tirto.id - Rencana pemindahan ibu kota selalu menarik diperdebatkan. Sejak zaman Bung Karno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ceritanya selalu sama dan berakhir hanya sebagai wacana. Pemilihan tempatnya pun beragam mulai dari Jonggol, Sentul sampai ke Palangkaraya. Bahkan baru-baru ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla menawarkan Mamuju di Sulawesi Barat sebagai lokasi ibu kota yang pas.
Terlepas dari adu proposal soal rencana lokasi, kali ini Presiden Jokowi bersama Menteri Bappenas, Bambang Brodjonegoro, selangkah lebih serius. Alasannya beban jakarta sudah terlalu berat karena faktor kepadatan penduduk dan kemacetan. Di sisi lain, Pemerintah ingin meningkatkan pemerataan ekonomi di luar Jawa.
Anehnya, dalam dokumen Nawacita maupun RPJMN 2015-2019, tidak tercantum satu kata pun tentang rencana pemindahan ibu kota Negara. Terlepas dari mana datangnya inspirasi pemindahan ibu kota, selayaknya rencana ini diuji manfaat dan mudaratnya. Apalagi Pemerintah sudah terlanjur membuat heboh baru-baru ini dan terlanjur mengusulkan tambahan anggaran Rp7 miliar ke DPR untuk pembuatan kajian.
Sepanjang catatan sejarah, pemindahan ibu kota sudah terjadi di lebih dari 40 negara. Mulai dari Rusia yang memindahkan ibu kota dari Moskow ke St. Petersburg kemudian kembali lagi ke Moskow, sampai tetangga Malaysia yang hijrah dari Kualalumpur ke Putrajaya.
Di luar negeri faktornya bisa bermacam-macam. Rusia sempat memindahkan Moskow ke St. Petersburg agar lebih dekat dengan Eropa yang modern. Sementara hijrah ibu kota Malaysia lebih bernuansa politik. Putrajaya dipilih sebagai ibu kota yang baru karena letaknya strategis untuk menghindari pusat Pemerintahan dari gangguan demonstransi.
Plus Minus Pindah Ibu Kota
Dalam konteks Indonesia, alasan pindah ibu kota untuk menciptakan pemerataan ekonomi nampaknya lebih masuk akal. Jakarta sudah terlalu lama menyedot kemakmuran dari daerah. 60% uang beredar di Jakarta. Pusat Pemerintahan, pusat bisnis dan keuangan semua terpusat di Jakarta. Ketidakadilan pembangunan yang sifatnya Jawa sentris ini jadi masalah yang tak kunjung selesai, mulai dari tingginya angka kemiskinan, melebarnya ketimpangan sosial, sampai pengangguran karena tak ada lapangan kerja tersisa di daerah.
Berdasarkan data BPS di triwulan I 2017, Jawa menguasai 58,49% perekonomian Indonesia. Sementara Kalimantan porsinya 8,33%, Papua dan Maluku hanya 2,26%. Timpangnya pertumbuhan antara wilayah menyebabkan Indonesia bagian ujung Timur dan Barat jadi lumbung kemiskinan nasional. Persentase penduduk miskin di Papua per September 2016 tercatat sebesar 28,4%, sementara Papua Barat 24,88%.
Begitu pun di ujung Indonesia bagian barat. Kemiskinan di Aceh mencapai 16,43% dari total penduduk. Indeks ketimpangan atau rasio gini Papua dan Papua Barat lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pembangunan Indonesia selama 72 tahun merdeka terbukti gagal menyejahterahkan rakyat di ujung negeri.
Melihat gawatnya permasalahan ketimpangan antar wilayah tersebut, pemerintah menawarkan jalan pintas yakni pemindahan ibu kota. Manfaat dari pembangunan ibu kota baru sudah jelas, pembangunan gedung Pemerintahan dan prasarana lainnya akan memberikan multiplier positif bagi perekonomian daerah.
Kepala Bappenas membuat asumsi sebanyak 400 ribu orang PNS akan dipindah ke ibu kota yang baru. Dari 400 ribu orang katakanlah ada rata-rata 3 orang anggota keluarga ikut pindah ke tempat yang baru. Maka pemerintah harus menyediakan pembangunan rumah untuk dihuni 1,2 juta orang.
Selain itu pembangunan fasilitas lainnya, seperti jalan tol, rel kereta api, dan infrastruktur pendukung ibu kota, tentu menggiurkan bagi pengusaha lokal. Iming-iming pindah ibu kota juga langsung disambut hangat para Kepala Daerah di Kalimantan, terutama setelah kota Palangkaraya disebut-sebut menjadi salah satu opsi lokasi oleh Bappenas. Semua pihak sudah mengantisipasi aliran uang yang masuk ke kas-kas Pemda ketika pembangunan ibu kota baru dimulai. Siapa yang tak mau kecipratan untung dengan pembangunan mega proyek semacam ini?
Pada 10 Juli 2017 menyikapi wacana pemindahan ibu kota, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng, berdasarkan keterangan resminya, telah menyiapkan lahan untuk ibu kota baru seluas 300 ribu hektar (ha). Sedangkan Bappenas sudah memberi lampu hijau lantaran pemilihan Kota Palangkaraya sudah memenuhi beberapa syarat, misalnya tidak memiliki gunung berapi dan lautan lepas sehingga aman dari ancaman bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami. Sekali lagi pemindahan ibu kota ibarat oase bagi masyarakat di luar jawa, khususnya Kalimantan, yang sempat dihajar pelemahan harga komoditas sehingga pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi sempat negatif pada 2016 lalu.
Namun, di antara banyaknya manfaat dari hijrah ibu kota, terdapat dampak negatif yang perlu dicermati. Tesis bahwa pindah ibu kota akan membawa pemerataan ekonomi dalam jangka panjang belum tentu terjadi. Dari mulai pemindahan ibu kota baru diwacanakan ke Palangkaraya, harga tanah sudah mulai meroket. Spekulan tanah dengan lahap mulai menghabisi tanah masyarakat.
Ada kekhawatiran, sebelum pemerintah daerah memulai pembebasan lahan, tanah sudah tidak dimiliki oleh penduduk asli melainkan dimiliki orang kaya di Jawa. Masyarakat yang ingin diselamatkan dari jurang kemiskinan justru jatuh ke dalam permainan spekulan tanah. Mereka tergusur dari kampungnya dan digantikan para pendatang baru. Tamu-tamu tak diundang yang akan merasakan nikmatnya ibu kota baru.
Kesiapan Biaya Hijrah
Pindah ibu kota juga tidak semudah pindah kantor kecamatan atau kelurahan. Biaya yang dibutuhkan tentu jumbo. Kalkulasi sederhana pernah dilakukan oleh tim kajian pemindahan ibu kota di era Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.
Waktu itu, rencananya ibu kota dipindah ke daerah Jonggol, Jawa Barat, sekitar 40 km dari Jakarta. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru mencapai Rp100 triliun. Jonggol masih berada di Jawa Barat dengan fasilitas pendukung yang relatif lebih baik dari Palangkaraya.
Masalahnya kalau dipindah ke Palangkaraya, berapa biaya yang akan keluar. Beberapa ekonom mengestimasi biaya sekitar Rp500 triliun. Bahkan muncul kalkulasi hingga 10 kali lipat dari biaya pemindahan ibu kota ke Jonggol. Angka pastinya, mari menunggu hasil kajian Bappenas.
Tapi terlepas dari nafsu pindah ibu kota keluar Jawa, pemerintah sebaiknya lebih realistis melihat kondisi kas Negara saat ini. Defisit anggaran tahun 2017 dinaikkan dari 2,41% menjadi 2,92%. Artinya, pemerintah sedang tidak punya uang untuk membangun mega proyek ratusan triliun dari kas Negara. Pemerintah sedang dibuat pusing dengan jebolnya anggaran belanja yang naik Rp36 triliun dari kesepakatan awal.
Sementara itu penerimaan negara juga sedang prihatin. Target penerimaan pajak dalam APBN-P 2017 turun nyaris Rp48 triliun. Secara objektif, pembangunan ibu kota baru yang katanya dimulai tahun 2018 mendatang pantas diibaratkan pepesan kosong.
Kalaupun ada, opsinya adalah menambah utang baru. Masalahnya, utang kita selama 2,5 tahun terakhir sudah bengkak lebih dari Rp1.000 triliun. Total utang pemerintah sampai Mei 2017 tercatat sebesar Rp.3.672 triliun. Bahkan Pemerintah telah memproyeksikan utang sampai 2019 akan tembus di atas batas aman 30%.
Berhutang untuk bangun ibu kota bukanlah opsi yang bijak. Pemerintahan Jokowi-JK tinggal 1,5 tahun lagi. Sementara pembangunan ibu kota butuh waktu 5-8 tahun. Oleh karena itu sedari awal sudah muncul kecurigaan, sebenarnya untuk apa heboh mewacanakan pindah kota? Apakah sekadar menarik suara dari luar Jawa mendekati Pilpres 2019?
Apapun alasan politiknya, pindah ibu kota tetap niat yang baik. Tapi niat yang baik dengan cara yang salah cuma merugikan anggaran negara di masa yang akan datang. Oleh karena itu, niat baik harus diukur, dikaji dan jangan bombastis. Kasihan kalau akhirnya ibu kota tidak jadi pindah ke Palangkaraya karena anggaran cekak. Padahal rakyat Palangkaraya sudah di iming-imingi janji sejak zaman Sukarno.
Jadi Pak Jokowi dan Pak Bambang Brodjonegoro diharapkan jangan lagi menyakiti hati rakyat Palangkaraya dengan memberikan harapan palsu.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.