tirto.id - Jokowi akan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 di kompleks Parlemen, Senayan, Minggu (20/10/2019) besok. Namun, menurut Amnesty Internasional pengamanan pelantikan Jokowi kali ini dianggap berlebihan.
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid mengatakan pengamanan pelantikan presiden saat ini bertolak belakang ketimbang saat Jokowi dilantik menjadi presiden pada 2014. Dulu, kata Usman, Jokowi diarak dengan kereta kencana oleh ribuan orang.
"Hari ini dikawal pengamanan berlebihan, yang menurut saya hanya cocok untuk pemimpin yang bukan negarawan, tapi buat mereka yang dilantik untuk memegang kekuasaan dengan nyali dan mental yang kecil," ungkap Usman di Jakarta Pusat, Sabtu (18/10/2019).
Pengamanan pelantikan presiden kali ini memang lebih ketat ketimbang 2014. Tahun ini, sebanyak 30.000 aparat dikerahkan atau lebih besar ketimbang 2014 sebanyak 25.000 aparat. Tak hanya itu, sejumlah jalan juga rencananya akan ditutup.
Meski begitu, lanjut Usman, fenomena tersebut tidaklah mengagetkan lantaran kebijakan yang diambil Jokowi belakangan ini tidak prorakyat. Salah satunya adalah sikap represif Kepolisian Indonesia terhadap para pendemo #ReformasiDikorupsi.
"Polisi, bagaimanapun bekerja untuk pemerintah, sehingga sikap represif ini menunjukkan kalau pemerintah tidak punya komitmen tegas membela kebebasan berpendapat," tuturnya.
Usman juga menambahkan bahwa sikap tak tegas Jokowi untuk menolak usulan sejumlah rancangan undang-undang yang diajukan DPR--termasuk Revisi UU KPK--juga memperparah kemerosotan tersebut.
Belum lagi ditambah kegagalan Jokowi dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk yang paling disorot: penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Dua setengah tahun berlalu, aktor intelektual di balik peristiwa itu belum terungkap.
"Kasus Novel Baswedan adalah ujian sejarah pemerintahan Jokowi. Jadi, jika di zamannya SBY memiliki ujian sejarah kasus Munir, Jokowi punya ujian sejarah kasus Novel," pungkasnya.
Di tempat yang sama, Koordinator KontraS Yati Andriyati menyebut pemerintahan Jokowi gagal menciptakan harapan positif terhadap penanganan kasus pelanggaran HAM.
"Kegagalan Polri menuntaskan kasus Novel adalah tamparan untuk Jokowi, karena Polri adalah kepanjangan tangan presiden," tandasnya.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Ringkang Gumiwang