Menuju konten utama

Alat Pelahap Sampah dari Kali Pesanggrahan

Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana, di Lebak Bulus, Jakarta Selatan mengelola pembakaran sampah dengan sistem tabung yang menghasilkan abu dan asap cair. Sebuah inovasi yang layak ditiru untuk pengelolaan sampah perkotaan.

Alat Pelahap Sampah dari Kali Pesanggrahan
Pekerja memilah sampah organik dan non organik di tempat pengolahan dan pembakaran sampah di Hutan Kota Sanggabuana, Jakarta. tirto.ID/Andrey Gromico

tirto.id - Tabung biru selebar dua rentangan tangan orang dewasa, dengan tinggi kurang lebih tiga meter membumbungkan asap putih hasil proses pembakaran. Di sekitar tabung itu, berserakan sampah-sampah yang dipunguti oleh dua orang lelaki bertelanjang dada. Tugas mereka memisahkan sampah kering, sampah basah, dan sampah logam untuk diolah.

Selain dua orang tadi, seorang lelaki yang bermandikan peluh, sedang sibuk mengaduk isi dari tabung dari sisi bawah tabung. Dari celah pintu tabung, terlihat api berkobar, merah menyala melahap sampah-sampah. Saat pintu tabung ditutup, asap yang awalnya membumbung di sekitar tabung dialirkan ke sebuah pipa untuk diubah menjadi asap cair untuk menekan pencemaran lingkungan.

Tabung biru ini adalah alat pembakaran sampah atau incinerator ramah lingkungan yang dikelola oleh Kelompok Tani Lingkungan Hidup (KTLH) Sangga Buana, di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Metode pengelolaan sampah dengan sistem tabung yang menggunakan suhu tinggi jadi alternatif menekan sampah perkotaan dan ramah lingkungan.

Cara kerjanya, salah satu bagian tungku pyrolysis plasmatic menjebak gas dari sampah yang keluar akibat perbedaan tekanan dan suhu, menghasilkan panas hingga 1200 derajat celcius. Suhu pada alat ini dapat melahap material sampah organik hingga sampah logam.

Apa kelebihannya? Tabung pembakaran menghasilkan abu dan asap cair. Residu yang berupa abu, biasanya digunakan sebagai pupuk, media tanam. Sedang sisa asap cair tipis yang keluar dan bebas dari kandungan timbal akan diproses sebagai bakan bakar yang bisa digunakan untuk mesin penopang kegiatan pengolahan sampah di Sangga Buana, di sekitar Kali Pesanggrahan.

“Sejauh ini solar dan premium yang bisa kita hasilkan, dan itu digunakan untuk operasional mesin-mesin yang lain seperti diesel untuk pembangkit listrik, mesin pencacah, dan pengangkut sampah,” kata Ario Selaka, Relawan dari (KTLH) Sangga Buana, kepada Tirto, Selasa (10/1/2017).

Secara singkat, proses pembentukan bahan bakar ini terjadi melalui proses terhadap asap hasil pembakaran, terdestilasi oleh air sebagai penyaring. Dengan sistem ini, air yang mengandung zat minyak akan terdestilasi jadi bahan bakar. Tabung pembakar sampah yang multiperan ini merupakan pengembangan mandiri hingga menghasilkan beberapa generasi. Alat pembakaran sampah ini terinspirasi dari alat sejenis bernama incinerator dari Jerman.

Incinerator ini menggunakan bahan bakar, boros. Dan tidak bisa dipakai 24 jam full karena bisa meledak,” kata Ario.

Infografik Alat Pembakar Sampah

Ia mulai menginisiasi alat pembakaran sampah multifungsi lantaran prihatin terhadap biaya untuk mengangkut sampah dari Jakarta ke Bantargebang lebih dari Rp1 triliun per tahun. Perjalanan risetnya dimulai sejak 2008, kala itu alat pembakaran sampah generasi pertama dibuat meski hanya mampu memproduksi bahan bakar untuk pengoperasian alat pembakar.

Setelah itu, riset yang berjalan selama 1,5 tahun kemudian membuahkan alat pembakaran sampah generasi kedua di 2013. Mesin generasi kedua mampu menghasilkan bakar mesin incinerator, ditambah bahan bakar yang bisa menggerakkan mesin pencacah dan mobil pengangkut sampah.

Pada November 2016, mesin generasi ketiga lahir, kemampuannya bertambah sebagai pembangkit listrik untuk wilayah sekitar lokasi incinerator. Ario mengaku semua biaya dan metode pembaharuan tersebut dikerjakan secara swadaya tanpa bantuan pemerintah. Ario hanya butuh Rp60-80 juta saja untuk membuat satu alat.

Untuk tahap awal, dia menghabiskan sekitar Rp150 juta yang mencakup alat, riset, dan laboratorium. Biaya yang dikeluarkan cukup sebanding dengan manfaat yang dihasilkan, setiap hari sampah yang dikelola bisa mencapai 20 truk atau setara dengan 24 meter kubik per jamnya. Secara umum, alat pembakaran sampah ini menjadi salah satu solusi dari penanganan sampah di kota-kota besar.

Bicara persoalan sampah di Kali Pesanggrahan tak terlepas dari sosok Chaeruddin, pembina KLTH Sangga Buana yang turut memberdayakan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Pria yang biasa disapa Babe Idin ini punya kisah heroik yang termasyhur dalam penyelamatan lingkungan khususnya di Kali Pesanggrahan yang membelah Jakarta dan wilayah sekitarnya. Sosok yang pernah menerima Kalpataru ini begitu lekat dengan keberadaan Hutan Sangga Buana yang merupakan bantaran Kali Pesanggrahan.

“Jadi semua sampah yang terkumpul kita olah sampai tidak ada limbahnya. Yang plastik bisa dijual lagi, atau diolah menjadi campuran BBM atau pestisida, yang organik bisa dijadikan pupuk,” kata Babe Idin yang biasa berpakaian ala Betawi ini.

Sosok Ario dan Babe Idin dengan alat pembakaran sampah, dan aktivitasnya yang peduli pada lingkungan barangkali juga lahir di berbagai belahan Indonesia lainnya. Kita tunggu sosok-sosok lainnya, yang bisa mengikuti jejak Babe Idin, Ario untuk peduli pada lingkungannya hingga melahirkan buah karya inovasi.

Baca juga artikel terkait SAMPAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Teknologi
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra