tirto.id - Perempuan berambut kusut masai itu tiduran di atas kasur. Tatapannya yang sayu terfokus ke arah kamera. Musik dengan ritme cepat khas irama elektronik menjadi latar. Di detik ketiga puluh, perempuan itu memasukkan kertas ke dalam mulutnya.
Adegan berganti jadi siluet seorang pria di sebuah tempat macam pub dengan lampunya remang-remang. Saat itu juga perempuan tadi bersuara.
“Kamu selalu cari yang lebih. Yeah. Walau yang kau cari selalu tak pasti. Yeah.”
Video itu baru akan habis di menit 3,45. Berjudul Candu (Official Video), video ini diunggah pada 30 November 2016 oleh kanal Youtube Karin Novilda, pesohor media sosial dengan nama beken Awkarin.
Seperti setiap unggahannya di media sosial, baik Instagram maupun Youtube, lagu yang digadang-gadangnya sebagai single solo pertama itu viral dan ramai tanggapan. Di hari kelima beredar, video itu sudah ditonton lebih dari 1,5 juta kali. Ia juga dikomentari setidaknya oleh 25 ribu akun. Sekitar 19 ribu memberi jempol, meski lebih banyak yang memberinya jempol terbalik. Angkanya mencapai 82 ribu.
Komentarnya juga lebih banyak yang negatif. Selain komentar yang mengatakan suara Karin tak lebih baik dari kucing kawin, ada pula beberapa yang mempertanyakan autotune—software yang mengkoreksi nada—yang digunakan oleh Karin.
“Just wondering awkarin without autotune. Will it sound better or worse?" tulis akun bernama Grace Ariana.
Tapi apa masalahnya jika Karin memakai teknologi autotune? Banyak penyanyi di dunia memakainya. Mulai dari penyanyi amatiran yang mengunggah nyanyiannya di media sosial, sampai penyanyi profesional seperti Bruno Mars, Madonna, Ariana Grande, dan Aretha Franklin juga pernah memakai software permak nada itu.
Tapi, tak sedikit juga penyanyi yang melihat software itu sebagai bencana dalam dunia musik. Fungsinya yang bisa mempercantik suara seseorang dinilai membuat malas penyanyi untuk latihan vokal. Ia juga membuat siapa saja yang tak berbakat menyanyi mendaku diri sebagai vokalis hanya dengan modal kecanggihan autotune.
Salah satu seniman sekaligus rapper yang vokal menyuarakan hal ini adalah Jay Z, si raja hip-hop. Ia bahkan menciptakan satu lagu di albumnya The Blueprint 3, berjudul “D.O.A”, kepanjangan dari Death of Autotune, sebagai bentuk protes.
Neil Cormick, kritikus musik dari The Daily Telegraph bahkan menyebut autotune sebagai “penemuan jahat”. Sedangkan majalah Time memasukkan autotune ke dalam daftar “50 Penemuan Paling Celaka” pada 2010.
Sebenarnya, autotune diciptakan tanpa ada niat untuk membuat revolusi musik semengerikan yang ditakutkan Jay Z.
Andy Hildebrand, penciptanya hanya mengejawantahkan permintaan seorang musisi studio profesional pada 1996. Insinyur itu diminta membuat sebuah kotak yang bisa membuat suaranya selaras dengan nada tanpa harus melakukan proses pengambilan suara berulang kali, seperti yang dilakukan para penyanyi tradisional pada masa itu.
Awalnya, tak ada yang mengira ide itu bisa diwujudkan. Tapi, setahun kemudian, saat Hildebrand berhasil menciptakan software itu, cara kerja di studio musik berubah.
Proses pengambilan suara yang biasa dilakukan berulang-ulang jika penyanyi keseleo di nada-nada tertentu, tak perlu dilakukan lagi. Waktu perekaman di studio pun jadi lebih cepat. “Ia benar-benar mengubah cara kerja di studio [musik],” kata Hildebrand seperti dikutip Complex.com.
Pada 1997, autotune mulai masuk pasar dan semakin populer setelah Cher menggunakannya dalam lagu “Believe” lagu yang membawanya kembali ke industri musik pada 1998 setelah vakum selama 7 tahun.
Suara Cher yang berubah macam robot di beberapa potong bagian lagu itu jadi daya tarik penikmat musik. Lagu itu meledak di pasaran, dan sejak itu penjualan autotune juga meroket. Ia berubah jadi standar baru di studio musik, dan banyak yang menyebutnya sebagai Efek Cher.
Tapi meski sudah banyak digunakan, orang-orang yang terang-terangan memakainya kerap dirisak. Misalnya Britney Spears yang sempat jadi bulan-bulanan netizen saat rekaman suaranya dalam lagu Alien tanpa autotune tersebar. Britney sempat bungkam, meski akhirnya mengaku bahwa ia memang menggunakan teknologi ini dan tak merasa perlu malu karenanya.
Kini, autotune sudah lebih canggih. Seorang penyanyi bisa menggunakannya saat bernyanyi langsung di atas panggung, bukan hanya saat di dalam studio.
Tapi barisan penentang tetap bersuara lantang. Salah satunya adalah penyanyi Christina Aguilera yang menggunakan kaos bertuliskan “Autotune hanya untuk pengecut” pada penampilannya di Los Angeles, 2010. Michael Buble juga bilang bahwa autotune hanya akan mengubah suara seseorang jadi suara robot.
Namun, keduanya mengaku pernah mengadopsi teknik ini dan menggunakannya pada sejumlah lagu mereka. “Tapi harus dengan pemakaian yang tepat,” kata Buble. “Bukan sampai kau jadi penyanyi yang cuma modal permak suara.”
Andy Hildebrand sendiri tak mau disalahkan. Dia mengatakan, penyanyi yang menggunakan autotune tak lebih dari musikus yang ingin berinvestasi pada sebuah instrumen musik yang membantu menyelaraskan suara.
Penggunaan autotune dalam lagu-lagu masa kini tak terbendung. Suara robot bahkan membuka lagu Bruno Mars, biduan yang populer karena suara unik dan lekingan tingginya pada lagu “24 K Magic” yang jadi nomor satu di tangga lagu sejumlah negara.
Britney sampai sekarang juga hampir selalu bernyanyi dengan autotune, baik dalam rekaman studio atau aksi langsung di atas panggung. Keduanya memang menuai kontroversi, tapi tetap laku di pasaran.
Di Indonesia, “penyanyi” yang dilahirkan oleh Instagram dan Youtube, Karin Novilda, dikritik dengan pedas. “Belajar nyanyi lagi kak,” tulis Romaria Simbolon, penyanyi cilik yang populer lewat lagu "Malu Sama Kucing."
Komentar lain berbunyi lebih telengas: “Autotune berlapis bahkan tak bisa menyelamatkan suaranya."
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani