tirto.id - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah merilis meterai keluaran terbaru Rp10.000 untuk menggantikan meterai desain lama keluaran 2014. Apa saja dokumen yang kena bea meterai Rp10.000?
Dokumen yang kena meterai Rp10.000 menurut Undang-Undang (UU) Bea Meterai Nomor 10 Tahun 2020 yang mengatur tarif tunggal menjadi Rp10.000, seperti dilansir laman pajak.go.id yaitu:
1. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata.
2. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Dalam penjelasan terkait poin 1, mengenai dokumen yang bersifat perdata adalah meliputi:
1. Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya.
2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya.
3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya.
4. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang.
7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000 (lima juta rupiah) yang menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan.
8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun yang dimaksud dengan dokumen adalah meliputi sesuatu yang ditulis atau tulisan, baik dalam bentuk tulisan tangan, cetak, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
Undang-Undang (UU) Bea Meterai baru tersebut telah disahkan pada September 2020 di DPR dan efektif berlaku mulai 1 Januari 2021.
"Sekarang UU bea meterai ini tarifnya hanya satu, Rp10.000," kata Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo pada 30 September 2020 dilansir laman Kemenkeu.
Tujuan pemberlakuan tarif tunggal itu adalah untuk memberikan kesetaraan antara dokumen kertas dan elektronik. Selain itu, tarif Rp10.000 adalah bukti bahwa pemerintah memberikan keberpihakan kepada masyarakat dan UMKM.
Tujuan terakhir dari pemberlakuan tarif tunggal Bea Meterai adalah untuk penyederhanaan dan efektivitas melalui tarif tunggal dan meterai elektronik.
Masa Transisi
Sebelum pemberlakuan regulasi baru sepenuhnya yang dimulai sejak 1 Januari 2021 itu masyarakat masih dibolehkan menggunakan meterai Rp3.000 dan meterai Rp6.000 dalam masa transisi yakni sampai 31 Desember 2021, demikian menurut UU Bea Meterai terbaru.
Alasannya adalah agar pemerintah dapat mengumpulkan penerimaan atau pemasukan dari bea meterai lama, sekaligus menghabiskan stok meterai yang sudah terlanjur dicetak sebelum RUU Bea Meterai disahkan secara resmi.
Sesuai ketentuan yang dibuat DJP, meterai Rp6.000 dan Rp3.000 dapat digabungkan sehingga mencapai Rp9.000, atau Rp6.000 dan Rp6.000 sehingga mencapai Rp12.000.
Juga meterai Rp3.000 digunakan berdampingan sebanyak 3 lembar hingga jumlahnya mencapai Rp9.000, masih boleh dipakai dalam dokumen sampai masa transisi berakhir. Ini dapat dilakukan paling lambat sampai akhir tahun 2021.
Dengan demikian maka tidak terjadi pemborosan pada stok meterai yang sudah dicetak dan terlanjur beredar di masyarakat.
Penulis: Cicik Novita
Editor: Ibnu Azis