tirto.id - Larangan mudik lebaran Idul Fitri 2021 resmi ditetapkan pemerintah usai rapat gabungan pada Jumat (26/3/2021).
"Maka ditetapkan bahwa tahun 2021 mudik ditiadakan,” kata Menteri Koordinator PMK, Muhadjir Effendy.
Lebih lanjut, Muhadjir menyebutkan larangan ini berlaku untuk seluruh ASN, TNI, Polri, BUMN, karyawan swasta, maupun pekerja mandiri, dan seluruh masyarakat. Keputusan ini ditetapkan seiring terus meningkatnya angka kasus positif hingga kematian akibat COVID-19 selama libur panjang.
Hari Raya Idul Fitri tahun ini akan jatuh pada Mei 2021 mendatang. Hari raya ini dirayakan oleh seluruh umat muslim setiap tahun setelah bulan Ramadhan berdasarkan penanggalan Hijriah. Perayaan Hari Raya Idul Fitri juga dikenal dengan istilah "lebaran."
Kata "lebaran" telah menjadi bagian dari Bahasa Indonesia. Bahkan oleh KBBI kata ini telah dimaknai sebagai, "hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan; Idul Fitri"
Melansir Antara, orang Jawa mengartikan kata "lebaran" berasal dari kata "wis bar" yang artinya sudah selesai. Ini menggambarkan waktu pelaksanaan lebaran yang dilakukan ketika bulan puasa (Ramadhan) sudah usai. Kata "bar" dalam Bahasa Jawa adalah bentuk pendek dari kata "lebar" sepadan dengan kata "sakwise" yang berarti selepas atau selesai.
Antara mencatat, pada kenyataannya orang Jawa jarang menggunakan istilah lebaran. Orang Jawa cenderung menggunakan "sugeng riyadin" atau "riyaya" sebagai ungkapan selamat Idul Fitri.
Justru orang Betawi yang sering menggunakan istilah ini. Orang Betawi mengartikan kata "lebar" dengan makna yang sebenarnya, yaitu yang menggambarkan keluasan dan kelegaan hati setelah melaksanakan ibadah puasa.
Sementara, menurut MA Salmun, pujangga sekaligus tokoh sastra nasional kata ini merupakan serapan dari tradisi Hindu. Ia pertama kali menjelaskan istilah ini dalam majalah "Sunda" pada 1954.
Dalam istilah Hindu, kata "Lebaran" memiliki arti "Selesai," "Usai," atau "Habis." Istilah ini diperkenalkan oleh para Wali agar umat Hindu Indonesia yang baru masuk Islam tidak merasa asing dengan agama barunya.
MA Salmun bukan tokoh baru dalam dunia sastra nasional. Menurut Balai Bahasa Jabar, tokoh dengan nama lengka Mas Ace Salmun Raksadikaria dikenal sebagai pengarang tiga zaman yang sangat produktif dan serba bisa.
Ia merupakan perintis terbitnya majalah "Tjandra" (1954), "Mangle" (1957), dan "Sari" (1963). Selain itu, ia juga penulis buku cerita bersambung "Budah Cikapundung" (1965), "Angeun Haseum" (1965), "Villa Bati Nyeri" (1966), dan "Neangan Bapa" (1966). Selama masa hidupnya, (1903-1972) MA Salmun tercatat telah menghasilkan 480 judul karya baik dari Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Nur Hidayah Perwitasari