tirto.id - Bukan kaum Republikan jika mereka tidak membuat gaduh. Media-media konservatif macam seperti WorldNetDaily, NewsMax, dan Fox News kemarin (15 /10/16) memberitakan laporan yang tidak enak didengar oleh para pendukung Hillary Clinton.
Dalam laporan itu, pada malam perhitungan suara cepat Pilpres AS, Hillary tidak terima dengan hasil yang condong pada Donald Trump. Hillary dikabarkan mabuk-mabukan di kediamannya dan berteriak-teriak psikotik, mencaci maki FBI, dan Rusia yang ditengarainya jadi biang kerok kekalahan.
Di tengah ketidaksadarannya itu pada jam 1 malam Hillary menjadi buas dan melakukan tindak kekerasan fisik kepada penasihatnya, Robby Mook dan John Podesta. Kondisi ini yang jadi sebab kenapa Hillary tidak muncul mengakui kekalahannya dengan segera sehingga harus menunda keesokan hari.
Agar dia bisa tetap tenang dikabarkan dokter memberi obat penenang amfetamin dalam dosis tinggi, akibatnya hidung Hillary terlihat mimisan. Soal mimisan ini terlihat betul saat dia hendak naik ke panggung.
Kabar Hillary yang stres berat ini memang tidak terkonfirmasi. Tapi sebuah video beredar di dunia maya memperlihatkan pada Rabu dini hari Hillary terlihat turun dari pesawat dengan sempoyongan sembari dipapah ajudannya. Saat hendak masuk ke mobil dia meracau berteriak tidak jelas layaknya seperti orang mabuk.
Terlepas benar atau tidaknya insiden stres Hillary pada malam itu, pidato pengakuan kekalahan Hillary di Ballroom Hotel New Yorker dipuji banyak pihak. “Kekalahan ini menyakitkan, tapi tolong jangan pernah berhenti meyakini, bahwa berjuang untuk hal yang benar itu pantas dilakukan," ucap Hillary meyakinkan para pendukungnya.
"Tadi malam saya sudah mengucapkan selamat kepada Donald Trump dan menawarkan kerja sama atas nama negara kita. Saya harap dia akan menjadi presiden bagi semua rakyat AS,” katanya lagi.
Dengan suara bergetar dia pun meminta maaf kepada para pendukungnya. "Saya minta maaf karena kita tidak memenangkan pemilu atas nilai-nilai yang kita bagi bersama. Saya tahu Anda kecewa, karena saya pun merasakannya."
Menarik mencermati kata “Saya minta maaf” yang diucapkan Hillary. Hasil riset majalah Fortune kemarin (15/6/16), Hillary adalah capres pertama yang meminta maaf pada pidato kekalahan pilpres. Temuan ini didapat Fortune setelah mentranskrip pidato kekalahan capres-capres yang kalah sejak 1952—saat pidato kekalahan mulai ditayangkan di televisi.
Meski dibalut kekecewaan mendalam, respons Hillary menyikapi kekalahan itu lebih cepat ketimbang capres lainnya. Hillary memberikan pidato sehari setelah pilpres atau tepatnya hari Rabu pukul 9.05 pagi.
Pada Pilpres 2004, Capres dari Demokrat John Kerry melakukan pidato kekalahan pukul 11.02. Sedangkan dua kandidat Partai Republik yang dikalahkan Barrack Obama pada Pilpres 2008 dan 2012 melakukan pidato lebih cepat, yakni malam di mana hari pemilihan berlangsung. John McCain melakukannya jam 11.20 malam dan Mitt Romney pukul 00.49 dini hari.
Tapi tidak peduli seheroik apapun Hillary mengakui kekalahan, pada dasarnya dalam pilpres hanya ada dua pilihan: menang atau kalah. Sejarah cenderung memperhatikan para pemenang. Hillary pun kini akan hidup dalam bayang-bayang.
Meski karier politiknya bakal tamat, Hillary masih punya banyak peluang untuk berkarya. Tak hanya itu, pundi-pundi kekayaannya bisa tetap bertambah meski tidak menjadi presiden. Misalnya saja dengan menjadi pembicara. Hillary diyakini akan mendapatkan bayaran yang tinggi jika menjadi seorang pembicara. Saat kalah di konvensi partai Demokrat 2008, tarif untuk mengundang Hillary berkisar $200.000. Kini tentu angkanya bisa lebih besar. Al Gore yang dikalahkan George W Bush kini menjadi pembicara dan dibayar sekitar $100.000 per acara.
Selain dari ceramah-ceramah, para capres kalah juga bisa mendapat pundi-pundi dari aktivitas lain, baik itu terlibat dalam pemerintahan, hukum, militer ataupun berbisnis. Salah satu negarawan yang paling terkenal dari abad ke-19, Henry Clay, dia tetap nekat maju sebagai capres selama tiga kali, dan tiga kali juga dia kalah. Saat kalah pada 1824, dia menjadi menteri luar negeri.
Dia maju lagi 1832 dan 1844 setelah gagal dia fokus di senat, dan sukses menjadi negosiator perang sipil. “Pekerjaan ini membuat saya lebih berguna ketimbang jadi presiden,” kata Clay.
Ada juga Thomas Dewey, yang saat menjabat Gubernur New York dia nekat menantang Frankly D Roosevelt dan Harry S Truman dua kali berturut 1944 dan 1948. Dua kali pula dia gagal. Karir Dewey sebagai politikus semakin melejit saat dia pindah ke partai Republik pada 1964. Meski bukan jadi presiden, Dewey menjadi tangan kanan Richard Nixon dan memimpin Gedung Putih.
Di bidang hukum, ada William Jennings Bryan yang kemudian jadi pengacara terkenal membela John Thomas Scopes melawan negara bagian Tennese dalam kasus ketidakadilan pada 1925. Jangan lupakan juga Charles Evans Hughes, yang kalah oleh Thomas Woodrow Wilson pada 1916, namun berhasil menjadi Ketua Mahkamah Agung Internasional di Den Hag enam tahun kemudian.
Jika enggan aktif di politik, Hillary bisa berkecimpung di dunia bisnis layaknya William Jennings Bryan yang memulai surat kabar dan bekerja di real estate atau James M. Cox yang menjadi raja media dengan Cox Enterprises. Atau ia bisa meniru George McGovern yang mempunyai sebuah toko buku di Montana dan dan pabrik motor di Connecticut.
Andai Hillary ingin terlihat sebagai nenek tua yang masih tetap progresif, dia mungkin bisa jadi aktivis seperti Wendell Willkie yang terus mendukung hak-hak sipil dan berbicara tentang perlunya mengakhiri Jim Crow. Atau Eugene Debs, calon partai sosialis di dekade 1900 yang terus mengadvokasi hak-hak pekerja dan pasivisme.
Jika ingin lebih mainstream dan populis, Hillary bisa belajar pada Al Gore yang setelah kalah dalam pemilu 2000 beralih haluan jadi aktivis lingkungan dan aktor film dokumenter An Inconvenient Truth. Al Gore bahkan diganjar piala Oscar dan membuatnya mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.
Demikianlah. Hillary tak usah khawatir, sebab banyak jalan kehidupan yang bisa dia lakukan seperti para pendahulunya. Tapi jika ia tetap nekat, saat 2020 nanti ketika umurnya mencapai 73 tahun, Hillary bisa tetap memaksakan maju lagi sebagai capres. Dia bisa meniru Richard Nixon, Adlai Stevenson, Thomas Dewey, William Jennings Bryan, Henry Clay, William Henry Harrison, Andrew Jackson dan bapak pendiri bangsa Thomas Jefferson.
Jika beruntung Hillary akan senasib dengan Nixon, Harrison, Jackson dan Jefferson yang akhirnya bisa menang setelah mengalami kekalahan. Tentu tanpa melupakan bahwa Hillary akan terhadang masalah usia yang semakin uzur.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani