tirto.id - Chou Tien Chen butuh waktu 355 menit untuk menjadi juara tunggal putra Indonesia Open 2019. Waktu tersebut dibagi dalam lima babak: 35 menit di babak pertama, 76 menit di babak kedua dan perempat final, 77 menit di babak semifinal, dan saat ia meladeni Anders Antonsen di partai puncak, ia butuh waktu selama 91 menit.
Jika dirinci lagi, waktu tersebut juga mempunyai arti bahwa Chou sudah bertanding dalam 14 set selama gelaran Indonesia Open 2019: dua set di pertandingan babak pertama dan tiga set secara berurutan dari babak kedua hingga partai puncak.
setelah 91 menit terakhir atau tiga set terakhir penentu gelar, Chou lantas merebahkan badan di atas lapangan Istora Gelora Bung Karno karena kelelahan. Yang menarik, di seberang net, Anders Antonsen ternyata ikut berbaring dan kelak menjelaskan alasannya.
“Dia (Chou) benar-benar hebat dalam memadukan gaya yang ia miliki dan tidak mudah untuk melawannya. Dalam level seperti ini, saat Anda bermain menghadapi seseorang seperti Chou, Anda akan selalu berada di dalam lapangan di sepanjang waktu yang Anda punya. Kami berdua benar-benar lelah. Ketika dia berbaring (setelah memastikan kemenangan), aku juga ingin ikut berbaring dan tertidur,” kata Antonsen setelah pertandingan.
Penjelasan Antonsen tersebut tentu benar belaka, tapi di balik rasa lelah yang ia alami, Antonsen dan Chou jelas memiliki perbedaan yang cukup kentara: Antonsen hanya berada di atas lapangan selama 260 menit dalam gelaran Indonesia Open 2019 dan ia masih kalah dari Chou di laga puncak.
Stamina Luar Biasa
Turnamen Indonesia Open 2019 memang hanya berlangsung selama 6 hari, dari Senin (16/7/2019) hingga Minggu (21/7/2019), akhir pekan lalu. Meski begitu, Chou seperti bertanding untuk selamanya agar bisa keluar sebagai pemenang.
Setelah berhasil menang mudah (21,12, 21-11) atas Suppanyu Avihingsanon, pada babak pertama, Chou langsung berhadapan dengan Lin Dan, salah satu tunggal putra lengendaris asal Cina, pada pertandingan babak kedua.
Tunggal putra bertangan kidal Cina tersebut memang sudah mengalami penurunan, tetapi nama besarnya di jagad bulu tangkis dunia jelas masih menyilaukan siapa saja. Hebatnya, Chou sama sekali tak gentar.
Chou dan Lin Dan langsung menyuguhkan pertarungan intens pada set pertama. Setelah bermain cukup ketat sebelum jeda interval, Chou sempat unggul jauh 17-11. Namun, karena challenge belum diterapkan dalam babak-babak awal, keputusan-keputusan kontroversial hakim garis sempat mengganggu konsentrasi Chou. Akhirnya, Lin Dan bisa menyusul, hingga unggul 18-19.
“Banyak keputusan-keputusan merugikan. Tapi aku mencoba menenangkan diri, tetap berusaha sebaik mungkin dan terus melakukan tekanan,” kata Chou.
Dari sana, Chou kemudian membuat para penonton jantungan. Meski Lin Dan sempat tiga kali meraih match point terlebih dahulu, 19-20, 20-21, dan 21-22, Chou tidak menyerah. Akhirnya, tunggal putra peringkat tiga dunia BWF itu pun berhasil memenangkan set pertama dengan skor 24-22.
Lin Dan tentu tak tinggal diam setelah tertinggal. Dalam pertandingan yang disebut BWF sebagai “pertandingan terbaik Indonesia Open di hari ketiga” tersebut, ia lantas berbalik unggul dengan keunggulan 17-21 pada set kedua. Sayangnya, tenaga Lin Dan tak sekuat keinginannya. Pada set ketiga, tanpa ampun, Chou pun menghajar Lin Dan: 21-13.
Pada babak perempat-final, Chou lantas ditantang oleh Jonathan Christie, tunggal putra andalan Indonesia. Itu artinya, ia bakal mempunyai dua musuh sekaligus dalam pertandingan tersebut: Jojo dan para penonton yang memadati Istora.
Semula, tekanan dari penonton dan permainan agresif Jojo memang membuat Chou tampil kikuk, dan kalah 16-21 pada set pertama. Namun, ia akhirnya mampu bangkit. Intimidasi dari penonton ia balas dengan senyuman, sementara permainan agresif Jojo ia balas dengan permainan ulet nan mematikan.
Katanya, ”Aku merasa penonton sangat lucu karena, ketika aku mendapat poin, penonton selalu bersorak “huuuu”.... (tapi) aku tentu tidak bisa mengontrol kondisi di Istora. Maka, aku pun hanya fokus ke dalam pertandingan.”
Dengan cara seperti itu, intimidasi penonton terhadap Chou akhirnya tak mempan. Di atas lapangan, Chou juga membuat nafas Jojo megap-megap lewat reli-reli panjang. Setelah unggul 21-18 pada set kedua, Chou lantas menutup set ketiga tanpa perlawan berarti dari Jojo. Ia unggul jauh, 21-14.
Mental Juara
Siklus kemenangan Chou atas Lin Dan dan Jojo kembali berulang di babak semifinal. Menghadapi Kantaphan Wangharoen, tunggal putra asal Thailand, pemain berusia 29 tahun asal Taiwan tersebut juga menang rubber game, 21-19, 18-21, 21-16. Kala itu, kunci kemenangan Chou lagi-lagi menyoal stamina: Wangharoen memble pada pertandingan set ketiga, setelah sempat memberikan perlawanan sengit di set pertama dan kedua.
Namun, saat menghadapi Antonsen dalam laga final, Chou ternyata mampu menunjukkan bahwa ia bukan hanya pemain ulet yang memiliki stamina luar biasa.
Antonsen sebetulnya memiliki banyak keuntungan sebelum laga final tersebut. Selain bermain dengan durasi yang lebih sedikit, ia juga memiliki kenangan indah di Istora. Pada awal 2019, ia berhasil meraih gelar juara setelah mengalahkan Kento Momota, tunggal putra peringkat pertama dunia, di laga puncak Indonesia Master 2019.
Sebaliknya, Chou justru mempunyai rekam jejak menyakitkan di Istora. Dalam gelaran Asian Games 2018 lalu, ia kalah dari Jojo di laga puncak.
Lantas bagaimana cara Chou akhirnya bisa meraih gelar dengan situasi tak menguntungkan seperti itu? Jawabannya mudah: Chou memiliki mental juara.
Dalam pertandingan itu, setelah unggul 21-18, Chou kalah dari Antonsen pada set kedua. Tak main-main, kekalahan tersebut bahkan menguras tenaga dan pikiran: ia kalah 24-26, setelah ia dan Antonsen sempat beberapa kali bergantian meraih match point terlebih dahulu.
Dari sana, tak sedikit orang yang lantas memprediksi bahwa Antonsen akan memenangi pertandingan set ketiga. Alasannya masuk akal: selain karena faktor stamina, mental Chou bakal runtuh karena kekalahan di set kedua tersebut. Namun, Chou justru bikin banyak orang geleng-geleng kepala.
Pada set ketiga, permainan Chou semakin matang. Pukulan-pukulannya lebih mematikan, nafasnya tampak makin panjang, dan di balik setiap teriakan kencangnya setelah mendapat angka, ada gairah untuk menang yang disetel mentok hingga gigi empat. Alhasil, Chou pun berhasil menutup set ketiga dengan kemenangan 21-15.
Beragam pujian pun mengiringi keberhasilan Chou: para penonton di Istora memberikan aplaus panjang, Antonsen mengakui mental juara sang pemenang, dan di antara pujian-pujian itu, Dev Sukumar, jurnalis BWF yang menonton langsung laga final, memberikan pujian yang paling mengena.
Ia menulis, “Kemenangan itu adalah puncak epos tentang Chou, yang mampu bertahan meski harus melewati empat rubber game secara berturut-turut di mana pertandingan itu rata-rata berlangsung selama satu jam lebih lima belas menit.”
Pujian Sukumar tidak hanya berhenti sampai di situ. Ia menambahkan, "Kemenangan itu adalah momen terbesar sepanjang hidup Chou – sebuah gelar perdana World Tour BWF Super 1000 yang diraih secara sangat dramatis."
Editor: Abdul Aziz