Menuju konten utama

Alasan Orang-Orang Aceh Tak Lagi Memilih Jokowi

Lima tahun lalu Jokowi meraup 913.309 suara di Aceh. Pilpres tahun ini suara rakyat Aceh untuk Jokowi cuma 400-an ribu.

Front Pembela Islam membentangkan poster dan spanduk saat demo di depan kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe, Aceh, (25/4/2019). ANTARA FOTO/Rahmad/ama.

tirto.id - Aminah tinggal di Pidie, salah satu kabupaten di Aceh. Ketika Aceh berstatus Daerah Operasi Militer, suami Aminah yang menjadi kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dijemput tentara Indonesia dan tak pernah pulang hingga kini. Aminah harus hidup menanggung beban keluarga dengan delapan anak sendirian.

Pada 2005, pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani nota kesepahaman [MoU) di Helsinki, Finlandia. Jusuf Kalla, kala itu menjabat wakil presiden, dianggap berperan penting dalam proses perdamaian itu.

Menjelang pemilihan presiden 2014, Kalla berkunjung ke Pidie, ditemani Mantan Menteri Pertahanan GAM Tengku Zakaria Saman. Kunjungan itu tentu bagian dari safari politik menjelang Pemilu.

Aminah terkagum. Sosok Kalla yang berjasa pada perdamaian, dan Joko Widodo yang nihil catatan buruk pelanggaran HAM di masa lalu, memantapkan Aminah memilih mereka sebagai presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014.

Sebagai istri mantan anggota GAM, Aminah menitip harapan perubahan pada selembar surat suara. Ia berharap klausul perbaikan ekonomi yang tercantum dalam MoU Helsinki bisa terwujud, dari pemberian dana rehabilitasi hingga alokasi tanah pertanian dan jaminan pekerjaan.

Suara Aminah jadi bagian kemenangan Jokowi-JK sebesar 56,36 persen di Kabupaten Pidie pada Pilpres 2014.

Selain Pidie, Jokowi-JK menang di enam kabupaten dan kota lain, yakni Simeleu, Aceh Tengah, Nagan Raya, Pidie Jaya, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Total, Jokowi-JK meraih 45,61 persen suara di Aceh pada Pilpres 2014.

Lima tahun berselang, Aminah tidak merasakan perubahan yang diharapkannya. Jangankan memberi keadilan bagi korban kejahatan perang, hidupnya tak mampu terangkat melewati garis kemiskinan.

“Bantuan (untuk) korban konflik tidak pernah sampai. Sudah 13 tahun. Datang orang cuma foto-foto rumah saja. Minta KTP saya, tetapi bantuan rumah tidak pernah dikasih,” ungkapnya.

Kekesalan itu membuatnya memutuskan mengubah pilihan pada Pilpres 2019. Baginya, memilih Prabowo bukan pilihan fanatik, tetapi realistis.

Meskipun Prabowo adalah bekas tentara, Aminah berpikir apa yang terjadi di Aceh tak ada sangkut pautnya dengan mantan Danjen Kopassus itu.

Sri Wahyuni, yang juga tinggal di Kabupaten Pidie, punya alasan lain mengapa ia tak mau lagi memilih Jokowi pada Pilpres 2019. Ia geram atas kebijakan Jokowi. Menurut informasi yang ia peroleh, Jokowi menyeludupkan pekerja asing ke Indonesia.

“Di Kalimantan, orang asing (dari) Asia diselundupkan. Kami masak tidak dapat kerja? Padahal orang kita banyak."

"Kami maunya dikasih pekerjaan, bukan cuma pemberian ini dan itu. Jokowi juga banyak memberikan kartu ini, kartu itu,” ungkap Wahyuni kepada Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (Jaring.id), yang berkolaborasi dengan Tirto untuk peliputan politik identitas pada Pilpres 2019.

Berdasarkan data resmi KPU, pada Pilpres 2019, kondisi berbalik: Jokowi-Ma'ruf Amin hanya mendapatkan 7,78 persen suara di Kabupaten Pidie. Lebih dari 90 persen suara di Pidie memilih Prabowo-Sandiaga Uno.

Baca laporan Jaring.id tentang politik identitas Pilpres 2019:

Narasi Kubu Prabowo yang Menang

Di Kota Langsa, Nurul Huda, ibu rumah tangga, juga mengubah pilihannya. Pada 2014, ia mantap memilih Jokowi-JK. Alasannya, Jokowi adalah orang sipil dan tampak sangat sederhana. Ia berharap Jokowi bisa lebih memahami penderitaan rakyat, penderitaan orang-orang kecil.

Pada Pilpres 2019, Nurul mengganti pilihan ke Prabowo. Bukan karena kecewa dengan Jokowi, tapi karena mengikuti Ijtimak Ulama. Nurul rajin ikut pengajian dan arisan. Ia tergabung dalam beberapa grup WhatsApp.

Dari grup itu, ia mendapatkan informasi bahwa, menurut para ulama, Prabowo-Sandi adalah pilihan yang tepat. Dia juga menerima informasi bahwa Jokowi "anti-Islam", "mendukung LGBT", dan "PKI".

Nurul ikuti saja informasi itu meski hoaks atau patut diuji. Sebagai seorang muslim, ia merasa harus mengikuti kesepakatan ulama.

Lima tahun lalu, Jokowi mendapatkan sekitar 30 persen suara di Langsa. Pada Pilpres kali ini, pemilih Jokowi hanya 11,3 persen.

Secara keseluruhan, Prabowo-Sandi menang telak di Aceh, sebesar 85,4 persen. Tujuh kabupaten dan kota yang lima tahun lalu dimenangkan Jokowi kini dimenangkan Prabowo. Pada Pilpres 2014, Jokowi-JK berhasil meraup 45,61 persen suara; kini Jokowi-Amin hanya 14,6 persen.

Efendi Hasan, doktor politik dari Universitas Syah Kuala, mengungkapkan dua musabab Jokowi gagal mempertahankan perolehan suara di Aceh.

Pertama, janji kampanye Jokowi dianggap belum tuntas. Pembuatan terowongan di Gunung Geurutee yang menghubungkan Banda Aceh dengan daerah di barat-selatan adalah salah satu contohnya.

Alih-alih mewujudkannya, Jokowi malah membangun ruas tol Banda Aceh-Sigli sepanjang 74 kilometer. Jalan tol itu diresmikan pada 14 Desember 2018 atau empat bulan sebelum hari Pilpres.

“Ada prinsip kepemimpinan bagi masyarakat Aceh, yakni pemimpin itu harus jujur. Antara kata dan perbuatan harus sesuai. Tetapi kenyataanya janji [kampanye] itu tidak terlaksana."

"Seharusnya Pak Jokowi jangan bangun tol dulu, tetapi terowongan Geurutee dulu. Itu sudah ditunggu-tunggu," ujar Efendi.

Tingkat kepercayaan kepada Jokowi, imbuhnya, memburuk ketika tumbuh persepsi di Aceh bahwa pemerintahan Jokowi gagal "menjaga" Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, salah satu pendukung Jokowi, sempat menyebut daerah selain Aceh tidak memerlukan peraturan daerah yang berbasis identitas.

Keputusan Ijtimak Ulama jilid II juga dinilai berperan mengatrol lonjakan suara Prabowo di Serambi Mekah, menurut Efendi.

Politik Identitas di Aceh

“Selamatkan Islam Aceh untuk Indonesia!”

Kalimat itu tertulis pada baliho yang masih berdiri di markas pemenangan Prabowo-Sandiaga di Banda Aceh pada 29 April 2019.

Sekretaris Jenderal Tim Pemenangan Prabowo-Sandi Provinsi Aceh, Wen Rimba Raya, mengakui isu agama tak bisa dilepaskan dari Pilpres 2019.

“Saya tidak mau jadi munafik. (Isu) Islam satu-satunya yang kami jual untuk memenangkan Prabowo,” ujar Wen kepada reporter Jaring.id.

Tetapi, isu agama bukan hanya digunakan tim pemenangan Prabowo-Sandi.

Sebuah papan iklan di Jalan Teuku Muhammad Jam, Banda Aceh, saat masa kampanye membingkai kedekatan Jokowi dengan para ulama. Foto yang diambil di Istana Negara, Jakarta, itu dibubuhi kalimat: “Jokowi Bersama Ulama Aceh”.

Namun, usaha membangun persepsi kedekatan Jokowi dengan ulama Aceh gagal mengatrol perolehan suara. Ketua Tim Kampanye Daerah Provinsi Aceh Irwansyah menilai partai pendukung Jokowi-Amin enggan ambil risiko.

Partai pengusung dan calon legislatif dari partai pendukung Jokowi-Amin enggan bersusah payah mengampanyekan Jokowi di Aceh. Kegagalan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraup banyak suara di Aceh membayangi mereka.

“Ketika pucuk tim ini tidak kompak, maka tidak kompak di lapangan. Istilah umumnya kami bilang, mereka cuma mau menyelamatkan partainya,” ungkap Irwansyah.

Merujuk hasil pleno Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Independen (KPI) Aceh, tidak ada calon anggota DPR dari PDIP di Aceh yang melenggang ke Senayan.

Dari Dapil 1, caleg PDIP hanya mendapatkan total 25.499 suara; sedangkan di Dapil 2, caleg PDIP meraup 85.882 suara.

Angka suara itu masih terlampau sedikit bila dibandingkan tujuh partai lain yang berhasil meloloskan calegnya ke DPR RI.

Partai Golkar, yang menduduki peringkat teratas di Aceh sebagai partai pendukung Jokowi, mengumpulkan total 325.421 suara, disusul Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Reza Idria, antopolog UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan kandidat doktor di Harvard University, melihat marak sekali permainan politik identitas di Aceh.

Ia memaparkan pada Pilpres sekarang, kubu Prabowo menyerang lawan dengan narasi yang menyebut Jokowi "anti-Islam", "terlibat Partai Komunis Indonesia", dan narasi lain yang memojokkan etnis minoritas.

Menurut Reza, tuduhan kepada Jokowi adalah bagian dari strategi politik lawan untuk menutupi kekurangan dirinya sendiri.

“Kalau berkaca dari Amerika, narasi politik dominan ini diambil blue print-nya, yakni menyerang apa yang kita sendiri tidak punya. Bagi saya, timnya Prabowo itu insecure dengan ke-Islaman dia sendiri, maka dia harus serang lebih dahulu bahwa yang sebelah tidak Islam,” ungkapnya.

Reza menilai tim kampanye Jokowi sudah kalah langkah dalam menangkal isu yang berkembang di tengah masyarakat. Menurutnya, tim Jokowi tidak bekerja dengan baik.

Salah satu isu yang seharusnya bisa dimanfaatkan kubu petahana adalah Peradilan HAM. Reza meyakini isu ini manjur untuk membalikkan kepercayaan masyarakat terhadapnya. Namun, presiden lebih ingin mengajukan berbagai program dalam kartu dan menepis serangan hoaks.

“Walaupun selama ini orang mengatakan Jokowi itu begini, begitu .... Dengan dia tidak menjawab soal Peradilan HAM, maka masyarakat Aceh akan berasumsi bahwa ada orang lain di balik dia [yang terlibat],” kata Reza.

========

Laporan ini adalah kolaborasi antara Tirto.id dan Jaring.id. Dua reporter Jaring.id, Abdus Somad dan Damar Fery Ardiyan, terlibat dalam proses peliputan dan penulisan.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Politik
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam