Menuju konten utama

Ancam Gugat ke Arbitrase, Sikap Freeport Dinilai Arogan

Hikmahanto Juwana menilai PT Freeport bersikap arogan karena mengancam akan mengajukan gugatan ke arbitrase. PT Freeport merasa sejajar dengan pemerintah Indonesia.

Ancam Gugat ke Arbitrase, Sikap Freeport Dinilai Arogan
President dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C Adkerson menyampaikan keterangan dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2). Freeport menolak untuk mengakhiri kontrak karya dengan pemerintah namun masih membuka pintu untuk bernegosiasi terkait dengan izin operasi dan persetujuan ekspor konsentrat. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Ancaman PT Freeport kepada pemerintah Indonesia untuk membawa persoalannya ke arbitrase internasional merupakan bentuk arogansi. Pernyataan itu dipaparkan Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana.

"Ancaman Freeport tersebut merupakan bentuk arogansi karena Freeport merasa sejajar dengan pemerintah Republik Indonesia," ujar Hikmahanto Juwana di Jakarta, sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (21/2/2017).

Seperti diketahui, Freeport mengancam pemerintah Indonesia untuk membawa ke arbitrase bila dalam jangka waktu 120 hari tidak membolehkan Freeport mengekspor dan mempertahankan Kontrak Karya atau dibuatnya Perjanjian Stabilisasi Investasi.

Ini disebabkan karena Kontrak Karya mendudukkan pemerintah sejajar dengan Freeport.

"Apakah mungkin di era saat ini sebuah negara yang berdaulat dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha?" kata dia menegaskan.

Hikmahanto menekankan PT Freeport telah salah memposisikan pemerintah Indonesia secara sejajar mengingat kedudukan pemerintah ada dalam dua dimensi.

Dimensi pertama adalah pemerintah sebagai subjek hukum perdata. Pemerintah kerap memiliki posisi subjek hukum perdata dalam kegiatannya seperti melakukan pengadaan barang dan jasa.

"Sebagai subjek hukum perdata maka kedudukan pemerintah memang sejajar dengan pelaku usaha. Namun ada dimensi lain dari pemerintah yaitu sebagai subjek hukum publik. Sebagai subjek hukum publik maka posisi pemerintah berada di atas pelaku usaha dan rakyat," ungkap dia.

Ia mengatakan fiksi hukum yang berlaku adalah ketika pemerintah membuat aturan maka semua orang dianggap tahu.

"Pemerintah memaksakan aturan untuk diberlakukan dengan penegakan hukum. Bila rakyat atau pelaku usaha berkeberatan dengan aturan yang dibuat maka mereka dapat memanfaatkan proses uji materi baik di MK maupun MA," kata dia.

Ia mengatakan dua dimensi ini yang dinafikan oleh Freeport melalui Kontrak Karya dimana pemerintah seolah hanya merupakan subjek hukum perdata.

"Tidak heran bila Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum negara Indonesia dengan Kontrak Karya. Bila demikian apa bedanya Freeport dengan VOC di zaman Belanda?," ujar dia.

Perlu dipahami, lanjutnya, pemerintah sebagai subjek hukum perdata tetap harus tunduk pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah sebagai subjek hukum publik.

Oleh karenanya Kontrak Karya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku.

"Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata dimana disebutkan bahwa perjanjian akan terlarang bila bertentangan dengan hukum," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Hukum
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari