Menuju konten utama

Babad Musik Elektronik Indonesia

Cerita panjang musik elektronik hingga akhirnya bisa menjadi bagian dari arus utama musik Indonesia.

Babad Musik Elektronik Indonesia
Panggung Electric Dance Musik (EDM) di Djakarta Warehouse Project. FOTO/Doc.DWP

tirto.id - Di laman situs belanja online itu terpampang wajah leak, melotot, gigi taring mencuat keluar. Kesan horor sedikit berkurang karena warna-warni ceria yang mengelilingi wajah. Di sebelah kanannya ada kotak bertuliskan: Dreamfields Party Week At Sky Garden. Di bawahnya ada tulisan besar, Dreamfields Festival.

Yang menggoda adalah bagan besar di samping poster, bertuliskan Tickets Now Available 0% Installment. Penawaran ini tentu solusi paling apik bagi mereka yang ingin berpesta tapi tak ingin sengsara karena dompet mengering sejak pertengahan bulan.

Dreamfields adalah salah satu festival musik elektronik terbesar di dunia. Aktor di balik layar festival ini adalah Matrixx, sebuah event organizer (EO) yang bermarkas di Belanda. Pertama kali mereka membuat Dreamfields pada 2011 di negaranya sendiri. Dan berhasil dengan sangat sukses.

Festival ini terus berlanjut hingga sekarang. Bahkan pada 2014, Matrixx mengekspor Dreamfields ke Bali. Pada perhelatan pertamanya di Indonesia, semua tiket terjual habis. Diperkirakan jumlah penonton mencapai 12 ribu orang. Dalam Dreamfields Indonesia 2015, sebuah situs belanja online menawarkan pembelian tiket dengan sistem mencicil, tanpa bunga.

Dreamfields bukan satu-satunya festival musik elektronik di Indonesia. Ada nama lain yang lebih besar, juga lebih tua, yaitu Djakarta Warehouse Project yang sudah diadakan sejak 2008. Festival ini bahkan bisa mengundang nama-nama besar di jagat musik elektronik, seperti Armin van Buuren, Andrew Rayel, DJ Snake, dan David Guetta.

Semua Berawal dari Slamet Abdul Sjukur

Genre musik elektronik kini bisa dikatakan sebagai bagian dari arus utama industri musik Indonesia. Kondisi ini sebenarnya cukup mengejutkan. Riri Mestica, salah satu DJ generasi awal di Indonesia, mengatakan bahkan pada 2000-an, saat ia mulai menggarap album perdananya, nyaris tak ada produser yang paham musik elektronik. Sekitar satu dasawarsa kemudian, genre ini sudah menjadi populer. Terhitung cepat.

Meski begitu, sejarah musik elektronik di Indonesia punya riwayat yang panjang. Thom Holmes dalam buku Electronic and Experimental Music: Technology, Music, and Culture (edisi ke V), menyebutkan bahwa jejak awal musik elektronik di Indonesia bisa ditengok pada 1963. Saat itu Slamet Abdul Sjukur merilis Latigrak, komposisi musik balet yang dipadukan dengan gamelan. Pementasan itu berlokasi di Paris, kota tempat Sjukur berproses bersama GRM (Groupe de Recherche Musicale) yang didirikan oleh musisi eksperimental Pierre Schaeffer. Sjukur baru menulis komposisi elektronik keduanya pada 1984, berjudul Astral.

Sjukur kala itu menggarap komposisi musik elektronik Latigrak di studio milik kelompok yang didirikan Schaeffer di Paris. "Sjukur adalah musisi Indonesia pertama yang mencebur dalam musik elektronik, bahkan sebelum synthesizer dikenalkan di Indonesia," tulis Holmes.

Sejarah musik elektronik di Indonesia juga bisa dilihat dalam artikel Bob Gluck yang pertama kali terbit di The Electronic Music Foundation Institute pada 2006 silam. Menurut Gluck, setelah Sjukur, era musik elektronik di Indonesia masuk pada gelombang kedua yang berlangsung di dekade 1970-an. Saat itu, cukup banyak musisi Indonesia yang membuat album musik elektronik. Salah satu faktor pendorongnya adalah alat musik elektronik semisal synth yang semakin mudah untuk diakses.

Beberapa album elektronik yang disebutkan Gluck adalah Batas Echo (1978) yang dibuat oleh Harry Roesli, Saluang Pekan Komponis I (1979) ciptaan Otto Sidharta, dan Dilarang Bertepuk Tangan di Dalam Toilet dari Sapto Raharjo yang dirilis pada 1980. Otto Sidharta dan Sapto Rahardjo bisa dibilang adalah wakil dari gelombang ketiga yang tumbuh di era 1980-an.

Menurut Thom Holmes, perkembangan musik elektronik di Indonesia amat menarik. Sebab musisinya tak sekadar bermain di ranah elektronik. Musisi Indonesia banyak yang mengombinasikan notasi musik dan instrumen tradisional. Hasilnya tentu saja komposisi yang nyaris tiada dua.

"Salah satu ciri penggabungan ini adalah penggunaan nada pentatonik yang lekat dengan gamelan," tulis Holmes.

Memang musisi elektronik generasi awal di Indonesia banyak yang berangkat dari ranah musik tradisional. Tengoklah perjalanan Sapto Raharjo dalam bermusik. Saat masih anak-anak, pria kelahiran 1955 ini belajar bermain gamelan dan menjadi anggota kelompok karawitan di Yogyakarta, Arena Budhaya. Pada 1970-an, ia juga memproduksi musik yang menggunakan kaleng bekas. Dalam komposisinya, dia mencoba memadukan irama pentatonik dan diatonik.

Begitu pula I Wayan Gde Yudane. Komposisi pertamanya adalah musikalisasi puisi yang menggunakan gamelan. Yudane termasuk generasi musisi elektronik 90-an, alias gelombang keempat.

Pada dekade 1990an, banyak seniman muda yang tertarik mengeksplorasi lebih dalam musik elektronik. Beberapa pemuda ini kemudian mendirikan sindikasi. Semisal Performance Fucktory yang berdiri di Yogyakarta pada 1997. Pendiri komunitas ini adalah Marzuki Mohamad yang sekarang lebih dikenal sebagai Kill the DJ, Kus Widananto yang populer dipanggil Jompet, Ari Wulu, Ugoran Prasad, dan Yosef Herman Susilo.

“Kami berlima sama-sama senang musik elektronik. Tapi waktu itu elektronika belum seperti sekarang, yang dikuasai EDM dan nge-pop. Waktu itu banyak turunan genre yang eksploratif dan liar,” ujar Juki, panggilan akrab Marzuki.

Dari Performance Fucktory inilah lahir Parkinsound, festival musik elektronik pertama di Indonesia. Nama Parkinsound merupakan gabungan tiga kata: "park", "in", dan "sound". Perhelatan perdana mereka diadakan pada 1999, bertempat di Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta. Setahun kemudian Parkinsound diadakan di pilar Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta yang saat itu belum rampung dibangun.

Pada 2001 acara dibuat di Stadion Kridosono. Parkinsound berkembang perlahan. Pada gelaran pertama, penontonnya memang terbatas karena tempat yang tak luas. Pada gelaran kedua, penonton sudah berkisar seribuan orang. Pada Parkinsound 4, sekaligus terakhir, jumlah penonton diperkirakan mencapai 4.000 orang.

Festival ini dibuat dengan perjuangan berat. Beberapa kali Juki dan kawan-kawan harus nombok untuk menutupi kekurangan dana. "Kalau sekarang dikonversi, duit pribadi yang dipakai buat nombok itu sudah bisa buat beli mobil Innova. Hingga Parkinsound 3, semua yang ikut bekerja rata-rata berasal dari kawan di Forum Musik Fisipol UGM."

Menurut Juki, musik elektronik kala itu memang punya citra yang tak bagus. “Banyak gelaran rave party yang dibubarkan aparat, ormas, atau justru warga sendiri.” Salah satu penyebabnya, menurut Juki adalah ekspresi acara-acara itu berjarak secara sosial budaya dengan lingkungan tempat yang digunakan. “Namun Parkinsound aman, karena lebih performatif, bukan rave party.”

Parkinsound tidak melulu menghadirkan musik elektronik. Ia menampilkan berbagai genre musik: jungle, deep house, industrial, hingga rock. Lebih seperti pertunjukan kawin massal musik elektronik dengan genre musik lain. Beberapa band yang pernah tampil di sini adalah Electrofux, Mobil Derek, Melancholic Bitch, Homogenic, Teknoshit, hingga Koil.

Festival bersejarah ini tidak pernah lagi digelar, terakhir berlangsung pada 2004. Alasannya sederhana, Juki dan kawan-kawan sadar bahwa mereka adalah seniman yang kodratnya adalah berkarya, bukan sebagai promotor konser.

“Kalau mau menghidupkan Parkinsound lagi, saat ini saya sudah tidak begitu tertarik kerja promotor dan organizing-nya, tapi bagaimana memproduksi konten artistik dan spectacle-nya,” kata Juki.

Infografik Musik Eletronik di Indonesia

Munculnya DJ, Pesta, Keluarmalam, dan Festival Musik Elektronik

Menurut Max M. Richter dalam artikel "Other Worlds in Yogyakarta: From Jatilan to Electronic Music", sejak 2000-an semakin banyak muncul pesta rave di Indonesia. Bisa dibilang ini gelombang kelima musik elektronik yang menandai semakin populernya musik elektronik di Indonesia. Richter mencatat bahwa sejak 2000, salah satu pusat keriangan klub malam di Jakarta adalah The Stadium, "...di mana para staf secara terbuka menjual tablet ekstasi."

Di era milenium ini, musik elektronik menjadi berubah bentuk. Ia jadi lebih populer berkat DJ dan klub malam. Musik elektronik dipentaskan di klub malam, tidak lagi berupa bentuk seni garda depan (avant garde) yang kerap membuat orang awam bingung. Karena ini pula, musik elektronik erat dengan citra pesta, mabuk, dan hedon.

Pusat tumbuhnya musik gelombang kelima adalah di Jakarta melalui berbagai klub malam. Pusat keriangan pesta kala itu adalah Stardust, B1, M-Club, BC Bar, Retro, Lava Lounge, Music Room, dan Embassy. Menurut DJ Riri, kehadiran klub malam ini nyaris selalu penuh. Namun karena tak ada di radio maupun TV, popularitas musik elektronik tak terlihat.

"Tapi kalau secara underground, pecah banget. Penuuuuh. Di mana-mana penuh," kata Riri.

Riri bisa dibilang DJ populer angkatan pertama di Indonesia. Ia memutuskan terjun penuh ke dunia musik pada 2001. Ia mulai membuat lagu sendiri, terinspirasi dari banyak DJ di Eropa yang membuat album. Riri menemui kesulitan karena saat itu mencari produser musik elektronik terhitung susah. Ia sampai harus bertemu dengan Marzuki di Yogyakarta untuk berdiskusi tentang musik elektronik.

Dibantu oleh Thomas Ramdhan, pemain bass grup musik Gigi, Riri membuat sendiri albumnya. Dari membuat lagu, cetak CD, hingga mendatangi jalur distribusi. Hasilnya adalah Keluarmalam (2004). Album ini mencatat sejarah sebagai album pertama DJ Indonesia. Secara mengejutkan, album ini terjual sekitar 12.000 keping, angka yang banyak untuk sebuah album dari genre yang asing di industri musik arus utama.

Riri mencatat namanya mulai dikenal publik lebih luas usai diwawancara radio Hard Rock. Publik pun mulai mengetahui bahwa ada genre musik elektronik di Indonesia. Ditambah banyaknya acara pesta di klub malam Jakarta, musik elektronik kemudian menjadi semakin populer. Ini sebenarnya perkembangan yang tidak mendadak. Sebab, seperti sudah dijelaskan oleh Riri, geliat musik elektronik selama ini lebih banyak berlangsung di bawah tanah.

"Sampai pernah ada suatu masa merek rokok itu beneran konsentrasinya di DJ aja," kata Riri.

