tirto.id - Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) menilai kelangkaan BBM solar bersubsidi memberatkan dunia usaha. Mereka menyebut, pengusaha truk seolah dipaksa untuk beralih ke BBM non subsidi yang harganya lebih mahal, padahal biaya bahan bakar menyumbang hampir 40 persen dari bisnis mereka.
“(BBM menyumbang biaya) 30-40 persen. Kalau di truk, itu artinya kan, roda perekonomian tergantung dari transportasi ini. Kalau enggak lancar akan masalah,” ucap Ketua Aptrindo Gemilang Tarigan kepada wartawan saat ditemui di Kemenko Kemaritiman, Jumat (15/11/2019).
Gemilang menyatakan bahwa peralihan BBM ke jenis non subsidi juga berpotensi menimbulkan kenaikan bagi biaya angkut yang harus ditanggung perusahaan yang membutuhkan jasa mereka. Menurutnya, hal ini akan menjadi masalah, karena klien mereka belum tentu bisa menerima tambahan ongkos dan akan berpengaruh pada daya saing perusahaan lainnya.
“Pengguna jasa kita kan, tidak akan mau ada biaya tambahan tiba-tiba. Itu masalahnya. Kalau ada pernyataan dicabut kan, jelas. Ini enggak,” ucap Gemilang.
Ia pun berkesimpulan, pemerintah perlu menambah kuota BBM solar bersubsidi, sebab akan memengaruhi perkonomian.
“Kita minta sampai akhir tahun tolong selamatkanlah,” ucap Gemilang.
Wakil Ketua Umum Aptrindo, Kyatmaja Lookman menambahkan tambahan kuota ini menjadi penting, karena sisa dua bulan sebelum akhir tahun, produsen akan lebih giat mengejar target. Menurut Kyatmaja, hal ini lumrah terjadi karena tidak ada pengusaha yang mau gagal membukukan keuntungan.
“Perusahaan enggak bisa membukukan profit negatif karena jadi sinyal buruk ke pasar. Dua bulan ini pasti pengusaha akan genjot mati-matian untuk mencapai targetnya. Jadi tinggi kebutuhannya sampai Desember 2019,” ucap Kyatmaja saat ditemui di Kemenko Kemaritiman, Jumat (15/11/2019).
Melihat kondisi ini, Kyatmaja juga mengkritik penurunan kuota BBM bersubsidi menjadi 14,5 juta KL, dari tahun sebelumnya yang mencapai 15,6 juta KL. Kyatmaja menilai penurunan ini tak wajar, karena jika pertumbuhan ekonomi di 2019 di kisaran 5 persen, maka kebutuhan bahan bakar akan meningkat senilai itu juga. Hanya saja, saat ini kuota justru dipangkas atau minus 7 persen.
“Kalau pertumbuhan ekonomi 5 persen harusnya paling enggak kuota tahun ini tambah 5 persen kan. Makanya sudah kami prediksi akan terjadi kelangkaan,” ucap Kyatmaja.
Kyatmaja juga menyinggung keputusan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Agustus 2019 lalu untuk membatasi penggunaan BBM ini karena kuota solar subsidi bocor ke perusahaan tambang dan perkebunan yang sudah jelas dilarang menggunakannya. Kyatmaja menuntut, masalah itu tak membuat pengusaha truk menjadi korban.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Widia Primastika