tirto.id - Pada tayangan langsung yang digelar Vanity Fair, Jony Ive, bos desain Apple dimintai komentarnya soal Xiaomi, perusahaan teknologi asal Cina yang dijuluki “Apple dari Timur.” Ive mengatakan Xiaomi dan perusahaan-perusahaan serupa asal Cina adalah pencuri.
“Saya tidak melihat mereka sebagai sesuatu yang harus disanjung. Saya melihat mereka sebagai pencuri,” tegas Ive.
Xiaomi didirikan pada 6 April 2010, sering dianggap sebagai perusahaan yang meniru Apple. Saat Apple memiliki iPhone, Xiaomi punya smartphone “mi” atau “redmi.” Sang pendiri, Lei Jun, dicitrakan sebagai Steve Jobs asal Cina. Namun, sebagaimana diwartakan The New York Times, Jun menolak anggapan itu. Ia menegaskan “Xiaomi membikin ponsel yang mirip komputer, dan itu ialah ide baru. Xiaomi melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan perusahaan lain lakukan."
Xiaomi dan Lei Jun memang kontroversial, tapi tak semua para pesohor teknologi mencacinya. Kai-Fu Lee, mantan eksekutif Google, mengomentari Jun sebagai "wirausahawan yang fenomenal".
Kesuksesan Xioami mengapalkan 28 juta unit smartphone pada kuartal I-2018, dilipatgandakan dengan langkah Xiaomi melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) di Hong Kong Stock Exchange pada 9 Juli 2018. Melalui IPO, Xiaomi meraih dana sebesar $4,7 miliar dengen melepas 2,18 miliar lembar saham.
Pada IPO, harga saham Xiaomi dilepas pada angka HK$17 per saham. Namun, nilai itu turun menjadi HK$16 per lembar setelah tak beberapa lama momen bersejarah itu. Harga saham Xiaomi sempat naik kembali ke titik HK$16,54. Jelang penutupan, nilainya bertahan di titik HK$16,98 per lembar. Namun, pada penutupan, nilai saham Xiaomi dijual seharga HK$16,8 atau $2,14.
Pergerakan saham Xiaomi di hari perdana IPO jauh di luar perkiraan. Xiaomi berharap memperoleh kapitalisasi pasar sebesar $100 miliar. Namun, dengan angka penutupan tersebut, kapitalisasi pasar Xiaomi di bursa saham hanya berada di angka $50 miliar, setengah dari yang mereka harapkan.
Sebagai “Apple dari Timur” capaian tersebut jauh dari yang diperoleh Apple. Pada 12 Desember 1980, Apple melakukan IPO. Pada IPO, harga per saham Apple dipatok $22, hampir sepuluh kali lipat yang diperoleh Xiaomi kini.
Koresponden Quartz, Josh Horwitz, dalam ulasannya mengatakan kegagalan Xiaomi memperoleh yang diharapkan terjadi karena bisnis model, Lei Jun disebut “spesies baru.” Bisnis model Xiaomi merupakan “triathlon model,” yang memiliki tiga komponen utama: smartphone, perangkat pihak-ketiga, dan layanan internet.
Horwitz mengungkapkan para investor “skeptis” dengan model bisnis ini. Terutama komponen smartphone, yang menyumbang 70,3 persen pendapatan Xiaomi, merupakan pasar yang labil, yang diincar banyak pihak.
Sebagaimana dilaporkan IDC, pada kuartal I-2018, Xiaomi berada di posisi keempat produsen smartphone yang mengapalkan ponsel cerdas terbanyak. Di kuartal yang sama setahun sebelumnya, tidak ada nama Xiaomi di lima besar. OPPO, yang mengapalkan 23,9 juta unit smartphone, mengekor ketat Xiaomi di posisi kelima.
Pada setahun sebelumnya, OPPO sempat menduduki posisi Xiaomi di nomor empat. Artinya, persaingan ketat terjadi di dunia smartphone. Keunggulan Xiaomi hari ini bukan jaminan bertahan di masa mendatang. Xiaomi pun harus memperhitungkan Huawei, Vivo, dan pemain lain seperti Samsung dan Apple.
Bisnis perangkat pihak-ketiga dan layanan internet belum optimal bagi Xiaomi. Perangkat pihak-ketiga baru menyumbang 20,5 persen pendapatan Xiaomi. Sementara layanan internet hanya memberi 8,6 persen pendapatan. Xiaomi punya pekerjaan rumah yang banyak, yang lantas diganjar investor dengan kepercayaan yang masih minim.
Lei Jun angkat suara, sebagaimana diwartakan Techcrunch, ia mengatakan “pasar kapital global senantiasa berubah.” Gagalnya Xiaomi memperoleh kapitalisasi pasar sebesar $100 miliar terjadi karena tensi yang tinggi antara Beijing dan Gedung Putih.
Menghindari IPO
Xiaomi memilih jalan dengan melantai di bursa untuk mendapatkan dana segar, tapi tidak semua perusahaan smartphone Cina melakukan IPO. Huawei misalnya, Ren Zhengfei, pendiri Huawei, tegas mengatakan perusahaan tersebut tidak berniat melakukan IPO “dalam lima hingga 10 tahun mendatang.”
“Rumor yang mengatakan bahwa Huawei akan melakukan IPO adalah sesuatu yang tanpa alasan,” tulis Zhengfei dalam memo internalnya yang bocor ke publik.
Sebagaimana diwartakan Financial Times, keputusan Zhengfei untuk menjauh dari IPO karena menurutnya para pemegang perusahaan publik ialah sosok yang “rakus” dan hanya mementingkan keuntungan jangka pendek.
“Kenyataannya, pemegang saham publik ialah sosok yang hanya menggigit setiap senti perusahaan,” cetus Zhengfei.
“Orang yang memiliki Huawei bukanlah sosok serakah [...] itulah salah satu alasan mengapa kami melampaui rekan-rekan kami,” tegas Zhengfei.
Huawei bukanlah perusahaan kecil, seandainya bila mereka IPO, kapitalisasi yang didapat diprediksi melampaui yang dicapai Xiaomi. Pada 2018 ini, Huawei memperkirakan akan memperoleh pendapatan hingga $100 miliar, yang akan dicapai melalui kemampuan mereka menyediakan teknologi 5G dan Internet of Things (IoT). Perkiraan tersebut tak terlalu muluk. Pada 2016 Huawei memperoleh pendapatan 603,6 miliar yuan, setara dengan $92,5 miliar.
Berbeda dengan Huawei, BBK Electronics, induk perusahaan OPPO, Vivo, dan OnePlus. Merujuk SeekingAlpha, perusahaan yang memiliki valuasi pasar sebesar $70 milia, berharap melakukan IPO. Sayangnya, tidak diketahui kapan aksi korporasi tersebut dilakukan.
IPO atau tidak jadi kontroversi. Felix Salmon, dalam tulisannya di Wired, mengatakan secara tersirat bahwa IPO, bagi startup teknologi, merupakan sesuatu yang sebaiknya dihindari, contohnya Facebook.
Pada 18 Mei 2012 Facebook melakukan IPO. Mereka meraih $5 miliar dari aksi korporasi itu. Meski menghasilkan dana yang tinggi, Salmon mengungkap melantai di bursa bukanlah keinginan Facebook, atau kehendak Mark Zuckerberg. Ini terjadi karena “aturan SEC (U.S. Securities and Exchange Commision) yang mengharuskan” ketika sebuah perusahaan memiliki lebih dari 500 pemegang saham, perusahaan itu wajib melantai di bursa.
“Go public mungkin baik bagi investor atau pegawai, tapi buruk bagi dirinya sendiri,” tulis Salmon.
Alasannya, karena melantai di bursa, pemimpin perusahaan hanya mementingkan fluktuasi pergerakan nilai saham jangka-pendek. Ini persis seperti apa yang dikhawatirkan Zhengfei.
Pada konteks Facebook, Zuckerberg sebagai pendiri masih menggenggam 56,9 persen suara perusahaan. Ia masih mudah mengendalikan Facebook. "Steve Jobs dari Asia" Lei Jun harus belajar banyak dari Zuckerberg.
Editor: Suhendra