Menuju konten utama

Aksi Terorisme Masih Terjadi, Program Deradikalisasi Gagal?

BNPT menyatakan masih ada aksi terorisme dan penangkapan terduga teroris bukan berarti program deradikalisasi gagal.

Aksi Terorisme Masih Terjadi, Program Deradikalisasi Gagal?
Polisi berjaga pascabom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumut, Rabu (13/11/2019). ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/aww.

tirto.id - Teror bom di Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Medan, Sumatera Utara, kembali menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas program deradikalisasi. Rabbial Muslim Nasutiaon, 24 tahun, terduga pelaku bom bunuh diri pada Rabu (13/11/2019) pagi diperkirakan tidak beraksi seorang diri.

Densus 88 Antiteror Polri juga getol meringkus terduga teroris usai terjadi penyerangan terhadap mantan Menko Polhukam Wiranto pada 10 Oktober lalu. Pelaku penusukan bernama Syahril Alamsyah alias Abu Rara disebut sebagai anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Namun, terduga pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan maupun pelaku penusukan Wiranto tidak pernah disentuh program deradikalisasi. Pasalnya, program tersebut dikhususkan bagi narapidana dan mantan narapidana teroris, itu pun bagi yang bersedia menjalani arahan pemerintah.

Lalu apakah program deradikalisasi bisa dikatakan gagal?

Program deradikalisasi sulit diukur apakah berhasil atau gagal. Hal itu lantaran program yang dirintis sejak 2002 itu tidak punya basis data yang bisa menjadi pijakan.

Pengamat dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto bahkan berpendapat konsep deradikalisasi yang dilakukan pemerintah tidak jelas sejak awal. Pemerintah dinilai tidak mendefinisikan secara tegas apa yang dimaksud radikal.

Bambang menjelaskan radikal berasal dari kata radix yang artinya akar, mengakar, mendalam. Sementara teroris adalah salah satu bentuk violent extremism yang merupakan produk kebanalan atau kedangkalan.

"Dalam konsep umum, tak mungkin sebuah pemikiran yang mendalam, yang radikal melahirkan kekerasan. Jadi definisi deradikalisasi itu apa?" kata Bambang saat dihubungi Tirto, Kamis (14/11/2019).

Bambang melanjutkan, pada dasarnya semua orang setuju dengan anti terorisme, anti violent extremism.

"Tapi memberikan deradikalisasi sebagai resep untuk melawan terorisme tanpa landasan filosofi dasar dari konsep radikal itu kekeliruan. ironinya itu tetap dipertahankan," kata dia.

Resep lain ialah mengembalikan pengertian yang benar tentang radikal, tepatnya kata Bambang adalah program "debanalisasi". Aksi teror dan kejahatan ekstrem hanya dilakukan yang belajar agama secara dangkal.

"Contoh kasus, mantan-mantan napi terorisme yang benar-benar tak kembali ke jalan teror adalah yang semakin radikal, semakin dalam mempelajari agamanya. Bukan semakin banal," ujar Bambang.

Pelaksanaan deradikalisai menuai sorotan lantaran mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit. Berdasarkan Nota Keuangan Beserta APBN Tahun Anggataran 2019 [PDF], Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki anggaran Rp699,6 miliar, namun tak dirinci berapa yang dikeluarkan untuk program deradikalisai.

Anggaran untuk penganggulangan terorisme sendiri tidak dijelaskan secara detail pada APBN atau pun BNPT. Namun, penanggulangan terorisme merupakan arah kebijakan pemerintah yang termasuk ke dalam belanja negara berdasarkan fungsi ketertiban dan keamanan, dengan anggaran pada APBN:

2015: Rp46,14 triliun

2016: Rp109,79 triliun

2017: Rp121,58 triliun

2018: Rp135,99 triliun

2019: Rp142,97 triliun

Anggaran Belanja Polri

2015: Rp61.972,8 miliar

2016: Rp78.017,9 miliar

2017: Rp93.997,5 miliar

2018: Rp93.616,6 miliar (Outlook)

2019: Rp86.187,8 miliar (APBN)

Anggaran BNPT (Rp miliar)

2015: Rp293,7 miliar

2016: Rp650,6 miliar

2017: Rp715,9 miliar

2018: Rp501,0 miliar(Outlook)

2019: Rp699,6 miliar (APBN)

infografik deradikalisasi

infografik deradikalisasi

BNPT Tak Terima Disebut Gagal

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, tidak terima jika program deradikalisasi disebut gagal. Irfan mengatakan masih adanya aksi teror dan penangkapan terduga teroris bukan berarti program deradikalisasi gagal.

Irfan menyatakan deradikalisasi merupakan program yang berkesinambungan menyeluruh dan sinergi dengan banyak kementerian.

"Banyak mitra deradikalisasi yang sudah berhasil dan tidak sedikit yang sedang berupaya meraih keberhasilan. Deradikalisasi ditujukan kepada napi teroris dan mantan napi teroris. Penanganan aksi teroris (merupakan) ranah aparat penegak hukum," ucap Irfan ketika dihubungi Tirto, Kamis (14/11/2019).

Irfan mengklaim respons tinggi dari narapidana teroris menjadi wujud efektivitas program deradikalisasi.

"Banyak mitra deradikalisasi yang sudah berhasil dan tidak sedikit yang sedang berupaya meraih keberhasilan," kata Irfan tanpa menyampaikan data yang sudah mengikuti deradikalisasi.

Irfan juga menyebutkan indikator keberhasilan program deradikalisasi. "Indikatornya para mitra sudah meninggalkan secara total ideologi radikal, ikut kampanye damai, menyesali segala perbuatan anarkis dan pikiran radikal destruktif," jelas dia.

Irfan mengakui bahwa program deradikalisasi oleh BNPT hanya menyasar narapidana dan mantan narapidana teroris. Ia menyebut Polri yang berwenang mencegah potensi aksi terorisme.

"Penanganan aksi teroris [merupakan] ranah aparat penegak hukum," kata dia.

Sementara menurut Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, deradikalisasi tidak cukup hanya dengan menyasar napi atau mantan napi teroris.

"Bukan hanya eks napi teroris yang disentuh, tapi justru masyarakat yang rentan terpapar radikalisme," kata Dedi di Mako Brimob Polri, Depok, Kamis (14/11/2019).

Dedi mengatakan perlu ada sinergi antar lembaga pemerintahan serta peran masyarakat dalam melaksanakan prodgram deradikalisasi. Ia menilai program deradikalisasi tidak akan efektif apabila dilaksanakan sendiri-sendiri.

"Leading sector ialah BNPT, tapi bekerja sama dengan kepolisian, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, serta lembaga sosial masyarakat, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama," ujar Dedi.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan