tirto.id - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Yogyakarta menyarankan PT Angkasa Pura I (AP I) untuk menghentikan sementara proses pengosongan lahan untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport di Kulon Progo, DIY.
Pasalnya, berdasarkan hasil investigasi, Ombudsman menemukan adanya maladministrasi dalam proses tersebut.
"Proses pengajuan permohonan penetapan [konsinyasi] tidak sesuai dengan Pasal 41 dan 42 UU Nomor 2 Tahun 2012 dan Perma Nomor 3 Tahun 2013," kata Ketua ORI DIY, Budi Masturi dalam keterangan pers di Yogyakarta, Rabu (17/1/2018).
Dalam UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, diatur bahwa proses pengosongan lahan atau pembongkaran bangunan itu bisa dilakukan dengan ketentuan ada ganti rugi yang diberikan pada pihak yang berhak.
Pasal 42 UU Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan, "dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat."
"Fakta di lapangan, warga itu belum pernah melakukan musyawarah tentang ganti rugi juga tidak pernah menolak besaran bentuk dan ganti rugi, yang ditolak warga adalah bandara, sehingga AP tidak punya surat penolakan itu. Yang dilampirkan surat penolakan undangan, nah itu kan berbeda," kata Budi.
Padahal, menurut Budi, syarat konsinyasi (menitipkan uang ganti rugi di pengadilan) itu jelas diatur dalam UU tersebut, yaitu ada penolakan terhadap penawaran bentuk dan besaran ganti kerugian.
Selain terkait konsinyasi, maladministrasi yang ditemukan Ombudsman adalah soal jalan di rumah warga yang dilubangi oleh AP I.
"Bagi kami itu sepatutnya tidak dilakukan karena itu kan akses jalan masuk rumah, sehingga tindakan itu tidak patut dalam konteks maladministrasi," ujar Budi.
Oleh karena itu, Budi meminta AP I untuk menghentikan sementara proses pengosongan lahan sampai ditemukan solusi yang bisa diterima kedua belah pihak, dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum.
Kedua belah pihak diminta untuk kembali berdialog dengan melibatkan berbagai stakeholder. Dalam dialog itu, AP I juga harus memperhatikan aspek religio magis atau hubungan kebatinan warga dengan tanahnya.
"Itu harus jadi aspek yang diperhatikan, lalu hubungan sosial budaya, dan aspek jaminan sosial ekonomi untuk mereka," tandas Budi.
Tak hanya itu, AP I juga harus melakukan evaluasi terhadap pemimpin proyek pembangunan bandara, yang dinilai tidak ada sinkron dengan bawahannya.
"Di atas ber-statement tidak ada kegaduhan, kedepankan dialog dengan warga, tapi di bawah proses yang terjadi menimbulkan kegaduhan, ada SP, ada penutupan akses, dan sebagainya. Kan tidak seiya antara atas dan bawah," kata Budi lagi.
Terkait saran-saran yang diberikan Ombudsman ini, Sekretaris Proyek NYIA, Didik Catur menyatakan akan mempelajari dan mempertimbangkannya.
"Kami masih pelajari, masih kami rapatkan, keputusannya nanti tunggu setelah dirapatkan," katanya.
Di sisi lain ia optimistis bandara baru ini akan beroperasi sesuai target yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo, yakni pada April 2019.
"Pengerjaan masih land clearing, tapi karena ini proses percepatan, jadi pengerjaan dilakukan secara serentak, target tetap April 2019 beroperasi bandaranya," tegas Didik.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Alexander Haryanto