Menuju konten utama

Alasan Kenapa Duel Hendra/Ahsan vs Kevin/Marcus Jangan Terlewatkan

Dalam delapan pertemuan terakhir, Marcus/Kevin masih unggul atas Ahsan/Hendra. Namun, rekor tersebut bukan jaminan bahwa mereka bisa menang di laga final Indonesia Open 2019.

Alasan Kenapa Duel Hendra/Ahsan vs Kevin/Marcus Jangan Terlewatkan
Ganda putra Indonesia Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon bertanding melawan ganda putra China Ou Xuan Yi dan Zhang Nan pada babak perempat final Blibli Indonesia Open 2019 di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (19/7/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Indonesia sudah pasti meraih satu gelar dalam turnamen bulutangkis Indonesia Open 2019. Gelar itu datang dari nomor ganda putra, setelah Marcus Gideon/Kevin Sanjaya dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan sama-sama lolos ke final.

Pada babak semifinal, Ahsan/Hendra berhasil mengalahkan pasangan Jepang Takuro Hoki/Yugo Kobayashi dengan skor 17-21, 21-19, 21-17. Sementara Marcus/Kevin menang mudah atas pasangan China Li Jun Hui/Liu Yu Chen dengan skor 21-9, 21-13.

Meski sejauh ini Marcus/Kevin masih unggul head-to-head atas Ahsan/Hendra (6-2), laga final nanti jelas akan sangat sulit untuk diprediksi. Alasannya: selain karena sama-sama dapat dukungan kuat dari publik di Istora Gelora Bung Karno, kedua pasangan tersebut juga sedang tampil bagus-bagusnya.

Laga final ganda putra itu merupakan all Indonesian final pertama sejak tahun 2005 di Indonesia Open, sehingga laga tersebut jangan sampai terlewatkan.

Lantas, apa modal utama kedua pasangan tersebut untuk menyulut tontonan menarik di Istora hari ini, Minggu (21/7/2019)?

Mesin Diesel Hendra/Ahsan

Pada tahun 2018 lalu, Jonathan Selvaraj, penulis olahraga di ESPN, merasa takjub dengan atmosfer Istora Gelora Bung Karno. Berada di sana saat gelaran Asian Games 2018, Jonathan menyebut bahwa, sebagai jantung bulutangkis Indonesia, “Istora selalu berdetak kencang, penuh dengan kebisingan.”

Jonathan -- yang juga menyebut tingkat kebisingan di Istora setara dengan teriakkan para penonton konser band rock -- lantas memberi pesan kepada para pebulutangkis asing yang bakal bertanding melawan wakil Indonesia di tempat ikonik tersebut. “Jika Anda tak kuat menghadapi tekanan, Anda sebaiknya berdoa agar bisa terhindar dari wakil Indonesia. Siapa pun yang berada di seberang net (pemain Indonesia) akan diperlakukan layaknya seorang penjahat,” tulis Jonathan.

Pesan Jonathan tersebut tentu ada benarnya, tapi tak sepenuhnya tepat sasaran. Penyebabnya, seperti pedang bermata dua, kebisingan di Istora sebenarnya juga bisa menyerang pemain-pemain Indonesia. Jika mereka tak mampu memanggul harapan besar di balik setiap teriakkan para penonton, penampilan mereka bakalan amblas.

Namun, setidaknya selama gelaran Indonesia Open 2019, Ahsan/Hendra jelas bukan wakil Indonesia yang masuk ke dalam kategori tersebut. Malahan, di antara pebulutangkis Indonesia lainnya, mereka merupakan pebulu tangkis Indonesia yang paling mampu memanfaatkan kebisingan Istora dengan sebaik-baiknya: saat para berteriak semakin kencang, mereka akan memanasi mesin secara diam-diam.

Pada babak semifinal, setelah Takuro Hoki/Yugo Kobayashi berhasil memenangkan set pertama, pasangan Jepang itu sempat yakin bisa mengalahkan Ahsan/Hendra dengan mudah. Namun pada set kedua, Ahsan/Hendra ternyata mampu bangkit. Mereka memberikan perlawanan sengit dan berhasil membangkitkan semangat penonton yang sempat lesu.

Ahsan/Hendra akhirnya mampu memenangi set tersebut, 21-19. Tak terima, pasangan Jepang sempat menduga bahwa teriakkan dari penonton ialah penyebab utama kekalahan mereka di set kedua. Namun, setelah kembali kalah di set ketiga, mereka membuat pengakuan menarik.

“Semula kami yakin bahwa sorakan penonton mengganggu fokus kami. Tapi pukulan-pukulan kami ternyata masih sama akuratnya dengan set pertama. Kami akhirnya sadar bahwa Ahsan/Hendra mampu mengembalikan pukulan-pukulan sulit yang kami lakukan. Padahal, pada set pertama mereka tidak mampu melakukannya. Mereka menang bukan karena penonton,” kata Takura Hoki setelah pertandingan.

Sebelumnya, saat mengalahkan Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe di babak perempat-final, Ahsan/Hendra juga menang dengan cara yang hampir sama. Dalam pertandingan yang berlangsung selama 63 menit tersebut, terutama pada set ketiga, Endo/Yuta sempat mengatakan bahwa penonton membuat mereka gagal fokus ke pertandingan. Padahal, di balik bisingnya para penonton, mesin Ahsan/Hendra ternyata sedang panas-panasnya.

Apa yang terjadi pada set ketiga lantas bisa menjadi bukti. Saat kedudukan sama kuat 20-20, pukulan Hendra/Ahsan jauh lebih akurat dari sebelumnya. Mereka bahkan bisa mengembalikan pukulan-pukulan sulit Endo/Yuta sekaligus membalasnya dengan pukulan-pukulan yang tak kalah mematikan. Setelah adu pukulan sebanyak 43 kali, Ahsan/Hendra pun berhasil meraih angka 21 terlebih dahulu. Di sebarang net, Endo/Yuta lantas roboh layaknya Cleveland Williams yang baru saja kena pukul Muhammad Ali pada tahun 1966.

Dengan gaya bermain seperti itu, Ahsan/Hendra memang rata-rata harus menghabiskan waktu sekitar 50 menit untuk sampai ke final. Rataan waktu tersebut jelas lebih lama dari rataan waktu Marcus/Kevin, yang hanya mencapai 30 menit. Namun, jika Marcus/Kevin ingin baik-baik saja di final nanti, pasangan ganda terbaik di dunia itu jelas tidak boleh menilai kehebatan Ahsan/Hendra hanya dari staminanya.

Drive Bukan Satu-Satunya kelebihan Kevin/Marcus

Pasangan China Li Jun Hui/Liu Yu Chen sama sekali tak berkembang saat kalah dari Marcus/Kevin pada babak semifinal. Dalam pertandingan yang hanya berlangsung selama 29 menit itu, mereka bahkan kalah dua set langsung, 21-9, 21-13. Dan setelah pertandingan, mereka lantas menjelaskan penyebab utama kekelahan mereka.

Kata mereka, “Kevin/Marcus tampil lebih bagus. Kami kesulitan mengimbangi drive-drive yang mereka lakukan.”

Bagi kevin/Marcus, pukulan drive memang menjadi salah satu kelebihan utama mereka. Bahkan, nyaris tidak ada pasangan lain yang lebih efektif dalam adu pukulan datar di atas atas yang mengarah ke kepala tersebut. Kuncinya: pasangan nomor satu dunia tersebut hampir selalu tahu arah dua-tiga pukulan selanjutnya.

Namun, Kevin/Marcus sebetulnya mempunyai kelebihan lain yang tak kalah penting. Seperti para pecatur kelas dunia, Mereka juga hampir selalu mengambil keputusan tepat dalam periode “apa yang bisa Anda lakukan ketika tidak ada yang bisa dilakukan?”

Saat bertahan, misalnya, meski setelah melakukan balasan pukulan mereka harus kembali bertahan, Kevin/Marcus mampu memastikan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan di balik setiap pukulannya. Dan saat lawan nampak terlalu nyaman dalam menyerang, dengan hitung-hitungan yang matang, mereka lantas melakukan serangan balasan mematikan.

Dalam fase menyerang, Kevin/Marcus pun demikian. Saat tak bisa menurunkan kok atau bermain cepat, mereka tidak akan memaksa. Sebaliknya, secara sabar mereka akan melakukan variasi pukulan ke arah lawan agar bisa mendapatkan kesempatan tersebut.

Kevin/Marcus pun akhirnya lebih sering mengontrol pertandingan daripada lawan dengan pendekatan seperti itu. Saat pendekatan itu dilakukan, seperti apa yang dialami oleh pasangan China di pertandingan semifinal, justru lawan-lah yang akhirnya tak tahu harus berbuat apa.

Dalam permainan catur, pendekatan Marcus/Kevin tersebut dikenal dengan istilah "positional play". Anatoly Karpov, Tigran Petrosian, dan Magnus Carlsen amat mahir dalam melakukan pendekatan tersebut. Dan tidak hanya digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari setiap langkah, pendekatan tersebut ternyata bisa digunakan untuk mengintimidasi lawan.

Suatu waktu, soal langkah-langkah strategis dan kreatif Magnus Carlsen, Jon Speelmen pernah menulis,"Dia [Magnus] seperti bermain untuk selamanya, dengan tenang, metodis, dan barangkali yang paling penting, tanpa rasa takut: melakukan hitung-hitungan luar biasa, dengan sangat sedikit kesalahan, dan melakukan perbandingan terbaik dari gerakan yang terbaik. Itu membuatnya menjadi monster dan membuat lawannya menjadi layu.”

Baca juga artikel terkait INDONESIA OPEN 2019 atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan