Menuju konten utama

Apa Arti From The River to The Sea Palestine Will Be Free?

Apa arti from river to the sea, Palestine will be free yang populer di tengah konflik Israel dan Palestina? Slogan ini juga memiliki sejarah tersendiri.

Apa Arti From The River to The Sea Palestine Will Be Free?
Seorang warga membawa bendera "Free Palestine" dalam acara reli "Black Lives Matter" yang diadakan untuk mendukung keluarga Anthony McClain di Pasadena, California, Amerika Serikat, Senin (17/5/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Christian Monterrosa/hp/cfo

tirto.id - Frasa “from river to the sea, Palestine will be free” populer belakangan ini sejak perang antara Israel dan Hamas Palestina kembali meletus dalam lebih dari tiga pekan terakhir. Lantas, apa sebenarnya arti dari frasa tersebut?

Kata-kata “from river to the sea, Palestine will be free” apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “dari sungai ke laut, Palestina akan merdeka”.

Frasa ini adalah slogan yang melekat bagi pro Palestina di seluruh dunia. Slogan itu merupakan seruan untuk mengakhiri pendudukan Israel di wilayah Palestina, khususnya Tepi Barat.

Seperti ditulis laman Anti-Defamation League (ADL), bagi banyak kelompok Yahudi dan pro-Israel, slogan itu adalah seruan antisemit yang memiliki tujuan untuk mengusir rakyat Israel dari wilayah yang didudukinya saat ini.

The Guardian menulis, yang dimaksud “dari sungai ke laut” adalah merujuk kepada wilayah Palestina sebelum pendudukan Israel yang berada di antara sungai Jordania di sebelah Timur dan laut Mediterania di sebelah Barat.

Sejarah Slogan “From River to The Sea, Palestine Will Be Free” dan Artinya

Asal-usul frasa “from river to the sea, Palestine will be free” berawal dari perdebatan awal mengenai pembagian wilayah pada tahun 1940-an.

Middle East Eye melaporkan, ketika Kerajaan Inggris mengakhiri mandatnya untuk menguasai Palestina, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang saat itu baru terbentuk mengusulkan untuk membagi wilayah tersebut menjadi negara Yahudi dan Palestina.

Rencana ini, yang akan membuat 62 persen wilayah tersebut berada di bawah kendali Israel, ditolak keras oleh para pemimpin Arab pada saat itu. Setelah penarikan mundur Inggris, perang pun pecah, yang menyebabkan lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau "malapetaka".

Setelah perang, Negara Israel dideklarasikan, sementara Tepi Barat tetap berada di bawah kendali Yordania dan Mesir menguasai Jalur Gaza. Setelah perang 1967, wilayah-wilayah ini akan berada di bawah pendudukan Israel.

Sejak didirikannya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) oleh para diaspora Palestina pada tahun 1964, posisi kebangsaan Palestina dan Israel telah berubah berulang kali.

Hingga tahun 1988, posisi resmi PLO adalah menyerukan pembentukan satu negara di Palestina yang akan mencakup semua wilayah bersejarahnya.

Dalam piagam tahun 1964, PLO mengatakan bahwa negara ini akan menjadi "tanah air Arab yang terikat oleh ikatan nasional yang kuat dengan negara-negara Arab lainnya dan yang bersama-sama membentuk tanah air Arab yang besar". Piagam tersebut juga mengecam Zionisme sebagai "gerakan kolonialis".

Piagam tersebut juga menyatakan bahwa "orang-orang Yahudi asal Palestina dianggap sebagai orang Palestina jika mereka bersedia untuk hidup secara damai dan setia di Palestina."

Namun, pada tahun 1970-an, kepemimpinan PLO secara bertahap mengubah pendiriannya, dan pada tahun 1988 secara resmi mengadopsi prinsip solusi dua negara.

Sikap ini ditolak oleh faksi-faksi Palestina lainnya, termasuk Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang berhaluan kiri, yang menganjurkan sebuah negara sekuler dan sosialis untuk semua penduduk Palestina yang bersejarah, dan gerakan Islam Hamas, yang menyerukan sebuah negara Islam.

Sejak tahun 1993, posisi resmi sebagian besar masyarakat internasional telah sejalan dengan PLO dalam menyerukan pembentukan negara Palestina di wilayah yang diduduki selama perang tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Meskipun didukung oleh banyak orang Palestina, prospek negara Palestina yang hanya memiliki 22 persen dari wilayah Palestina yang bersejarah telah dilihat oleh banyak orang sebagai ketidakadilan, dengan akademisi Edward Said menggambarkannya sebagai "penyerahan diri" oleh PLO.

Baca juga artikel terkait ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra