Menuju konten utama
Periksa Data

Survei: Mayoritas Sulit Cari Sumber untuk Verifikasi Informasi

Tirto bekerja sama dengan Jakpat merancang sebuah survei untuk mencari tahu tentang kesulitan masyarakat dalam mengecek kebenaran informasi.

Survei: Mayoritas Sulit Cari Sumber untuk Verifikasi Informasi
Header Riset Mandiri Survey Hoaks. tirto,id/Quita

tirto.id - Di tengah banjir informasi, warganet kadang dibikin kewalahan untuk memilah mana saja berita yang akurat dan mana saja kabar bohong atau hoaks. Hasil studi Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) pada Mei 2023 menunjukkan, hoaks menempati posisi kedua sebagai jenis konten ilegal yang paling sering dijumpai publik, setelah konten ujaran kebencian.

Menurut studi PR2Media, hampir keseluruhan responden mengaku pernah melihat hoaks. Secara lebih rinci, sebanyak 19,7 persen dari 1.500 responden menyatakan “sangat sering” menemukan hoaks dan 46,7 persen sisanya bilang “sering” melihat hoaks. Proporsi responden yang tidak pernah menemukan misinformasi sangat sedikit, yakni hanya 3,5 persen.

Temuan itu beriringan dengan catatan Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang mengidentifikasi peningkatan hoaks pada triwulan pertama 2023 dibanding triwulan I tahun 2022, dari 393 hoaks, menjadi 425 hoaks. Itu artinya, hoaks atau misinformasi tengah semarak, terutama menjelang pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar tahun depan.

Kemampuan masyarakat untuk mengecek kebenaran sebuah informasi tentu menjadi penting untuk memastikan bahwa pilihan yang dibuat masing-masing orang dalam pemilu didasarkan oleh informasi yang akurat.

Lantas, apakah masyarakat punya kesulitan dalam mengecek kebenaran informasi? Apa faktor yang jadi permasalahan mereka?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut Tirto bekerja sama dengan Jakpat merancang sebuah survei yang melibatkan 1.500 orang. Jakpat sendiri merupakan penyedia layanan survei dengan lebih dari 1,3 juta pengguna yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Sebelumnya, dari riset yang sama, Tirto telah menyingkap bagaimana Facebook dan TikTok jadi media sosial yang populer di kalangan responden sebagai sarang hoaks. Tak heran, sejumlah 38 persen responden bilang mereka pernah tak sengaja sebarkan hoaks.

Metodologi

Jumlah responden: 1.500 orang

Waktu survei: 13 September 2022

Wilayah riset: Indonesia, tersebar di 32 provinsi

Instrumen penelitian: Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform

Jenis sampel: Non-probability sampling (semua responden adalah responden Jakpat dengan profil yang acak)

Margin of Error: Di bawah 3 persen

Profil Responden

Dari segi sebaran responden, proporsi laki-laki dan perempuan bisa dikatakan seimbang, yakni 50,33 persen banding 49,67 persen. Begitu pula jika melihat usianya, persentase di setiap kelompok umur tak terpaut jauh.

Proporsi kelompok usia 40-45 tahun (19,07 persen) adalah mayoritas responden untuk survei ini, diikuti kelompok umur 30 – 35 tahun (18,13 persen), 20 – 25 tahun (17,87 persen), 36 – 39 tahun (17 persen), dan 26 – 29 tahun (14,87 persen). Sisanya merupakan responden berusia di bawah 20 tahun (4,2 persen) dan di atas 45 tahun (8,87 persen).

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks

Infografik Riset Mandiri Jakpat Survei Hoaks. tirto.id/Quita

Seperti telah disebutkan, responden datang dari 32 provinsi, di mana dominan berada di Pulau Jawa (76,67 persen). Di antara angka itu, mereka paling banyak tinggal di Jawa Barat, persentasenya menyentuh 26,47 persen. Mengikuti kemudian responden dari Sumatra (13,94 persen), Kalimantan (3,99 persen), Sulawesi (2,94 persen), Bali dan Nusa Tenggara (1,93 persen), lalu Maluku-Papua (0,53 persen).

Mayoritas responden memiliki latar pendidikan SMA sederajat, dengan persentase 45,47 persen dan lulusan S1 yang mencapai 34 persen. Lalu sisanya tersebar antara lulusan D3 (8,6 persen), SMP (4,6 persen), D1 (2,27 persen), SD (2 persen), dan S2 (1,87 persen).

Partisipan survei ini paling banyak bekerja sebagai ibu rumah tangga, kemudian yang sedang tak bekerja, dan yang berprofesi sebagai wiraswasta. Persentase ketiganya masing-masing yakni 16,6 persen, 12,87 persen, dan 10,2 persen. Kelompok pekerja lain yang juga cukup banyak adalah para mahasiswa (7,93 persen), mereka yang bekerja di bidang F&B (7,47 persen), serta guru, dosen, atau peneliti (5,27 persen).

Mayoritas Responden Merasa Tak Bisa Temukan Sumber yang Mumpuni

Para responden nyatanya masih menghadapi kesulitan dalam memastikan kebenaran sebuah informasi. Lebih dari setengah keseluruhan responden, yakni sebanyak 54,40 persen, menyatakan mereka punya kendala tidak bisa menemukan sumber yang dapat melengkapi atau mengonfirmasi.

Masalah lainnya mencakup skill atau minimnya pengetahuan tentang cara menelusuri informasi (12,07 persen), dan perasaan tidak adanya indikasi kesalahan dalam informasi yang mereka terima (8,40 persen). Ada juga responden yang beranggapan persoalannya terletak pada waktu untuk memverifikasi, dan kebingungan lantaran pendapat ahli terkadang berbeda. Persentase keduanya masing-masing sebesar 0,07 persen.

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks. tirto,id/Quita

Berita baiknya, sejumlah 24,33 persen mengaku tak mengalami problem dalam memastikan keabsahan informasi. Temuan yang menarik adalah pilihan ini paling populer di kalangan anak muda generasi Z berusia 16 – 19 tahun, proporsinya yakni sebesar 29,03 persen.

Dibanding kelompok usia 30 – 35 tahun misalnya, persentase yang menyatakan tak kesusahan mengecek informasi berjumlah 25 persen, sementara di kalangan responden berusia 40 – 45 tahun hanya 22,03 persen.

Meski begitu, kajian yang pernah dilakukan Arini, dkk selama 2021 – 2022 justru menunjukkan bahwa Gen Z masih kesulitan dalam mendeteksi hoaks. Penelitian tersebut menyajikan 30 berita benar dan berita palsu mengenai COVID-19 yang telah tersebar di media sosial dan portal berita. Hasilnya, dari 647 responden Gen Z yang terlibat, sebanyak 83 persen menganggap informasi yang diberikan sahih meskipun sebenarnya hoaks.

Tirto bersama Jakpat juga melakukan cara serupa dalam survei ini, yakni meminta responden memilih tiga judul berita bohong dari 6 judul berita, termasuk narasi soal “tidak boleh banyak minum air putih setelah makan”. Namun, secara umum, larangan banyak minum air putih setelah makan—yang sebetulnya hoaks itu hanya dipilih oleh 44,07 persen responden.

Ciri Apa Saja yang Umum Dikaitkan dengan Hoaks?

Hoaks telah terbukti membawa dampak serius, baik bersifat relasional maupun finansial. Kebanyakan responden bilang, mereka pernah menyaksikan konsekuensi nyata misinformasi, dari mulai kerugian finansial akibat penipuan, terganggunya hubungan personal akibat rumor, keputusan kesehatan merugikan, dan keputusan memilih pejabat publik yang dipengaruhi informasi palsu.

Menurut para responden, tanda umum yang paling banyak mereka kaitkan dengan hoaks adalah penggunaan gambar atau video yang dimanipulasi atau dipalsukan. Persentase yang memilih opsi itu menyentuh 42,13 persen.

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks. tirto,id/Quita

Ciri lain yang juga banyak dipilih adalah sumber yang tidak terverifikasi atau anonim (39,60 persen), judul berita sensasional (37,93 persen), kurangnya sumber atau referensi kredibel (35,87 persen), dan inkonsistensi informasi atau kesatuan narasi yang kontradiktif (35,80 persen).

Dalam hal memverifikasi keakuratan informasi yang ditemui, responden juga ditanya terkait penggunaan situs atau artikel pemeriksa fakta. Seperti diketahui, beberapa media dan organisasi seperti Tirto, Kompas.com, Tempo.co, Liputan 6, AFP, dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) telah melakukan upaya-upaya untuk melakukan cek fakta atas narasi yang tersebar di jagat maya dalam bentuk artikel-artikel periksa fakta.

Rupanya, mayoritas responden mengungkap kadang-kadang memanfaatkan artikel tersebut (61,87 persen) untuk menelusuri informasi dan bahkan ada yang menyatakan mengaksesnya secara rutin (19,80 persen).

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks. tirto,id/Quita

Akan tetapi, sejumlah 18,34 persen responden bilang tidak pernah menggunakan artikel hasil periksa fakta dan bahkan tidak tahu tentang situs atau artikel periksa fakta. Hasil penelitian Limilia yang dipublikasikan The Conversation, pada 28 Agustus 2023, memang menunjukkan belum populernya lembaga cek fakta di kalangan masyarakat.

Studi terhadap responden di 13 provinsi di Indonesia tersebut menangkap, sebanyak 56 persen reponden belum familiar dengan lembaga cek fakta. Sementara itu, responden yang mengakui rutin atau pernah melakukan cek fakta memiliki persepsi yang positif terkait lembaga cek fakta.

Sebagai contoh, mereka meyakini bahwa lembaga cek fakta cenderung akurat dalam mengidentifikasi disinformasi dan memberikan penjelasan yang mudah dimengerti terkait informasi yang diverifikasi.

Peningkatan Upaya Pemeriksaan Fakta Dinilai Efektif untuk Mengatasi Misinformasi

Di kalangan responden yang pernah menggunakan artikel pemeriksaan fakta, baik sesekali maupun secara rutin, kebanyakan merasa kumpulan laporan tersebut cukup membantu untuk menentukan kredibilitas informasi.

Lebih jauh, sebanyak 98,45 persen responden menjawab dalam kerangka membantu, mencakup “membantu” (30,45 persen), “sangat membantu” (31,43 persen), dan “cukup membantu” (36,57 persen).

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks. tirto,id/Quita

Sejalan dengan penilaian responden itu, mayoritas dari mereka merasa peningkatan upaya pemeriksaan fakta merupakan tindakan paling efektif dalam mengatasi misinformasi.

Ketika diminta untuk mengurutkan 3 upaya prioritas yang dinilai paling manjur menanggulangi hoaks, opsi peningkatan upaya pemeriksaan fakta tersebut menempati posisi teratas yang paling banyak dipilih responden, baik sebagai prioritas pertama, kedua, maupun ketiga.

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks

Infografik Riset Mandiri Survey Hoaks. tirto,id/Quita

Langkah lain yang juga dinilai penting secara berturut-turut yakni regulasi yang lebih ketat terhadap konten media sosial (skor 1,06), mendorong keterampilan berpikir kritis (skor 0,94), transparansi yang lebih baik dari platform media sosial (skor 0,87), upaya memeriksa bersama informasi palsu (skor 0,80), pendidikan literasi media di sekolah (skor 0,76), dan kampanye kesadaran publik (skor 0,50).

Keinginan adanya regulasi yang lebih ketat terhadap konten media sosial ini bisa jadi berhubungan dengan temuan lain survei Tirto bersama Jakpat ini, yakni bahwa responden paling sering melihat informasi yang dicurigai sebagai hoaks di media sosial (82,53 persen), dibanding sumber maupun platform lain seperti pesan berantai di aplikasi pesan seperti WhatsApp, artikel online, dan percakapan langsung dengan teman/keluarga.

Temuan itu menandakan bahwa publik beranggapan, upaya mengatasi persebaran hoaks perlu peran platform dan pemerintah, tidak hanya dilakukan oleh individu dan kolektif.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty