Menuju konten utama

Ani Choying Drolma, Menjadi Penyanyi Sekaligus Biksuni

Jalan panjang seorang anak korban KDRT menjadi biarawati dan musisi.

Ani Choying Drolma, Menjadi Penyanyi Sekaligus Biksuni
Ani Choying Drolma menyanyikan sebuah lagu pada Konferensi Buddhis Internasional pada Mei 2016. Foto/RSS

tirto.id - Masa kecilnya tak begitu menyenangkan. Tak seperti sebagian besar anak-anak lainnya yang mungkin asik bermain bersama ayahnya atau ibunya. Sejak kecil ia sudah biasa melihat kekerasan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya, termasuk juga mengalami sendiri kekerasan kepadanya.

Di usianya yang baru 10 tahun, hidupnya penuh amarah dan ketakutan. Pengalaman kekerasan di dalam rumah membuatnya memutuskan untuk menjadi biarawati Buddha di Nepal. Biarawati dilarang untuk menikah sehingga ia tak perlu menikah suatu saat. Pikirnya, jika tak menikah, tak akan ada yang melakukan kekerasan kepadanya, dan ia tak akan mengalami penderitaan ibunya yang ia saksikan dan rasakan saat kecil. Ia memilih menjadi Biarawati agar terlepas dari kekerasan.

Orang tuanya menyetujui pilihannya tersebut. Tiga tahun kemudian, ia diterima menjadi biarawati. Nagi Gompa, biara yang terletak di lembah Kathmandu, menjadi rumahnya. Ia menyebut tempat itu “surga”. Biara dengan pemandangan yang indah dan tak ada kekerasan karena tentunya ia tak dipukuli di tempat tersebut.

“Pada awal saya tinggal di biara, saya masih sangat liar dengan banyak hal negatif dalam hati saya, dalam pikiran saya. Saya selalu siap untuk melindungi diri. Itu artinya menjadi marah atau melawan. Tetapi secara perlahan-lahan terjadi perubahan....,” katanya, seperti dikutip NPR.

Masa kecilnya yang hilang, ia dapatkan kembali di tempat itu. Ani Choying Drolma atau ia biasa disapa Ani Choying atau Ani Drolma tumbuh dan menjadi biksuni yang dikenal di Nepal bahkan di dunia. Ia masyhur karena melakukan apa yang jarang dilakukan orang lain: menjadi biksuni dan menjadi musisi.

Bernyanyi Demi Anak-Anak dan Perempuan Nepal

Perjalanan Drolma ke panggung musik dunia dimulai pada 1994 saat itu ia baru berusia 23 tahun. Produser asal Amerika Serikat Steve Tibbetts tertarik dengan suara merdu Drolma. Steve merekam suara Drolma dan rekaman itu ia kriim ke produser musik legendaris Joe Boyd.

Boyd juga tertarik dengan suara Drolma. Pada 1997, Steve Tibbetts kembali ke Kathmandu untuk melakukan proses rekaman dengan Drolma. Album pertama Drolma dinamai Cho. Setahun kemudian, ia membawa Drolma dan dua biarawati lainnya untuk melakukan tur di AS sebagai konser pertama mereka di Iron Horse Saloon di Northampton.

Tak hanya di satu tempat ia melakukan konser di AS. Drolmal melakukan konser di 22 wilayah di AS. Sedangkan untuk keseluruhan, pada tahun 1998 tersebut, Drolma telah melakukan 400 konser di seluruh dunia. Di panggung ia tak mengubah penampilannya. Ia tetap menggunakan pakaian biksuni pada umumnya.

Ketika kembali ke Nepal, Drolmal membeli komputer dan memasang internet dan ia mulai membuka akun bank. Uang hasil dari tur di AS serta penjualan CD itu ia gunakan untuk merealisasikan mimpinya membangun yayasan yang dinamai Nuns' Wefare Foundation (NWF) pada 1998.

Dua tahun setelah membangun NWF, Drolma membangun Arya Tara Boarding School di Kathmandu. Kini tempat tersebut menjadi rumah bagi 80 biarawati muda dari keluarga tak mampu di Nepal dan India.

“Aku ingat [menerima] surat dari Ani setelah tur pertama kami. Katanya ia menyadari kesempatan untuk membuat uang riil di dalam perjalanannya dan memenuhi mimpinya untuk membangun sekolah untuk anak perempuan yang dalam kesulitan. Ia mengatakan ia ingin melakukan lebih dari sekadar tur,” kata Steve Tibbetts.

Menjadi musisi merupakan pilihan Drolma untuk membantu anak-anak Nepal. Karena baginya, dengan kemampuan finansial yang kuat, ia dapat dengan mudah membantu mereka yang berkekurangan. Termasuk memberdayakan anak-anak perempuan.

Menurut data UNICEF, di Nepal terdapat sekitar 1,6 juta anak yang bekerja sebagai pekerja anak. Sementara 5000 anak hidup di jalanan. Demikian pula terdapat 11,5 ribu perempuan dan anak-anak diperdagangkan atau yang berusaha untuk diperdagangkan pada tahun 2011.

Penderitaan anak-anak bertambah dengan karena cara mendisiplinkan anak-anak di Nepal masih menggunakan metode kekerasan. Menurut UNICEF, empat dari 10 pengasuh yakin jika anak-anak harus dihukum secara fisik.

Kekerasan kemudian menimbulkan tidak hanya luka fisik tetapi juga luka pada mental pada. Kekerasan juga merusak proses belajar dan perkembangan anak-anak. Sehingga melalui bermusik, Drolma berharap uang yang ia kumpulkan dapat mengeluarkan anak-anak tersebut dari belenggu kekerasan dan kesulitan hidup.

“Saya berjanji untuk menggunakan pengalaman saya dan popularitas untuk membawa isu-isu anak dan remaja ke permukaan. Melalui lagu-lagu saya, saya berusaha untuk mencapai sudut atau celah dari Nepal dalam upaya meningkatkan kehidupan anak-anak dan remaja,” ujar Drolma.

Perhatiannya terhadap anak-anak dan perempuan di Nepal membawanya pada sejumlah penghargaan. Ia dinobatkan menjadi duta UNICEF nasional Nepal pada tahun 2014 sebagai biksuni pertama dengan gelar duta bagi badan khusus PBB tersebut.

Melawan Pemikiran Konservatif

Tindakan Drolma tentu berlawanan dengan tradisi Buddha di Nepal. Meski yang ia lakukan adalah demi kebaikan orang lain sesuai dengan ajaran Buddha, akan tetapi caranya untuk berbagi kebaikan dengan orang lain dianggap melawan tradisi Buddha.

Seorang biksu Buddha di Swayambhu Shrine mempertanyakan bagaimana ia dapat berdamai untuk hidup sederhana, dengan ketenaran dan kekayaan yang ia kumpulkan dari berkarier di dunia musik selama dua dekade.

“Bagaimana bisa seorang biarawati menghasilkan uang dengan menjual suaranya, hidup mewah dan mengklaim ia biarawati?” tanya Surya Shakya.

Infografik Ani Choying Drolma

Kritik terhadap Drolma tentu beralasan. Mereka yang ingin menjadi biksu biasanya akan meninggalkan hal-hal yang berbau duniawi. Mereka bahkan rela meninggalkan harta kekayaan mereka saat memutuskan untuk menjadi seorang biksu atau biksuni.

Tenzi Palmo, seorang pustakawan asal London rela meninggalkan pekerjaannya untuk menjadi biarawati Buddha. Ia bahkan menghabiskan 12 tahun di dalam gua. Ada juga model cantik India, Barkha Madan, yang juga meninggalkan gemerlapnya dunia modeling dan memilih menjadi biarawati.

Menanggapi kritik yang datang kepadanya, Drolma dengan santai mengungkapkan jika kritik adalah hal yang wajar. Menurutnya, dunia akan selalu menemukan cara untuk memuji dan menyalahkan orang.

Hidupnya yang dikeliling harta yang melimpah, menurut Drolma, adalah hal yang baik. Biarawati yang harus hidup sederhana atau miskin adalah pemikiran dari sudut pandang kaum konservatif. Menurutnya itu adalah sikap yang salah. Ia menjual CD dan mendapatkan uang, konser-konser yang ia lakukan pun menghasilkan uang dan menurutnya, itu dapat membuat hidup menjadi lebih baik.

“Saya benar-benar melawan konservatifisme, ide konvensional seorang biarawati Buddha. Beberapa orang berpikir bahwa biarawati Buddha haruslah menjadi orang yang tidak tampil di depan termasuk di media, yang terisolir.... selalu di biara, selalu menjadi orang yang pemalu. Tetapi saya tidak percaya itu,” tegas Drolma.

Terlepas dari pilihan Drolma yang kontroversi, kini ada ratusan anak termasuk perempuan di Nepal dapat mengenyam bangku pendidikan, mendapat kehidupan yang layak dan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan.

Baca juga artikel terkait BUDHA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Zen RS