tirto.id - Sebuah kelompok bersenjata di Libya mengatakan telah membebaskan Saif al-Islam, putra diktator Muammar Gaddafi, yang sebelumnya telah ditahan sejak November 2011.
Brigade Abu Bakr al-Sadiq, sebuah milisi mantan pemberontak yang menguasai kota Zintan di Libya barat, mengatakan bahwa Islam dibebaskan pada Jumat (9/6/2017) malam, "hari ke 14 bulan Ramadan", di bawah sebuah undang-undang amnesti yang diumumkan oleh parlemen berbasis di timur.
Negara di Afrika Utara ini memiliki administrasi tandingan, dengan pihak berwenang di timur tidak mengakui pemerintahan berdasarkan kesepakatan nasional (GNA) dukungan PBB yang berbasis di ibu kota.
Persaingan politik dan pertempuran antarmilisi telah menghambat usaha Libya untuk pulih dari kekacauan setelah pemberontakan tahun 2011 yang menggulingkan dan menewaskan Gaddafi.
Pejabat yang bersaing dan milisi itu telah bersaing untuk menguasai negara kaya minyak itu sejak revolusi di Libya terjadi.
"Kami telah memutuskan untuk membebaskan Saif al-Islam Muammar Gaddafi. Dia sekarang bebas dan telah meninggalkan kota Zintan,” sebuah pernyataan dari kelompok tersebut, sebagaimana dikuti dari The Guardian, Minggu (11/6/2017).
Zintan dikendalikan oleh kelompok bersenjata yang menentang pemerintahan GNA.
Islam ditahan berdasarkan ssurat perintah penahanan terkait kejahatan terhadap kemanusiaan yang diduga dilakukannya selama delapan bulan saat pemberontakan pada 2011. Otoritas Libya dan pengadilan pidana internasional (ICC) sedang dalam perselisihan tentang siapa yang berhak menghakiminya.
Saif al-Islam (44) lahir pada tanggal 25 Juni 1972. Namanya berarti pedang Islam dan dia adalah anak kedua dari delapan anak Gaddafi; putra sulung dari istri keduanya, Safiya.
Pembicara yang fasih berbahasa Inggris ini sering tampil di Barat sebagai wajah publik rezim ayahnya. Dia tidak memegang jabatan resmi namun memiliki pengaruh sebagai utusan setia rezim Gaddafi dan arsitek reformasi.
Pada bulan Juli 2016, pengacara Saif al-Islam mengklaim bahwa klien mereka telah dibebaskan dengan amnesti yang dikeluarkan oleh otoritas yang tidak dikenal di timur negara tersebut.
Namun, GNA mengatakan amnesti tersebut, yang diberlakukan pada bulan April tahun itu, tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tiga dari tujuh putra Gaddafi telah meninggal selama revolusi. Salah seorang anak yang selamat, Saadi, masih diadili di Libya atas tuduhan keterlibatannya dalam tindakan kekerasan dan pembunuhan mantan pelatih sepakbola.
Sementara itu, Safiya, janda si diktator yang dikucilkan dan tiga anak mereka lainnya menemukan perlindungan di Aljazair pada masa awal revolusi dan kemudian hijrah ke Oman.
Namun, gelombang kejutan yang diciptakan lewat pengusiran dan pembunuhan Gaddafi yang mengerikan oleh pemberontak di kota asalnya, Sirte, masih terus bergemuruh di negara yang bermasalah itu hingga kini.
Akhir Mei lalu, Tripoli diguncang oleh bentrokan sengit antara kekuatan yang setia kepada pemerintah persatuan dan milisi yang bersaing, dengan lebih dari 50 anggota pasukan pro-GNA dilaporkan tewas.
Mengandalkan dukungan milisi untuk melawan pemerintah saingan di timur, GNA telah berjuang keras untuk menegaskan kewenangannya dalam peristiwa tersebut.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari