tirto.id - Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa lepas dengan yang namanya proses komunikasi. Komunikasi juga merupakan salah satu kemampuan dasar yang penting untuk dimiliki oleh setiap individu.
Komunikasi interpersonal (antar-pribadi atau antar-individu) adalah salah satu contoh komunikasi yang paling sering diterapkan oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Dikutip dari artikel “Komunikasi Interpersonal Pustakawan” dalam Jurnal Iqra’ (Vol. 5, No. 1, 2011), ahli komunikasi, Joseph A DeVito berpendapat bahwa komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi yang dapat terjadi di antara dua orang yang telah memiliki hubungan jelas yang terhubungkan melalui beberapa cara. Dalam hal ini, suatu interaksi hanya dapat dikatakan sebagai hubungan apabila tiap individu yang terlibat berinteraksi di tempat dan media yang sama.
Maka dari itu, komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif apabila melalui permulaan hubungan yang baik pula.
Salah satu teori yang membahas tentang hubungan dalam perspektif komunikasi interpersonal adalah teori penetrasi sosial. Teori ini pertama kali dipopulerkan oleh dua orang pakar psikologi, yakni Irwin Altman dan Dalmas Taylor pada tahun 1973.
Teori penetrasi sosial membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan antar-individu yang terjadi dalam sebuah hubungan. Teori ini memungkinkan individu untuk dapat saling mengenal dalam sebuah hubungan melalui proses pembukaan diri atau pengungkapan informasi.
Merujuk pada catatan Ristiana Kadarsih dalam “Teori Penetrasi Sosial dan Hubungan Interpersonal” yang dimuat Jurnal Dakwah (Vol. 10 No. 1, 2009), Altman dan Taylor menganalogikan proses dalam penetrasi sosial sebagai lapisan bawang.
Pada hakikatnya, setiap individu memiliki beberapa lapisan kepribadian (nilai-nilai, konsep diri, konflik, dan emosi) yang apabila dikupas permukaannya akan ditemui lagi lapisan-lapisan yang lainnya.
Asumsi Teori Penetrasi Sosial
Berikut ini empat asumsi dasar teori penetrasi sosial, seperti diterangkan oleh Annisa Fitriani di artikel berjudul “Penetrasi Sosial dalam Pernikahan Beda Budaya” dalam Jurnal Al-Adyan (Vol. 10, No. 1, 2015):
1. Hubungan memiliki kemajuan dari tidak intim menjadi intim
Ini berarti bahwa hubungan interpersonal dimulai dari tahapan superfisial atau kedekatan dan bergerak secara berkelanjutan menuju tahapan yang lebih intim.
2. Perkembangan hubungan bersifat sistematis dan dapat diprediksi
Pada umumnya, hubungan interpersonal bergerak dalam cara yang teratur dan dapat diprediksi. Meskipun tidak diketahui arah perkembangannya secara pasti, proses penetrasi sosial ini cukup teratur dan dapat diperkirakan.
3. Perkembangan dalam hubungan mencakup depenetrasi dan disolusi
Sebuah hubungan dapat menjadi berantakan, atau menarik diri (depenetrate), dan mengalami kemunduran hingga menyebabkan terjadinya disolusi hubungan. Di sini, proses komunikasi memiliki peran penting karena memungkinkan untuk menggerakkan suatu hubungan menuju tahap keintiman atau malah mundur ke tahap ketidakintiman.
4. Pembukaan diri merupakan inti dari perkembangan hubungan
Pembukaan diri (self-disclosure) adalah proses yang bertujuan untuk mengungkapkan informasi mengenai diri sendiri kepada orang lain. Proses ini dapat membantu terjalinnya hubungan masa kini dan masa depan antar-individu.
4 Tahap dalam Proses Penetrasi Sosial
Dikutip dari salah satu artikel dalam Jurnal E-Komunikasi (Vol. 5, No. 2, 2017), teori penetrasi sosial memiliki 3 kategori tingkatan, yakni artificial level (awal hubungan), intimate level (hubungan dalam proses), very intimate level (hubungan yang lebih intim).
Sejalan dengan penjelasan tersebut, Annisa Fitriani melalui ulasan bertajuk “Penetrasi Sosial dalam Pernikahan Beda Budaya” dalam Jurnal Al-Adyan (Vol. 10, No. 1, 2015), menjelaskan 4 tahapan proses penetrasi sosial sebagai berikut.
1. Tahap orientasi (orientation stage)
Tahap orientasi bisa juga disebut proses membuka sedikit demi sedikit. Ini merupakan tahapan awal dari interaksi tingkat publik, saat individu hanya akan membuka sedikit informasi mengenai dirinya kepada orang lain. Di tahap ini, terjadi komunikasi yang bersifat tidak pribadi (impersonal).
Di tahap ini, jika individu yang terlibat dalam hubungan interpersonal merasa cukup mendapatkan umpan balik (feedback) dari interaksi awal, ia akan melanjutkan ke tahapan berikutnya.
2. Tahap pertukaran penjajakan afektif
Tahap pertukaran penjajakan afektif (exploratory affective exchange stage) bisa diartikan proses saat memunculkan diri. Pada tahap kedua ini, aspek-aspek kepribadian yang dimiliki individu akan mulai muncul. Aspek yang sebelumnya bersifat pribadi akan mulai membuka diri menjadi publik.
Meskipun demikian, individu tetap akan menyampaikan informasi dirinya secara hati-hati, karena ini merupakan tahap penentuan dimana suatu hubungan akan berlanjut atau tidak.
3. Tahap pertukaran afektif
Tahap pertukaran afektif (exploratory exchange stage) merupakan tahapan ketika komitmen dan kenyamanan mulai muncul dalam hubungan antarpribadi. Interaksi yang terjalin pada tahapan ini akan bersifat santai dan tanpa beban.
Komunikasi yang terjadi juga berjalan dengan spontan dengan membuat keputusan yang cepat, dan memberikan sedikit perhatian pada hubungan tersebut secara keseluruhan sehingga dapat memunculkan hubungan antar-individu yang lebih intim.
Di tahap ini pula mulai muncul pikiran kritis dan evaluatif yang mendalam. Pada akhirnya, tercipta komitmen yang lebih besar dan perasaan yang lebih nyaman terhadap pihak lainnya.
4. Tahap pertukaran stabil
Tahap pertukaran stabil (stable exchange stage) ditandai dengan sudah adanya kejujuran total dan keintiman dalam hubungan antarpribadi. Namun, tak banyak hubungan antar-individu yang dapat mencapai tahapan terakhir ini.
Di tahap ini, individu akan menunjukkan perilaku sangat intim dan sinkron atau berulang serta dapat diperkirakan oleh pihak lain secara cukup akurat. Makna yang disampaikan pun juga dapat ditafsirkan secara jelas dan tanpa keraguan.
Maka dari itu, individu yang mencapai tahapan ini telah membangun sistem komunikasi personal secara stabil. Proses tersebut dapat menghasilkan komunikasi yang efisien.
Penulis: Reynata Sanjaya
Editor: Addi M Idhom