Keriangan ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Tapi juga di Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali. Bermunculan klub-klub malam baru. Mulai Jenja, Double Six, Sky Garden, Dragon Fly, Immigrant, Colosseum, hingga Hugo's.

Sama seperti industri musik arus utama, ada pergeseran selera di kancah musik elektronik. Menurut Riri, saat ini yang sedang tren adalah EDM (Electronic Dance Music). Menurut Ellen Koskoff dalam Music Cultures in the United States, EDM memang jenis musik yang dibuat untuk klub malam, pesta rave, dan festival musik elektronik. EDM kemudian menjadi payung besar maupun mangkuk peleburan berbagai gagrak musik elektronik: house, techno, trance, juga dubstep. Jurnalis Simon Reynolds dari The Guardian, menyebutkan bahwa diksi EDM adalah sebuah usaha untuk mengubah identitas rave yang sebelumnya lekat dengan narkoba.

Usaha pengubahan citra itu juga tampak pada penggunaan kata "festival", alih-alih "pesta rave". Karena itu sekarang lebih banyak ditemui istilah festival musik elektronik yang lebih bisa diterima oleh khalayak. Tak heran juga kalau musik elektronik kini tidak hanya dimainkan di klub malam atau bar. Melainkan juga di alam terbuka, dimainkan pada siang hari, laiknya festival musik kebanyakan.

Maka kita sekarang bisa menemui nama-nama berlabel festival musik elektronik, semisal Tomorrowland, Electric Daisy Carnival, Sensation, Ultra Music Festival, Global Gathering, Dreamfields, hingga Djakarta Warehouse Project yang merupakan festival musik elektronik terbesar di Indonesia.

Keriangan macam ini tidak hanya terjadi di kota besar. Bahkan di Wonosobo, kota di Jawa Tengah yang berjarak 500-an kilometer dari Jakarta, juga ada festival musik elektronik. Bertajuk Wonosobo Park In Sound: The Dance Floor's Heroes, acara ini diadakan di Lapangan Geonipa Ngampel. Meski namanya menjiplak Parkinsound, festival ini tetap dipromosikan dengan meriah. Bintang tamunya adalah Al Ghazali, Disko Mafia, hingga DJ Daniella Meijer.

Popularitas EDM mungkin tak akan surut dalam waktu dekat. Apalagi kini ada media sosial, yang menjadi medium ampuh untuk mengabarkan pesta-pesta ataupun rilisan musik EDM. Dalam wawancara bersama CNN, duo musisi EDM Dimitri Vegas and Like Mike mengatakan bahwa media sosial adalah faktor terbesar kesuksesan mereka.

"Dengan media sosial, kami bisa menyebarkan lagu dengan satu klik. Padahal 20 tahun lalu, kamu harus membuat lagu, dari sana harus ke distributor, dan mungkin butuh 6 bulan supaya lagumu bisa tersebar ke seluruh dunia," ujar Dimitri Thivaios yang lahir di Belgia ini.

Begitu pula yang terjadi di Indonesia. DJ populer seperti Dipha Barus punya 9 ribu pengikut di Twitter dan 38 ribu pengikut di Instagram. Begitu pula Riri yang aktif mengabarkan jadwal manggung di akun Instagram-nya yang punya 32 ribu pengikut. DJ Butterfly punya 963 ribu pengikut walau jarang menampilkan jadwal manggung. Namun ia aktif mempromosikan tempatnya manggung.

Namun tentu pencapaian dan kemajuan musik elektronik tak bisa serta merta hanya ditengok dari jumlah pendapatan atau banyaknya jumlah pengikut di media sosial. Baik Riri maupun Juki sama-sama mengatakan bahwa tolok ukurnya kelak adalah musisi elektronik yang menciptakan karya sendiri.

“Di zaman ini lebih gampang bikin festival musik elektronik atau dance music, tapi masih sedikit musisi elektronik atau DJ producer Indonesia yang benar-benar hidup dari karya musik orisinalnya. Ada satu dua, mulai tumbuh dan kelihatan, sih, tapi masih jauh untuk bisa dibilang maju," simpul Juki.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI MUSIK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono