tirto.id - Saat Sergio Ramos dikutuk dan dimaki-maki oleh hampir seluruh suporter Liverpool, Ian Doyle malah berpikir sebaliknya: Liverpool seharusnya merekrut Sergio Ramos.
Ian bukan jurnalis yang baru belakangan mengikuti Liverpool. Ia sudah meliput Liverpool (juga Everton) selama 20 tahun, mengikuti laga-laga dua klub itu di berbagai ajang domestik maupun Eropa, bahkan mengikuti tur Liverpool ke Asia.
Komentar Ian tentu tidak otomatis benar hanya karena ia punya jam terbang tinggi meliput Liverpool. Ia tidak menampik reputasi brutal Sergio Ramos, ia tahu pemain itu sudah menerima 24 kartu merah, 18 di antaranya di La Liga -- rekor paling brutal di level kompetisi tertinggi di Spanyol. Justru di situlah inti argumentasi Ian yang diuraikan dalam artikel berjudul "Liverpool Should Sign Real Madrid's Sergio Ramos – or at Least Somebody Like Him".
Untuk cedera yang menimpa Salah, untuk sikutannya ke wajah Karius, juga untuk diving yang membuat Sadio Mane diganjar kartu kuning, Ian Doyle menulis, "Ramos yang mengatur pertunjukan di Kiev. Sebagai kapten [...] juru kampanye cerdik yang tahu bagaimana menyelesaikan pekerjaan dengan baik."
Menulis untuk Liverpool Echo, salah satu situsweb berpengaruh tentang Liverpool, Ian berkata bahwa Jurgen Klopp memainkan cara yang berbeda: membuat Liverpool secara berkala menjadi salah satu tim paling fair play di Inggris, yang menggetarkan Eropa dengan gaya menyerang yang secara konsisten menghasilkan hasil. Dengan senyum di wajahnya, Klopp membuat Liverpool menjadi, tulis Ian, "tim yang puritan".
Seraya menyebut Ramos sebagai "pemenang yang tak terbantahkan", Ian seakan hendak menegaskan betapa seluruh atribut yang dimiliki Ramos (baik sebagai bek dengan keterampilan mumpuni maupun sebagai bajingan yang menginspirasi rekan-rekannya) itulah yang justru tak dimiliki oleh satu pun pemain Liverpool.
Dari sanalah ia menyebut tiga pemain Liverpool yang menjadi bagian penting kejayaan Liverpool di Eropa pada dekade 1970an dan 1980an: Tommy Smith, Jimmy Case, dan Graeme Souness. Ian menyebut ketiganya sebagai "pemain luar biasa yang tidak takut menjadi lebih dari sekadar pemain bola jika dibutuhkan."
Setelah kelakuan Sergio Ramos di final Liga Champions 2018, setidaknya ada dua artikel lain yang juga menyebut nama Tommy Smith dan Graeme Souness. Pertama, David Kidd, kepala kompartemen olahraga The Sun. Karena The Sun tidak enak didengar bagi suporter Liverpool, masih ada nama berikutnya: Miguel Delaney, kepala para penulis sepakbola di The Independent.
Souness cukup familiar bagi penggemar sepakbola di Indonesia. Namun rasanya tidak dengan Tommy Smith.
Tommy Smith Tidak Dilahirkan
Menjelang pertandingan terakhir Jamie Carragher bersama Liverpool, Tommy Smith menulis tribute untuk Carragher di Liverpool Echo. Smith membuka tulisannya dengan nada yang emosional: “Besok saya akan berada di Anfield memberikan aplaus untuk salah satu putra terbaik Liverpool. Jamie Charragher layak menerima semua penghormatan yang diberikan kepadanya minggu ini sebagai abdi setia klub.”
Smith mengingat saat-saat terakhir menjadi bek Liverpool. Seakan hendak memberikan nasihat kepada yuniornya itu, ia menceritakan betapa tidak enaknya masa-masa awal setelah gantung sepatu. Ia merasakan hari-hari menjadi kosong.
Tommy Smith bermain untuk Liverpool selama lebih dari satu dekade, dari 1962-1978. Ia terlibat dan menikmati momen-momen bersejarah Liverpool. Setidaknya ada dua momen. Pertama, ia menjadi starter saat pertama kali Liverpool bermain dengan seragam merah-merah. Kedua, saat "You’ll Never Walk Alone" dikumandangkan pertama kalinya sebelum dan sesudah pertandingan Liverpool di Anfield, Smith juga berada di barisan pemain utama hari itu.
Dan yang paling penting: ia mempunyai reputasi besar selama berkarier di Anfield, reputasi sebagai “Hard Man” atau julukan lain yang lebih presisi: ”Andfield Iron”.
Julukannya itu didapat karena cara bermainnya sebagai bek yang sudi bermain keras dan tanpa rasa takut. Karakternya itu membuatnya bukan hanya sulit ditembus, tapi juga ditakuti lawan, juga menjadikannya sebagai idola.
Menyoal gaya bermain Smith, Shankly yang kerap dianggap sebagai figur ayah bagi Smith, hampir seperti figur Alex Ferguson bagi Cristiano Ronaldo, pernah berujar: “Tommy Smith tidak dilahirkan, ia ditambang”.
Dari Liverpool untuk Liverpool
Tommy Smith lahir di Liverpool pada 1945. Ia tumbuh dan berkembang sebagai penggemar Liverpool. Namun menjadi penggemar saja baginya tidak cukup. Suatu waktu, demikian ia berambisi, harus bisa menjadi pemain Liverpool.
Cita-citanya mulai terlihat masuk akal saat ia berusia 15 tahun: Ia bergabung bersama Liverpool sebagai petugas lapangan sekaligus sebagai salah satu pemain junior klub yang bermarkas di Anfield tersebut. Dalam satu waktu ia akan berlatih bersama rekan seangkatannya dan di waktu lainnya ia akan mempersiapkan lapangan agar para pemain bisa berlaga dengan nyaman.
Smith tidak membutuhkan banyak waktu untuk menarik perhatian di lingkungan barunya. Saat ia berlatih di Melwood bersama tim utama Liverpool, ia mengolongi (nutmeg) Gerry Byrne, bintang Liverpool saat itu. Ia pun merasa berada di puncak dunia, tetapi hanya untuk sesaat. Berapa menit setelahnya, Byrne menanduk kepalanya. Ia tersungkur, darah mengucur di kepalanya.
Bill Shankly memperhatikannya, lalu menasehatinya: “Jangan pernah mengolong Gerry Byrne jika Anda pikir bisa lolos begitu saja, Nak.”
Bill Shankly terus memperhatikannya dan sering memberikan nasehat kepadanya. Di bawah asuhan Godfather Shankly, ia mengalami perkembangan hingga akhirnya mendapatkan kontrak profesional pada musim panas tahun 1962. Pada Mei 1962 ia menjalani debut pertamanya: Smith masuk menggantikan Jimmy Meila, membantu Liverpool menang 5-1 atas Birmingham City di liga.
Namun kariernya masih jauh dari cemerlang. Setelah debutnya itu, ia tak dimainkan oleh Shankly di sepanjang sisa musim itu. Bahkan ia juga tak sekali pun tampil pada musim setelahnya, musim 1963-1964.
Smith tentu saja kecewa, tapi ia tak menyerah. Seperti nasehat Shankly, ia tidak akan mendengarkan omongan orang-orang tentang dirinya. Ia memilih terus berusaha kembali mendapatkan kesempatan bermain.
Kesempatan itu akhirnya datang dan dalam salah satu pertandingan menghadapi Anderlecht di kompetisi Eropa, Tommy mendapatkan pujian dari Shankly: “Pertandingan ini menandakan bahwa Tommy Smith adalah pemain bagus. Anak itu telah tiba.”
Setelah perandingan itu Tommy terus bermain, menjadi andalan lini belakang Liverpool. Di bawah asuhan Shankly, ia mencicipi gelar juara Piala FA pada 1965 dan 1974, gelar juara Liga Inggris pada 1965-1966 dan 1972-1973. Pada 1973 itu, Liverpool juga menjuarai Piala UEFA pada 1973, dan Smith yang menjadi kaptennya. Dan yang paling mustahil dilupakan: Smith menjadi bagian dari tim yang mempersembahkan gelar juara Piala Champions yang pertama bagi Liverpool.
Pada 25 Mei 1977 yang tak akan pernah terlupakan oleh Tommy Smith itu, di hadapan 30 ribuan pendukung Liverpool yang berduyun-duyun pergi ke Roma, ia menjadi salah dua pemain Liverpool yang benar-benar merupakan produk akademi Liverpool. Pemain lainnya adalah gelandang Ian Callaghan.
Pada hari bersejarah itu, hari yang "tak akan pernah hilang dari ingatanku, akan selalu terkenang sampai hari kematianku" menurut gelandang Liverpool Terry McDermott, Smith melakoni laga terakhirnya. Ia bahu membahu dengan Emlyn Hughes, orang yang mengambilalih ban kapten dari lengannya, menghadapi juru gedor Borussia Monchenggladbach seperti Juup Heynckees dan Allan Simmonsen, pemain Denmark yang di tahun itu di dapuk menjadi Pemain Terbaik Eropa.
Ia bukan hanya relatif berhasil menjaga pertahanan Liverpool, namun juga mencetak gol. Smith mencetak gol di babak kedua melalui sundulan memanfaatkan tendangan sudut. Gol lain yang dicetak Terry McDermott dan Philip Neal membuat Liverpool menumbangkan Monchengladbach dengan skor telak 3-1. Satu-satunya gol lawan dicetak oleh Simmonsen.
Saat Smith mencetak gol, komentator BBC Barry Davies saat itu mengucapkan kalimat: "It's Tommy Smith! Oh what an end to a career."
Ya, pertandingan terakhir Smith untuk Liverpool terjadi di laga terhebat di Eropa, dan ia mencetak gol, dan itu gol yang membantu klub kesayangannya meraih trofi Piala Champions pertamanya.
Ia meninggalkan Liverpool setelah menjalani 638 pertandingan di semua kompetisi. Ia lalu bermain untuk Tampa Bay Rowdlies dan Los Angeles Aztec di Amerika Serikat, sebelum kembali ke Inggris untuk bermain bersama Swansea, klub terakhirnya sebagai pemain.
Saat memperingati 100 tahun kompetisi Liga Inggris, Smith didapuk sebagai salah satu dari "100 League Legends".
Reputasi Sebagai Tukang Jagal
Smith muda boleh jatuh tersungkur saat Gery Byrne menanduknya di tempat latihan. Namun saat ia sudah menjadi andalan Liverpool, ia sering membuat nyali lawan-lawannya ciut. Ia tak takut melancarkan tekel dan melakukan duel udara berdarah-darah saat mengawal benteng pertahanan Liverpool.
Shankly mengibaratkan kegemarannya bermain keras itu melalui alegori yang terang benderang: “Smith akan tetap bertarung di dalam ruang yang tak ada orangnya”.
Situsweb thisisanflied.com, dalam sebuah artikel berjudul "Liverpool FC’s Hardest XI", menyebutnya sebagai pemain yang "secara harfiah menjadi pemain paling keras yang pernah berseragam Liverpool".
David Kidd, dalam artikel yang sudah disebutkan di awal tulisan, menyebut satu nama selain Souness dan Smith sebagai pemain Liverpool yang berkarakter keras dan rela berbuat apa saja untuk menjayakan Liverpool di Eropa. Nama pemain itu adalah Jimmy Case.
Case yang juga dipasang oleh Paisley di final Piala Champions 1977 itu, mengenang Smith sebagai teladan. Dalam autobiografinya, Jimmy Case: My Autobiography, ia menulis kesaksian:
"[Dengan] menonton Tommy Smith, saya belajar banyak tentang agresi dan tekel. Saya suka pendekatannya pada pertandingan. Jika aku melihat salah satu tekelnya, akan ada senyum berseri-seri di wajahku. [...] Hanya dengan menontonnya, aku bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak pernah menyerah karena, jika aku melakukannya, itu sama saja membiarkan Tommy masuk ke lapangan."
"Saya ingin mereka tahu bahwa tidak peduli jika harus menderita cedera saat melakukan sebuah tekel. [...] Itulah yang terjadi di Liverpool - menangkan bola dan kemudian berikan kepada pemain lain. Itu bukanlah demi Tommy atau Emelyn (Hughes) atau individu lain, itu tentang tim. Itulah yang saya yakini saat itu, dan begitulah cara saya bermain [untuk Liverpool]."
Karena karakternya itu, penggemar Arsenal pada masa itu akan khawatir saat Charlie George harus menghadapi Smith. Begitu pula dengan pendukung Manchester United, Chelsea, hingga pendukung Juventus. Mereka takut Bobby Charlton, Jimmy Graeves dan Michel Platini akan tersungkur. Bagi mereka, Smith tidak hanya tembok kokoh tapi sebuah martil yang bisa memalu siapa saja.
“Itu seolah aku akan merencanakan pembunuhan,” kenang Smith. “Saya tidak pernah memulai perkelahian di sepanjang hidup saya. Saya tidak bermain untuk menjatuhkan seseorang dan saya tidak pernah dikeluarkan dalam pertadingan karena melakukan tekel yang buruk. Saya hanya sekali mematahkan kaki seorang pemain Newcastle saat saya berusia 15 tahun. Saya lupa namanya, tetapi saya mengiriminya surat (permintaan maaf).”
Smith tak sedang membuat apologi. Meski suka bermain keras, Smith tak mempunyai niatan buruk saat terpaksa menjatuhkan lawan dengan tekel-tekelnya. Dialah tipe lama gentleman Inggris di lapangan hijau. Lawan-lawannya pun menghormatinya.
Bobby Charlton menganggapnya sebagai pemain “yang keras tapi adil”. Sementara itu, saat ia mengalami serangan jantung pada tahun 2008, tak sedikit orang yang mendoakan kesembuhannya.
Harry Redknapp, yang saat masih menjadi pemain berkali-kali berhadapan dengan Tommy, mengakui kerasnya gaya bermain Tommy. Dalam biografi berjudul A Man Walks On To a Pitch: Stories from a Life in Football, Harry menulis: "Liverpool memiliki Tommy Smith, yang cepat, tetapi seperti diizinkan untuk menendang Anda tanpa membuat wasit tertarik [untuk memberinya kartu]."
Saat ini, Smith sendiri harus menerima akibat dari kebiasaannya bertarung di atas lapangan. Kedua dengkulnya sudah tidak normal, pun dengan pinggul serta siku tangannya. Besi-besi bertebaran di dalam bagian tubuhnya. Situasi pahit yang membuat deskripsi Shankly tentangnya tampak bernada nubuat: seperti material lainnya, Tommy memang ditambang, bukan dilahirkan.
Penerbit dengan reputasi serius, Penguin, yang menerbitkan autobiografi Tommy Smith berjudul Anfield Iron, menyebutnya bukan hanya sebagai "jendela untuk melihat hari-hari gemilang Liverpool" namun juga "zaman keemasan sepakbola Inggris".
Apa yang dimaksud oleh Penguin dengan "zaman keemasan"? Tidak lain dan tidak bukan adalah masa ketika sepakbola bukanlah pertandingan tentang uang, saat sepakbola belum dikapitalisasi sebagai tambang bagi industri. Tommy tidak memiliki itu, ia bahkan menjual berbagai medali dan memorabilia yang dimilikinya untuk melanjutkan hidup dan agar bisa mewariskan sedikit uang untuk keluarganya kelak.
Bob Paisley mengucapkan ini tanpa belas: "Tommy tidak mematahkan lawan-lawannya dan kemudian menjualnya kembali sebagai barang rongsokan."
Itulah Tommy Smith. Lelaki yang membuat Anda tak bisa berharap menemukan piala di lemarinya melainkan -- menurut Sue Mott dalam tulisannya untuk The Telegraph -- “melihat tulang-tulang di lemarinya”.
Editor: Zen RS