tirto.id - Dalam beberapa bulan terakhir, Korea Selatan menyedot perhatian masyarakat global. Sejumlah isu besar bermunculan dari Negara Ginseng itu, dimulai dari skandal Galaxy Note 7 yang menerpa raksasa elektronik Samsung, hingga bubarnya salah satu girlband besutan YG Entertainment paling berpengaruh di dunia, 2NE1. Terakhir, yang paling krusial, adalah skandal korupsi yang menyentuh sang Presiden, Park Geun-hye.
Skandal tersebut memicu gelombang besar protes terhadap Presiden Park, menuntutnya turun dari jabatannya sebagai presiden. Sejumlah demonstrasi berhasil digelar, namun secara masif baru mulai gencar dilakukan sejak tanggal 12 November.
Berdasarkan laporan Internasional Business Times, Korean Confederation of Trade Unions, penyelenggara aksi protes, mengklaim 550 ribu orang ikut dalam aksi itu, sementara polisi memperkirakan terdapat sekitar 250 ribu orang yang terlibat.
Aksi itu kembali berulang Sabtu pekan lalu. Sekitar 1,5 juta orang berkumpul di Seoul berdasarkan klaim penyelenggara aksi. "Penjarakan Park Geun-hye!" pekik sejumlah demonstran ketika mereka berbaris menuju gedung kepresidenan Blue House, seperti dikutip dari The New York Times. "Keluar dan menyerahlah!" teriak yang lain.
Bagi masyarakat Korea Selatan yang terbiasa untuk menyelenggarakan aksi protes di akhir pekan, Sabtu itu adalah aksi serupa ke-5 yang dilakukan secara berturut-turut. Ini adalah aksi protes terbesar yang pernah diselenggarakan di negara tersebut.
Setelah beberapa kali mengelak dari tuntutan tersebut dan mencoba meredam protes massal melalui dua kali permintan maaf, Park pun akhirnya mengeluarkan manuver terakhirnya pada Selasa (29/11/2016) kemarin. Ia mengatakan berniat untuk mengundurkan diri sebelum akhir masa jabatannya pada Februari 2018.
"Saya menyerahkan segalanya sekarang," sahutnya dalam video berdurasi lima menit yang ditayangkan oleh televisi, sembari kembali meminta maaf kepada publik atas situasi yang terjadi saat ini.
Meski demikian, Park tidak memberikan tanggal pasti kapan dia akan mengundurkan diri dan menyerahkan putusan tersebut kepada Majelis Nasional. Park juga menegaskan bahwa ia sama sekali tidak melakukan kesalahan hukum apapun dalam hal ini.
"Jika partai yang berkuasa dan oposisi memberitahu saya tentang cara untuk meminimalkan kebingungan dan vakumnya urusan negara dan memastikan transfer kekuasaan yang stabil," katanya, "Saya akan mengundurkan diri sebagai presiden sesuai dengan jadwal dan prosedur hukum."
Pernyataan ini kemudian membuat parlemen yang tadinya sudah sepakat bulat untuk melakukan pemakzulan pada sang Presiden wanita pertama Korsel tersebut menjadi terbelah. Tiga partai oposisi – Partai Demokrat Korea (Partai Minjoo), Partai Rakyat dan Partai Keadilan – tetap akan mengusahakan pemakzulan terhadap Park.
Sementara itu, sejumlah anggota parlemen dari partai Park, Saenuri, yang sebelumnya sepakat mendukung pemakzulan, mengatakan mereka akan membiarkan Park untuk turun dengan sendirinya paling lambat April tahun depan, sehingga pemilihan umum dapat dilakukan di bulan Juni. Hal ini dikatakan oleh pemimpin partai Kim Moo-sung setelah ia bertemu dengan pemimpin Partai Demokrat Choo Mi-ae.
Langkah Park yang mengatakan akan mengundurkan diri namun tidak menyebut tanggal yang pasti dinilai oleh pihak oposisi sebagai sebuah upaya untuk memecah upaya pemakzulan. "Apa yang ia tawarkan itu seperti siswa yang akan dikeluarkan dari sekolah akibat melanggar peraturan namun meminta kelulusannya dipercepat," kata Pemimpin Partai Keadilan Sim Sang-jung di akun Twitternya, Kamis.
Sebagai catatan, sebelum Park mengeluarkan pernyataan itu, upaya pemakzulan sesungguhnya sudah sangat dekat sebab partai oposisi telah berhasil meyakinkan sejumlah anggota parlemen dari Partai Saenuri, cukup untuk melakukan pemungutan suara pemakzulan Park.
Tiga partai oposisi saat ini menduduki 165 kursi dari 300 kursi parlemen dan dapat menginisiasi mosi pemakzulan. Mereka membutuhkan setidaknya 28 suara dari Partai Saenuri untuk meloloskan upaya pemakzulan tersebut. Jika pemungutan suara sukses, hasilnya akan ditinjau oleh Mahkamah Konstitusi Korea yang dapat memakan waktu hingga 180 hari.
Perlu diketahui, pemilihan presiden di Korea Selatan tahun 2017 mendatang dijadwalkan berlangsung pada bulan Desember.
Skandal yang Memalukan
Kesialan Park berawal ketika media lokal melaporkan dugaan bahwa Choi Soon-sil, seorang warga biasa tanpa izin keamanan ataupun akses terhadap pemerintahan, telah mengedit sejumlah pidato kepresidenan Park.
Pemerintah Korea Selatan menyangkalnya. Namun, saluran televisi JTBC pada Oktober lalu kemudian menegaskan kembali tuduhan itu setelah mereka melaporkan memperoleh komputer tablet milik Choi yang telah dibuang. JTBC menemukan 44 berkas berupa draf pidato dan pernyataan lainnya yang diberikan oleh Park sejak menjadi kandidat presiden hingga ia menjadi presiden, pada periode 2012 hingga 2014.
Di antara berkas pidato tersebut terdapat naskah pidato yang disampaikan oleh Park di Dresden, Jerman, tahun 2014. Pidato tersebut merupakan salah satu pidato pernyataan kebijakan Park yang paling penting sebab berisikan tentang visinya mengenai reunifikasi dengan Korea Utara.
Bola panas kemudian terus bergulir hingga akhirnya sejumlah jaksa menggeledah rumah Choi beserta sejumlah rekanannya, dan kantor dua yayasan yang dikelola Choi, terkait dugaan bahwa ia menggunakan hubungannya dengan Park untuk memeras sejumlah perusahaan besar di Korea untuk menyumbang ke yayasannya. Nilai pemerasan itu mencapai $69 juta. Choi bahkan diduga menggunakan sebagian dari dana tersebut untuk membayar berkuda anaknya di Jerman.
Park juga mengakui bahwa ia memang telah membiarkan Choi mengedit sejumlah naskah pidato pentingnya di hadapan publik melalui layar kaca pada Oktober.
Rumor mengenai hubungan Choi dan Park sesungguhnya telah beredar lama sejak tahun 2007 ketika sebuah pesan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat yang menceritakan rumor mengenai hubungan Park dengan ayah Choi, Choi Tae-min, bocor ke publik lewat WikiLeaks.
Sebagai catatan, KCIA (nama kantor intelejen Korsel yang lama) menyebut Choi Tae-min sebagai "pastor palsu." Ia membantu Park menjalankan grup voluntir pro pemerintahan bernama Gerakan untuk Pemikiran Baru, di mana anaknya Choi Soon-sil menjadi pemimpin muda dalam grup tersebut.
Meski sempat dituduh terlibat korupsi oleh KCIA, Choi Tae-min tidak pernah dituntut dengan tindak kejahatan terkait tuduhan tersebut. Park sendiri mengatakan bahwa ayahnya, Park Chung-hee, yang merupakan diktator Korsel pernah menanyai langsung kepada Choi Tae-min terkait tuduhan itu, namun tidak menemukan adanya kesalahan padanya.
Seperti dilaporkan oleh The New York Times, dalam sebuah wawancara pada tahun 2007, Park bahkan menyebut Choi Tae-min sebagai seorang patriot dan ia berterima kasih atas konsultasi dan dukungan yang diberikan olehnya ketika ia melewati “masa-masa sulit."
Ketika Choi Tae-min meninggal dunia pada tahun 1994, sang anak Choi Soon-sil kemudian juga menjalin hubungan yang kuat dengan Park. Baik Choe Tae-min maupun Choi Soon-sil kemudian sering diperbandingkan oleh media dengan figur Rasputin terkait peran mereka dalam pemerintahan.
Park sendiri mendeskripsikan Choi Soon-sil sebagai teman lama yang mendampinginya selama periode sulit seperti tahun-tahun ketika ayah dan ibunya dibunuh.
Skandal ini jelas merusak kesempatan Partai Saenuri untuk mempersiapkan diri menghadapi pemilihan umum tahun depan. Berdasarkan poling yang dilakukan oleh Gallop Korea Jumat pekan lalu, tingkat kesetujuan (approval rating) Presiden Park turun menjadi 4 persen, yang terendah sejak presiden Korsel dipilih secara demokratis.
Seiring dengan tawaran undur diri Park, Saenuri jelas berkepentingan untuk menunda pengunduran diri tersebut terjadi jika masih ingin bermain dalam pemilu di Korsel. Hukum di negara tersebut mengatur bahwa pemilu harus dilakukan 60 hari setelah presiden mengundurkan diri dari jabatannya. Para pengamat mengatakan, jika Park mengundurkan diri sekarang, Saenuri tidak memiliki cukup waktu untuk memulihkan approval rating yang jatuh serta mencari kandidat presiden yang sesuai.
Di sisi lain, sejumlah tokoh alternatif dari partai oposisi dan pihak lain juga sudah mulai bermunculan sebagai kandidat pengganti Presiden Park seiring dengan kejatuhan citranya. Nikkei Asian Review melaporkan, berdasarkan survei opini oleh Real Meter yang dipublikasikan Senin lalu, setidaknya terdapat tiga kandidat potensial yang populer.
Yang pertama adalah Moon Jae-in mantan ketua Partai Demokrat, partai oposisi terbesar di Korsel dengan perolehan popularitas sebesar 21 persen. Kemudian ada Sekretaris Jenderal PBB yang akan turun jabatan tahun depan Ban Ki-moon dengan perolehan popularitas sebesar 17,7 persen. Dan di peringkat ketiga terdapat Lee Jae-myung, Walikota Seongnam, provinsi Gyeonggi, yang disebut sebagai Donald Trump dari Korsel.
Akan menarik kemudian jika melihat dinamika politik yang terjadi di negara ini dengan nama-nama tersebut. Namun satu hal yang pasti, mengingat besarnya tuntutan publik, hanya tinggal menunggu masyarakat Korsel mengucapkan selamat tinggal dini pada Park Gyun-he, sekeras apapun usahanya dan Partai Saenuri mengatasi skandal ini.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Zen RS