacob, Stella McCartney, Miu Miu, Alexander McQueen, Tiffany & Co--kosmetik, dan perawatan rambut untuk kalangan menengah atas.
Kini Coty berbasis di AS sehingga kadang dikira perusahaan asli Paman Sam. Tapi, pendiri Coty adalah François Coty asal Corsica.
Pada April 1930, jurnalis New Yorker Janet Flanner, menulis profil Coty. Ia menyebut Coty "sosok misterius" karena tidak banyak orang mengetahui latar belakangnya. Coty disebut-sebut punya hubungan dengan Napoleon Bonaparte. Tapi tidak ada yang memastikan bentuk hubungan dekat itu, entah masih sedarah atau sekadar sekampung di Corsica.
Laporan Flanner tidak hanya menyebut Coty sebagai pembikin perfum jempolan tetapi juga penyair dan penerbit media massa. Coty tinggal di sebuah hotel yang sepi di kawasan Champs Elysees--wajar, ia sempat jadi pria terkaya di Paris. Ia jarang tampil di depan umum dan tidak menyukai kegiatan kumpul-kumpul atau bersosialisasi.
Revolusi dalam Bisnis Parfum
Coty memang bukan pebisnis parfum pertama di Paris dan juga bukan produsen parfum terbesar di kota itu. Menurut Flanner, selain karena bakat dalam menciptakan aroma wewangian, Coty tersohor karena kreatif menciptakan kemasan minyak wangi, lewat kolaborasi dengan seniman keramik, misalnya. Di samping itu, Coty berani membuat parfum yang aromanya berasal dari fauna.
Ia juga membuka perkebunan sendiri di Perancis dan Italia untuk menanam pohon jeruk dan melati. Bunga dari dua tumbuhan itu jadi komponen utama sebagian besar parfum saat itu hingga hari ini.
“Coty mengubah presentasi dan aspek psikologi parfum,” tulis Flanner yang juga beranggapan bahwa Coty membuat benda ini sebagai barang mewah yang memang betul-betul dibutuhkan publik.
Sejarawan Geoffery Jones dalam “Scent and Paris” yang terbit dalam Beauty Imagined (2010) menyebut Coty sebagai ahli parfum pertama di Perancis yang menciptakan four notes (perubahan aroma parfum seiring waktu) dan memadukan aroma flora dan fauna (musk) dalam satu varian parfum.
Coty juga dianggap melakukan terobosan karena menggunakan salesman untuk memasarkan produk dan menjalin kerjasama dengan para pebisnis retail.
Karena memiliki uang banyak, Coty pun membuka butik di kawasan elit Place Vendome dan menata etalase dengan berbagai produk seperti bedak beraroma, krim, dan bahkan alat tulis menulis seperti kertas. “Dia jadi pionir dari sisi branding berbagai produk beraroma,” tulis Jones.
Ketika usaha penjualan parfum mulai terlihat laris, Coty mendirikan pabrik pembuatan botol kaca dan menciptakan produk kosmetik seperti bedak wajah dan lipstik.
Barang dagangan Coty jadi semakin laris karena pada abad ke-19, perempuan kelas atas di Perancis gemar menggunakan parfum dan menyemprotkannya ke busana dan saputangan.
Idenya membuat parfum dari fauna juga membuat bisnis Coty makin laris karena menggaet pasar yang lebih besar yakni perempuan kelas menengah di Perancis yang biasanya tidak mampu membeli parfum beraroma flora.
Menurut studi "French Perfume in Nineteenth Century" (2011) karya Eugénie Briot, asisten profesor Université Paris-Est–Marne-la-Vallée, abad ke-19 adalah masa ketika industri parfum sedang bertumbuh pesat di Paris. Pada masa itu parfum mulai jadi konsumsi publik dan lazim disemprotkan pada material linen yang kemudian diolah menjadi sprei, sarung bantal, atau busana.
Perubahan fungsi parfum ini terjadi setelah masa Revolusi Perancis. Sebelum revolusi, parfum digunakan sebagai pengharum ruangan kantor-kantor pemerintahan. Ide awalnya muncul dari Louis XIV si pecinta kemewahan. Ia memerintahkan kepada bawahan-bawahannya untuk memastikan agar ruangan dan segala perabotnya berbau harum.
Ini membuat bisnis pembuatan parfum muncul di Perancis dan kelak membuat negara itu identik dengan parfum--di samping fesyen, tentunya. Padahal awalnya sentra produksi parfum adalah Italia.
Di samping itu keberadaan pameran kelas dunia pada abad ke-19 membuat parfum-parfum dari Perancis mengglobal.
Pameran dan produsen parfum yang bertambah ini juga menyebabkan munculnya iklan-iklan produk parfum yang dicetak dalam kertas wangi berbentuk brosur. Desainnya ada kalanya disesuaikan dengan era. Misal ketika art nouveau sedang marak pada akhir abad ke-19, maka iklan-iklan parfum itu didesain dengan gaya lukisan Gustav Klimt.
Metode promosi pada abad selanjutnya adalah model tester parfum dalam botol kecil yang dibagikan pada pelanggan yang di butik parfum elite. Menurut Briot, kemajuan di bidang transportasi di Paris dan Eropa secara umum membuat industri parfum semakin menggeliat.
“Sekarang parfum mengingatkan laki-laki dan perempuan atas peran yang mereka punya di dunia ini,” tutur Jones.
Kesan terhadap parfum membuat nama Coty bertahan meski ia bukan orang yang disukai oleh para pesaingnya. Para pendahulu Coty seperti Guerlain, Houbigant, dan Piver yang termasuk pionir dalam bisnis parfum, tidak pernah memperkenankan Coty untuk masuk asosiasi perfurmer Perancis. Tak jelas apa yang jadi alasannya.
Editor: Windu Jusuf